David menoleh, tapi sama sekali tidak memperlambat jalannya. Dia cuma memberi isyarat agar aku tetap mengimbangi langkahnya.
   Kami tidak sebahagia tadi, ataupun sebahagia sebelum kami menemukan ransel itu. David bersikap sangat serius. Dia hanya diam di sepanjang perjalanan kami.
   Sampai di asrama tempat kami, para mahasiswa dari luar daerah, tinggal. Letaknya tidak begitu jauh dari kampus, hanya beberapa blok, dan gang sempit dimana kami menemukan ransel itu adalah jalan pintas menuju ke sini.
   David membuka pintu gerbang dengan sedikit tergesa, dan membiarkan aku yang menutupnya. Beberapa teman menyapa kami tapi David tidak memperdulikannya. Asrama kami memang ramai. Ada sekitar 200 orang tinggal di situ. Setiap kamar di isi dengan 3 sampai 5 orang mahasiswa. Pembatas asrama putra dan putri hanyalah sebuah koridor utama, dan beberapa satpam yang setiap malam berkeliling mengawasi dari kamar ke kamar.
   Brak ! David membuka pintu kamarnya yang tidak terkunci. Aku berdiri di pintu. Bingung antara masuk dan tidak. Sementara hari semakin malam dan satpam mulai mondar mandir di koridor, dan ada yang menatapku dengan tatapan menegur.
   Kamar David sepi. Beberapa teman sekamarnya mungkin belum pulang dari kampus atau sedang makan.
 "Dave ... " aku memanggil.
 "Ya ?" David tidak menoleh dan sibuk mencari tempat untuk menaruh ransel itu.
 "Gimana kita membaginya? maksud ku kita butuh suatu tempat di mana nggak ada yang ngeliat kita ... " ucapku ragu.
 "Kita nggak mungkin membagi ini sekarang. Biar aku yang simpan dulu." jawab David.
 "Lalu kamu akan simpan di mana? Gimana kalo temen -temen kamu nanya? Apa isi tas itu ?"