Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 30, Kobaran Api) - Pembawa Pesan

19 April 2024   12:55 Diperbarui: 19 April 2024   13:04 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: freepik.com

            Langit masih gelap, cahaya bintang sedikit sekali menerangi perairan sekitar kepulauan Mamluk. Cahaya bulan pun tak nampak, membuat iring-iringan sembilan kapal Samudera dan Palembang Darussalam tak begitu jelas terlihat dari pelabuhan, kecuali hanya kerlap-kerlip kecil saja. Petugas jaga pelabuhan Mamluk sebelah utara malam itu tak lain adalah Panglima Malamo, seorang pimpinan pasukan Kerajaan Ternate yang ditugaskan di Morotai. Terbangun dari tidurnya malam ini, ia tak melanjutkan untuk kembali beristirahat. Diambilnya wudhu untuk melaksanakan sholat tahajjud. Seusai sholat ia melihat sepucuk surat masih tergeletak di atas meja menara mercusuar, yang berdiri kokoh dengan lampu yang menyala terang benderang di bagian atas. Ia mengambil surat itu dan membacanya,

            "Samudera dan Palembang Darussalam berangkat duluan, siang dua belas jumadil akhir ... Hmm jika lancar harusnya pagi ini mereka sampai."

            Surat itu diletakkannya kembali ke meja. Dikirimkan oleh merpati pos dari Sarawak yang sepertinya transit di Sabah. Pandangannya beralih ke arah laut, belum ada tanda-tanda kedatangan kapal atau cahaya terang dari depan. Bintang juga hanya sedikit dan tak ada rembulan untuk membantu mengamati laut malam itu.

            Entah mengapa perasaan janggal tiba-tiba merasukinya, ada sesuatu yang aneh di depan. Bintang di sebelah kiri terlihat bergerak-gerak. Mungkin hanya efek dari gerakan ombak, begitu pikirnya. Namun keraguan karena pengalaman selama bertahun-tahun membuatnya memutuskan untuk mematikan lampu mercusuar sebentar dan mengamati dengan lebih jelas menggunakan teropong. Sambil menaiki tangga dengan satu tangan memegang teropong, ia naik ke arah aki cukup besar di atas. Angin dingin begitu terasa ketika ia mencopot satu kabel aki dari lampu. Seketika gelap, Malamo membiasakan pandangannya terlebih dahulu selama beberapa menit sebelum menempelkan teropong ke sebelah matanya. Teropong itu bisa dipanjangkan dan ia pun mendorongnya maksimal agar bisa melihat bintang apa yang tadi ada di depan. Bintang yang aneh, ada di ujung horizon, tapi sepertinya berasal dari laut, begitu pikirnya.

            Setelah beberapa lama mencoba ke berbagai posisi ia pun menemukan titik fokusnya. Awalnya hanya sebuah titik-titik kecil yang bersinar, namun setelah ia memutar teropong sedikit dilihatnya sesuatu yang lain, seperti sebuah bayangan gelap menutupi bintang bersinar di belakangnya. Ia tersenyum, mungkin bintang yang jatuh ke laut. Diamatinya lagi cukup lama ternyata bayangan hitam di depan bintang tadi bergerak cukup perlahan ke arah kanan dan menampakkan benda yang tadi dikiranya adalah sebuah bintang.

            "Itu bukan bintang.. Itu..." sejenak rasa paham muncul di benaknya.

            "Kapal yang terbakar!" ucapnya beberapa saat kemudian.

            "Berarti..." dilihatnya ke arah kanan, sesuatu yang gelap tadi cukup besar tetapi sekarang sudah tak terlihat. Digerakkannya terus teropong ke arah kanan hingga ia melihat cahaya yang hampir sama tapi lebih redup.

Baca juga: 40 Hari Dajjal

            "Apinya masih kecil..." kali ini sesuatu yang gelap kembali terlihat menutupi dari arah depan kapal kedua yang terbakar.

            "Seperti penyu raksasa hitam... Ah!" Kesadaran tiba-tiba muncul di benaknya, ia yakin apa itu tapi tak berani untuk membuat keputusan terlebih dahulu. Ia curiga, digerakkannya lagi teropongnya ke arah kanan dari kapal kedua yang terbakar. Benar saja, terlihat kobaran api sangat kecil, kali ini ia yakin instingnya benar. Kapal ketiga baru saja terbakar dan sesuatu yang gelap tadi pastiah masih ada di sampingnya menuju ke depan.

            "Formasi tiga kapal.. Perdaya Penyu Taklukkan Samudera!"

            "PRAJURIT! PRAJURIT! SEMUA YANG DI BAWAH!" teriakannya yang tiba-tiba membahana di mercusuar itu. Ia pun turun tangga dan mendapatkan tiga orang yang naik ke atas tergesa-gesa.

            "Ada apa panglima?"

            "Kenapa lampu mercusuar dimatikan?"

            "Ada sesuatu yang gawat kah?"

            "ADA KAPAL TERBAKAR DI DEPAN!"

            "Hah!?" Ketiganya tampak kebingungan.

            "Oh, iya, KAU, naik ke ATAS! Hidupkan kembali LAMPU! kabel sebelah kanan aku copot,"

"kalian, bisakah memberitahu kapal perang terdekat di pelabuhan, kita..." ucapannya terhenti tiba-tiba. Ia teringat sesuatu dan itu membuat hatinya tak menentu.

            "Tapi.. tapi semua kapal sudah diberangkatkan ke Moti panglima..."

            "Yang tersisa hanya kapal dagang dan kapal angkut penumpang..."

            Ia pun menaruh telapak tangan di dahi, tak bisakah kita menyelamatkan mereka?

            "Meriam siap Panglima, kita memiliki cukup banyak di pelabuhan, tapi tidak ada yang bisa membawanya untuk menyerang..."

            "BUKAN! Bukan itu! Kita tidak bisa menyelamatkan mereka kalau begitu..."

            "Ah! Kalau saja.. Tapi acara itu..."

            Tiba-tiba terdengar suara dentuman di depan, dari jauh, bahkan terdengar msekipun sangat kecil dari dalam mercusuar. Beberapa lagi suara dentuman terdengar berurutan.

            "Gawat! Mereka bisa tenggelam! Tapi..." Ia melihat ke jendela, dua bintik terang kecil terlihat sekarang namun sekejap hilang karena lampu mercusuar telah menyala kembali.

            "Tapi kita bisa membawa meriam ke kapal angkut penumpang..." idenya sejenak tertahan suara prajurit yang tadi menghidupkan lampu di atas.

"KEMBANG API! PANGLIMA! ADA KEMBANG API!"

            "Ah, ternyata kembang api, kupikir habis sudah riwayat mereka..." ucap Malamo sambil menghela nafas.

            "Paling tidak mereka sudah sadar apa yang terjadi," berpikir untuk segera melaksanakan idenya, panglima Malamo menyuruh kedua orang yang berada di ruang mercusuar untuk membangunkan prajurit-prajurit lain dan segera mengumpulkan semua meriam yang ada.

            "Se.. semuanya panglima?"

            "IYA, SEMUANYA! Kembali ke sini kalau sudah, suruh yang lain membantu mengumpulkan!" ujarnya tegas.

            "PANGLIMA! PANGLIMA! GAWAT!" suara prajurit dari atas kini terdengar lagi,

"ADA KEMBANG API BESAR, EH, MAKSUD SAYA MELUNCUR KEMARI!"

"TERBANG! TERBANG KEMARI!"

            Agak kaget namun tak dapat memahami apa yang dikatakan prajurit di atas, ia pun menaiki tangga kembali menuju lampu sorot.

            "Apa maksudmu tadi!?"

            "Eh, I.. Itu..." tangannya menunjuk ke arah benda yang kini telah dekat dengan mercusuar. Awalnya benda ini memiliki ekor yang menyala seperti kembang api ketika dihidupkan, tetapi kemudian mati di atas. Anehnya benda ini kemudian terlihat semakin jelas dan seperti terbang mengarah persis ke mercusuar. Barulah setelah beberapa lama, muncul sebuah siluet yang diterangi sinar lampu mercusuar, awalnya kecil namun kemudian membesar. Malamo yang cukup tenang mengambil teropongnya kembali dan melihat ke arah siluet.

            "Itu manusia!" dilihatnya dari teropong sesosok manusia berbadan kurus memegang dua buah tali, di atas tali tersebut adalah parasut paralayang. Mulut sang panglima terbuka, ia tak percaya, apalagi setelah melihat bendera yang berkibar digigit pengemudinya.

            "Pembawa Pesan! Itu lambang Mataram-Parahiyangan!" teriak prajurit di sebelahnya.

            Sosok itu semakin mendekat dan terbang di atas mereka sebelum berbelok ke pantai sebelah selatan.

            "API MERAH! API MERAH! SIAPKAN ANDANG API! ANDANG API! KE ARAH SELATAN!"

            "API MERAH! SIAPKAN ANDANG API! KE ARAH SELATAN!"

            Teriakan Abdi terdengar sepanjang pantai dari mulai mercusuar hingga pesisir sebelah selatan. Suaranya membuat Panglima Malamo meneriakkan instruksi tiada henti kepada seluruh anak buahnya yang berada di pelabuhan untuk bersiap. Mereka akan kedatangan tamu, kawan dan musuh.                                                                                                                              ~~

            Hampir setengah jam berlalu setelah kehadiran Abdi di pantai pelabuhan, persiapan hampir selesai. Abdi sendiri mendaratkan dirinya di pasir pantai, tak terlalu sakit karena memang strukturnya empuk sehingga mudah mendapatkan pijakan. Di sebelah utaranya kini sedang berjejer seluruh pasukan yang ada di pelabuhan di bawah komando Panglima Malamo, yang selain meneriakkan instruksi juga terus memantau situasi di laut. Teropongnya terus terpaku pada satu titik, kapal di tengah terdepan. Mimik mukanya antara heran dan tak percaya, matanya tak bisa meninggalkan apa yang terjadi di laut bahkan satu detik pun.

            "Sudah setengah jam.. dan masih bertahan..."

            "Luar biasa, mungkin setara dengan kekuatan Pinisi Mataram.. padahal kapal yang mengepung besar-besar," teropongnya tak bisa lepas dari tangan.

            "Panglima..." suara seorang prajurit terdengar dari samping.

            "Mereka dikeroyok, tapi formasi tameng yang sempurna itu tak bisa ditembus panah..."

            "Maaf panglima..."

            "Musuh berhasil menaiki kapal mereka, tapi para prajurit di atasnya sudah siap, hmm.. senjata apa itu yang bisa menembak dari jauh.. seperti terakol tapi lebih besar..." pandangannya fokus ke arah seseorang yang kekar di dalam barisan tameng.

            "PANGLIMA!"

            Teropong segera terlepas dari tangan, konsentrasinya teralihkan dan ia pun segera berpaling ke arah suara tadi memanggil.

            "Ah, iya.. tentu saja.. sudah siapkah semua?"

            "Maaf Panglima! Iya, sudah siap. Sang pembawa pesan juga sudah mendarat dengan selamat..."

            "Bagus.. Nah tinggal menunggu saja kalau begitu..."

            "Ini panglima..." prajurit tadi menyerahkan terompah cukup besar, yang jika ia bunyikan, dapat terdengar di sepanjang pantai.

            "Ketika sudah waktunya nanti akan aku berikan sinyal," ujar panglima Malamo.

            "Tapi.. Bisakah mereka..." prajurit tersebut tampak ragu melihat kapal di tengah yang sepertinya dikelilingi bayangan-bayangan hitam besar.

            "Tidak tahu jumlah pastinya berapa..." jawab Panglima sembari menempelkan teropong kembali ke mata.

            "Tapi tinggal tunggu waktu sebelum kapal-kapal setan itu menembakkan meriamnya."

            "Hebat juga bisa bertahan selama ini..."

            "Ya, mau melihat lagi?" Panglima Malamo memberikan teropongnya ke prajurit, ternyata ia adalah prajurit yang pertama kali datang ke mercusuar tadi.

            "Terima kasih panglima, terakhir saya lihat tadi kembang api muncul dari kapal..."

            Ditempelkannya teropong ke mata dan dilihatnya situasi di atas kapal.

            "Musuh yang memaksa naik sepertinya berhasil dipukul mundur, mereka terpojok di pinggir-pinggir dek."

            "Luar biasa memang, formasi tameng yang tangguh," ucap prajurit.

            "Di bagian kiri ada seseorang yang menahan serangan dari arah samping dan belakang.. cukup gemuk orangnya, bersama beberapa prajurit..."

            "Ah, ya.. Itu juga dari pertama sangat membantu, dia membawa gada dari awal pertempuran tadi," komentar panglima.

            "Sepertinya semua musuh masih kesulitan menembus pertahanan mereka.. dan perlahan akan sampai di pantai..."

            "Tidak! Mereka akan tenggelam, meskipun api berhasil mengecil, karena setelah ini adalah meriam..." jelas Malamo.

            "Eh tapi..."

            "Musuh tidak mau membunyikan meriam karena takut terdengar dari pelabuhan, tapi mereka juga tidak akan dapat menahan lebih lama lagi, apalagi kapal yang diserang ternyata bisa bertahan..." lanjut Malamo kembali.

            "Padahal musuh lebih tinggi, panah mereka harusnya bisa membunuh semua di kapal itu..." ujar prajurit tadi.

            "Ya, pastilah mereka membunuh para penjaganya sebelum membakar kapal dan memperlambat lajunya di tengah laut. Tapi sekali lagi kau lihat kan formasi tamengnya?" tanya Malamo

            "Rapat sekali... "

            "Itu dinamakan formasi kura-kura atau testudo. Tameng yang digunakan dilapisi bahan yang tahan api. Pasukan musuh pastilah kesal karena tidak bisa menembusnya kemudian menurunkan pasukannya langsung ke atas dek."

            "Pantas.. Mungkin ada tiga atau empat kapal, benar-benar tidak kelihatan dari sini..."

            "Ya, nyala api akan sedikit membantu meskipun sudah mengecil, nah, pertanyaannya dengan cara apakah kapal itu akan kemari?"

            "Hmm.. Mungkin kapal yang lain yang akan kemari.. Saya lihat kapal di belakangnya sudah menuju utara semua, sepertinya mereka bergabung di situ."

            "Bisa jadi.. Tapi mereka pasti juga akan dihalangi, entah berapa jumlah musuh.. Tapi memang kapal yang di tengah adalah yang paling berani dan pintar. Seharusnya komandan mereka ada di situ atau mungkin seseorang yang sangat berpengalaman..." Panglima Malamo terdiam, seperti teringat sesuatu.

            "Lalu kita bersiap untuk apa? Laju mereka lambat sekali.. apalagi yang di tengah dikeroyok.. bisa-bisa sampai pagi..."

            "Nah, prajurit, itulah yang dinamakan dengan saling percaya antar sesama muslim. Seorang pembawa pesan dari mereka telah menyampaikan pesan 'API MERAH' dan 'ANDANG API'. Kita siapkan saja permintaan itu, semoga Allah membantu mereka..."

            "Untung mereka tidak minta kapal untuk menolong, pas sekali waktunya, yang tersisa hanya kapal dagang dan angkutan saja..." teropong yang dipegang prajurit tadi goyang, barusan terdengar suara yang menggelegar di udara. Lebih keras daripada suara dentuman di awal tadi, beberapa kali, kemudian terhenti.

            "Akhirnya..." ucap Malamo.

            Seluruh prajurit di pantai terkejut dan melihat ke arah depan tempat sebuah kapal berjibaku melawan kepungan musuh yang sudah tidak bisa lagi menahan kesabarannya.

            "Mungkin mereka akan tenggelam.. ya Allah..." si prajurit tidak memberikan teropongnya kembali kepada Panglima Malamo.

            Tiba-tiba ada suara mendesis yang cukup lirih jika didengar dari jauh, seperti angin yang memotong di udara. Di depan, kapal yang tadi dikeroyok secara mengejutkan maju ke arah pantai seperti ditiup angin yang kencang, padahal sebagian layarnya sudah hangus terbakar.

            "Wah! Wah! Wah! kapalnya.. kapalnya maju dengan cepat Panglima!"

            "Kapalnya terbang!"

            "Tidak mungkin! Itu berlayar ke depan namanya!"

            "Ya tapi cepat sekali!"

            Beberapa suara orang-orang yang juga tidak percaya dengan apa yang mereka lihat terdengar di telinga Panglima Malamo. Di sepanjang pantai suara-suara prajurit membunyikan keheranan mereka dengan apa yang sedang terjadi.

            Setelah beberapa saat, prajurit yang tadi memegang teropong berkata,

"Seperti ada api yang mendorong kapal itu maju, apinya dari belakang kapal!" ujarnya.

            Dari jauh memang terlihat dorongan api seperti yang keluar dari petasan ketika ia diterbangkan ke udara.

            "Sama seperti yang digunakan si pembawa pesan tadi.. Ah!" wajahnya melihat ke arah panglima seperti ingin menyampaikan sesuatu yang segera ditangkap oleh Malamo.

            "Alat yang sama, untuk mendorong.. yaya, kalau begitu..." diangkatnya terompah ke depan mulut dan dibunyikannya keras. Suara itu menggema sepanjang pantai, menyiapkan para prajurit akan kedatangan tamu-tamu mereka.

            Di belakang dekat horizon langit tampak tak ada, seperti menghilang.

            "Mereka mengikuti..."

            "Tentu! Tak mungkin mereka membiarkan kapal itu lolos! Oke, setelah ini, pada suara terompah yang kedua matikan mercusuar!"

            "Siap Panglima!" prajurit tadi akhirnya memberikan teropong kembali ke Panglima Malamo dan ia pun bergegas menuju ke arah belakang lampu mercusuar.

            Senyum tergores di wajah Malamo, ia seperti menemui sesuatu yang luar biasa,

"Dengan seluruh persiapan yang ada, tameng, senjata seperti terakol, kembang api, manusia terbang, hingga alat pendorong ajaib itu.. Belum lagi berita kedatangan pasukan dari selatan yang tak sedikit dan Malaka yang akan sampai besok. Pastilah ada rencana lain," ia bergumam ke dirinya sendiri.

            "Untungnya aku tahu apa itu Samudera dan Palembang Darussalam, sehingga tak perlu kucuriga.. Tapi siapa?"

            "Mungkinkah? Tapi.. hmmm..."

            "Tak pernah kujumpai lagi yang sehebat Diponegoro!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun