"Dengar, Laura. Aku di sini kan ?" bisik nya di telingaku.
   Aku mengangguk. Dia melepaskan pelukannya, kemudian menggandeng tanganku pergi dari tempat itu.
 "Ayo, kita harus cepat. " ucapnya.
   Aku menjajari langkahnya. Tiap kali melintasi lampu jalan, aku menoleh ke arah David. Memperhatikan raut wajahnya yang terlihat pucat dan tegang. Tidak seperti David yang ku kenal selama ini. David yang ku kenal adalah seorang yang tenang dan penuh senyum. Tapi sekarang, lebih tepatnya sejak kami menemukan uang itu, belum sekalipun aku melihat senyum di bibir tipisnya.
   David memilih berbelok ke kanan. Ke jalan di mana banyak terdapat gedung gedung bekas yang terbengkalai. Dengan sedikit penerangan dari lampu jalan yang temaram dan sebagian mati, jalan ini tampak hampir gelap seluruhnya.
   Tiba- tiba ku rasakan sentakan tangan David, sebagai isyarat agar aku menoleh padanya.
 "Kamu dengar itu ?" bisiknya.
 "Apa ?" tanyaku.
 "Suara langkah kaki di belakang kita. Seseorang sedang mengikuti. Tidak, jangan menoleh, " dia memperingatkanku dengan suara serendah mungkin.
Bersambung NEXT PART >>>
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H