Mohon tunggu...
Rennie Meyo
Rennie Meyo Mohon Tunggu... -

Seorang blogger di www.renniemeyo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Love & Money Part 1

22 Desember 2016   10:06 Diperbarui: 23 Desember 2016   10:28 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

By : Rennie Meyo

      Semua berawal dari malam itu. Malam di mana kami, aku dan David -pacarku, berjalan melewati sebuah gang sempit dan sepi sepulang dari kampus.

      Kami melihat sebuah ransel hitam dengan bentuk menggembung menandakan bahwa itu penuh terisi oleh sesuatu, tergeletak begitu saja di tepi jalan setapak yang kami lalui. Terlihat mencurigakan karena tak ada seorang pun disekitar situ.

      Tadinya aku meminta David untuk tidak mempedulikan ransel itu, tapi David berkeras ingin melihat isinya. Aku mengalah, dan hanya berdiri memperhatikan cowok itu saat ia  membuka tutup ransel.

      David tersentak kaget, begitupun aku. Kami sama- sama melotot dengan mulut ternganga saat mengetahui bahwa ransel itu penuh dengan gepokan uang pecahan seratus ribu yang tampak di jejalkan paksa agar bisa menampung sebanyak mungkin.

      Aku dan David berpelukan bahagia dan berusaha keras agar tak berteriak histeris karena takut ada yang mendengar. Saat itu yang ada di kepalaku hanya kami berdua akan menjadi sepasang kekasih yang kaya raya setelah membagi dua uangnya.

      ... membagi dua isi nya.

      Ya, itu yang ku pikirkan. Tapi mungkin David berpikir lain. Ku lihat kilatan cahaya di matanya. Aneh. Seperti memikirkan sesuatu tapi tidak berusaha untuk memberitahuku.

      Aku tidak yakin untuk mencurigainya tapi perasaan itu muncul begitu saja. Seiring dengan sikap anehnya saat menggendong ransel itu di punggungnya  dan berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Bahkan dia lupa menggandeng tanganku seperti biasanya.

      Aku mulai terengah- engah demi menjajari langkah kaki panjangnya.

 "David, tunggu. Pelan sedikit bisa kan ?" keluhku di antara nafasku yang tersengal.

      David menoleh, tapi sama sekali tidak memperlambat jalannya. Dia cuma memberi isyarat agar aku tetap mengimbangi langkahnya.

      Kami tidak sebahagia tadi, ataupun sebahagia sebelum kami menemukan ransel itu. David bersikap sangat serius. Dia hanya diam di sepanjang perjalanan kami.

      Sampai di asrama tempat kami, para mahasiswa dari luar daerah, tinggal. Letaknya tidak begitu jauh dari kampus, hanya beberapa blok, dan gang sempit dimana kami menemukan ransel itu adalah jalan pintas menuju ke sini.

      David membuka pintu gerbang dengan sedikit tergesa, dan membiarkan aku yang menutupnya. Beberapa teman menyapa kami tapi David tidak memperdulikannya. Asrama kami memang ramai. Ada sekitar 200 orang tinggal di situ. Setiap kamar di isi dengan 3 sampai 5 orang mahasiswa. Pembatas asrama putra dan putri hanyalah sebuah koridor utama, dan beberapa satpam yang setiap malam berkeliling mengawasi dari kamar ke kamar.

      Brak ! David membuka pintu kamarnya yang tidak terkunci. Aku berdiri di pintu. Bingung antara masuk dan tidak. Sementara hari semakin malam dan satpam mulai mondar mandir di koridor, dan ada yang menatapku dengan tatapan menegur.

      Kamar David sepi. Beberapa teman sekamarnya mungkin belum pulang dari kampus atau sedang makan.

 "Dave ... " aku memanggil.

 "Ya ?" David tidak menoleh dan sibuk mencari tempat untuk menaruh ransel itu.

 "Gimana kita membaginya? maksud ku kita butuh suatu tempat di mana nggak ada yang ngeliat kita ... " ucapku ragu.

 "Kita nggak mungkin membagi ini sekarang. Biar aku yang simpan dulu." jawab David.

 "Lalu kamu akan simpan di mana? Gimana kalo temen -temen kamu nanya? Apa isi tas itu ?"

 "Bisa nggak kamu kecilin suara kamu? Kamu mau semua orang denger kata- kata kamu?" tukas David kesal.

     Aku terdiam. Ya, David memang jadi berbeda. Mungkin uang uang itu yang sudah merubahnya. Bahkan saat aku memberinya solusi untuk menyimpan uang itu di lemari ku, dia menolaknya dengan keras.

      Hingga akhirnya pak satpam menyuruhku kembali ke kamar untuk tidur.

     Percuma. Sampai jam 2 malam pun aku tidak bisa tidur. Aku terus berpikir tentang uang itu, dan David. Antara kebahagiaan dan kesedihan. Seperti menemukan kesenangan, tapi kehilangan artinya.  Hingga akhirnya aku memutuskan untuk bangun dan mengintip keluar ke kamar David dari pintu kamarku.

      Aku tercekat. Itu David. Sedang berdiri di luar pintu kamar nya. Bersikap aneh seolah olah sedang mengawasi seseorang di kejauhan. Atau ... sedang mengawasi pak satpam ?

      Mau apa dia ?

Apa David ingin pergi ? Selarut ini ? Kenapa ?

      Aku baru akan membuka pintu kamarku lebih lebar saat ku lihat David kembali masuk ke dalam kamar, dan aku segera menyadari bahwa seorang satpam sedang berjalan kearah sini.

      Cepat, aku menutup kembali pintu kamar. Sejenak mematung bersandad dibalik pintu. Sementara ku lihat Dinda dan Vini tampak sudah lelap tertidur.

      Aku harus bertanya pada David apa yang sedang di rencanakannya !

      Ku putuskan untuk mengirim pesan pada David.

 "Dave, aku melihatmu. " terkirim.

      Dia membacanya. "Kamu belum tidur, La ?" balasnya.

 "Ya, dan aku melihatmu. "

      Agak lama David baru membalas. "Laura, aku harus pergi. "

      Aku menggigit bibir bawahku. Benar dugaanku, David merencanakan untuk pergi. Tanpa memberitahuku terlebih dulu. "Kenapa ?" tanyaku dengan tangan terasa melemah saat mengetik.

 "Karena uang yang kita temukan, La. Sejak di tempat kita menemukannya tadi, aku merasa ada seseorang yang mengawasi kita. Dan aku tau dia mengikuti kita. "

      Tenggorokanku terasa kering hingga aku sulit menelan ludah. Jadi itu sebabnya David bersikap aneh ? Karena ada seseorang mengikuti kami ?

 "Tapi bukankah di sini kita lebih aman, Dave ? Maksud ku ada satpam di luar. Nggak mungkin dia bisa memaksa masuk. "

 "Bagaimana kalo dia bisa ?"

      Aku terdiam. Ya, bagaimana jika dia nekat dan memaksa masuk ke sini. Dengan senjata di tangannya. Tengkukku merinding saat memikirkan itu.

 "Gimana kalo dia ngelaporin kita ke polisi karena ngambil uang itu, Dave ?"

 "Menurutmu kalo dia membiarkan uang itu tergeletak di jalan begitu saja apa itu uang legal ? Ini uang curian, La. Dan bisa di pastikan bahwa dia adalah seorang kriminal. Mereka bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan uang ini kembali termasuk membunuh. Dan walaupun kita mengembalikan uang ini padanya, dia tetap akan membunuh kita karena dia nggak ingin kita membongkar kejahatannya bahkan walaupun kita janji nggak akan lapor polisi. Sekarang posisi kita dalam bahaya, La. "

      Sekarang aku merasa tanganku bergetar ketika mengetik pesan. Dengan mata mulai berair karena rasa takut yang menyerang.

 "Jika kita berdua dalam bahaya, lalu kenapa kamu mau ninggalin aku ?" aku bertanya padanya, sedikit kesal dan kecewa.

 "Aku tau kamu bisa aman di sini. Kamu bisa bilang kali aku lah yang bawa kabur uang itu. "

      Hening.

 "Aku sayang kamu, La. Itu alasannya. "

      Itu alasannya ?

 "Dave, aku pergi bersamamu. Aku nggak peduli jika itu bahaya atau enggak. " akhirnya, aku memutuskan.

      Agak lama baru Davi membalas. "Ok. Sekarang bersiaplah. Sebentar lagi pak satpam akan istirahat untuk makan malam dan minum kopi. Keluarlah 5 menit lagi. Jangan membuat suara sedikitpun. PAkai baju hangat karena di luar sangat dingin. Pakai sepatu kets saja agat kamu mudah berlari. Jangan bawa apapun itu akan merepotkan kita. Aku tunggu kamu di belakang gudang kosong asrama. Di sana gelap dan pagarnya agak rendah jadi aku bisa membantumu loncat keluar dengan mudah. Cepatlah. "

      Dadaku berdebar keras. Seperti akan melakukan tugas yang sangat berbahaya dan ku pikir memang begitu. Aku meremas tanganku.

     Setelah menghela nafas dalam, akhirnya aku mulai bersiap. Ku sambar jaket yang tergantung di balik pintu kamar, lalu mengenakannya. Kemudian aku mengambil beberspa peralatan yang mungkin akan diperlukan nanti, dan menyelipkannya di balik jaketku.

      Aku meraih ponselku, menghapus pesan- pesanku dan Dave barusan, lalu membiarkannya tergeletak di atas ranjang tempat aku biasa tidur, tepat di samping Dinda. Semuanya ku lakukan tanpa suara, seperti perintah David.

      Lima menit sudah.

      Aku menyelinap keluar kamar, mengawasi keadaan di lua, dan saat yakin benar- benar aman, aku segera melangkah cepat menyusuri koridor.

     Udara terasa begitu dingin menusuk, koridor begitu sunyi dan tampak temaram. Aku bergerak cepat menuju ujung koridor, berbelok ke kiri, menuruni tangga koridor, lalu menapakkan kaki di tanah berumput. Menuju gudang tak terawat di belakang asrama.

      Sepi. Aku tidak melihat David di sana. Suasana nya benar- benar gelap, dingin dan sunyi.

      Aku akan melangkah lebih dekat ke dinding pagar saat ku dengar suara bentakan itu.

 "Hei - siapa itu ?!"

      

Aku tercekat. Terdiam tak bergerak saat menyadari seseorang menyoroti k dengan lampu senter.

      Oh, shit. Aku tertangkap !
 

Gelap !

      Aku memicingkan mataku, berusaha beradaptasi dengan kegelapan di sekelilingku. Perlahan mataku mulai terbiasa. Di sini hanya terdapat tanah kosong, bekas bangunan tua yang hanya tinggal puing- puing dan pepohonan juga semak yang tak terurus. Ku dengar suara beberapa serangga malam. Sepi !

      Sementara langit tampak di tutupi oleh awan mendung hingga tak terlihat satupun bintang dan bulan di atas sana. Karena itu lah gelap nya benar- benar pekat.

      Aku menarik tanganku yang tadi masih menyandar di dinding pagar asrama. Ya, sekarang aku sudah berada di luar pagar asrama setelah berhasil mengatasi pak satpam yang memergoki ku tadi.

      Setelah mengatur nafas untuk beberapa detik, aku segera melangkah pergi dari tempat itu.

      Benar seperti dugaanku. Di ujung pagar sana, ku lihat sosok bayangan hitam bertubuh tinggi dengan tas ransel besar di punggungnya. Sosok itu bergerak menjauh.

      Aku segera berlari menyusulnya. Secepat yang aku bisa. Sampai !

      Bruk ! Aku memeluknya dari belakang. Sosok itu berhenti, dia tak bergerak untuk beberapa saat.

 "Laura, apa itu kau ?" ucapnya memastikan.

 "Ya, ini aku, " ucapku dengan perasaan bercampur. Lega, takut dan ingin menangis.

      Dia berbalik dan memelukku erat. Mencium wajahku beberapa kali, lalu memelukku lagi.

 "Dave, aku takut sendirian ... " bisikku lirih.

 "Dengar, Laura. Aku di sini kan ?" bisik nya di telingaku.

      Aku mengangguk. Dia melepaskan pelukannya, kemudian menggandeng tanganku pergi dari tempat itu.

 "Ayo, kita harus cepat. " ucapnya.

      Aku menjajari langkahnya. Tiap kali melintasi lampu jalan, aku menoleh ke arah David. Memperhatikan raut wajahnya yang terlihat pucat dan tegang. Tidak seperti David yang ku kenal selama ini. David yang ku kenal adalah seorang yang tenang dan penuh senyum. Tapi sekarang, lebih tepatnya sejak kami menemukan uang itu, belum sekalipun aku melihat senyum di bibir tipisnya.

      David memilih berbelok ke kanan. Ke jalan di mana banyak terdapat gedung gedung bekas yang terbengkalai. Dengan sedikit penerangan dari lampu jalan yang temaram dan sebagian mati, jalan ini tampak hampir gelap seluruhnya.

      Tiba- tiba ku rasakan sentakan tangan David, sebagai isyarat agar aku menoleh padanya.

 "Kamu dengar itu ?" bisiknya.

 "Apa ?" tanyaku.

 "Suara langkah kaki di belakang kita. Seseorang sedang mengikuti. Tidak, jangan menoleh, " dia memperingatkanku dengan suara serendah mungkin.

Bersambung NEXT PART >>>

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun