*****
Air mataku seolah tak pernah mengering, dia terus turun tanpa permisi membasahi pasmina yang sedang aku pakai.Â
"Hana, ayo makan dulu, Mamah yakin kamu belum makan malam." Mamah mertua menyentuh kedua bahuku dari belakang.Â
"Hana nggak nafsu makan, Mah." Bagaimana mungkin aku bernafsu makan saat kekasih hatiku sedang terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang pesakitan. Berjuang antara hidup dan ma*i.
"Makanlah walaupun sedikit. Jangan biarkan perutmu kosong." Mamah mertua terus membujukku untuk makan. Akhirnya aku pun mengalah dan memakan satu potong roti bakar yang dibelikan oleh Mamah mertua.Â
"Hana, Mamah tidur di hotel sebelah ya. Besok pagi Mamah kesini lagi." Mamah mertua berpamitan.
"Ia, Mah."
Sepeninggalan Mamah mertua, ruangan ini begitu hening. Sampai-sampai aku bisa mendengar suara nafas dan detak jantungku sendiri.Â
"Cepat sadar ya, Mas." Tanganku menggenggam tangan kirinya dan mata ini menatap wajah pucatnya. Mas Agha sudah dipindahkan ke ruang rawat inap tadi jam delapan.Â
"Walaupun kamu selalu bilang masakanku tidak enak, tapi aku taku kok, kalo kamu itu cuma bohong. Nyatanya kamu selalu menghabiskan apapun yang aku masak untuk sarapanmu," ucapku monolog sambil mengelus pipinya. Rasa sakit yang kurasakan saat ia menyentuhku. Hilang sirna dalam sekejap.
Agha selalu protes jika kusuruh sarapan, dia akan memaki masakanku. Katanya makanan apa itu, aku nggak doyan makanan kampung kaya gini. Dan aku akan diam saja, memilih bersembunyi di kamar, membiarkannya sarapan sendiri.Â