"Yaah, tapi kita benar-benar harus menghitung kebutuhan untuk nanti di Malaka Lem. Siapa tahu di sana lebih mahal dibandingkan dengan di tempat-tempat yang telah kita kunjungi sebelumnya."
      "Cuma satu dinar kok Di. Eh tapi apa bener ya sejak zaman rasulullah harga kambing satu dinar? Gak salah denger kan tadi aku Di?"
      "Sama kita kok dapat kembalian sih, emang beda ya hitungannya?" Abdi pun balik bertanya kepada Dalem.
      "Gak tahu sih Di, tapi setelah aku kasih satu dinar Mataram trus dikembalikan dua dirham Malaka sama Pak Affar," Abdi menoleh melihat Dalem.
      "Jangan-jangan dombanya dipilih yang kurusan?"
      "Heh, enggak laah Di..." jawab Dalem meskipun muncul keraguan dalam benaknya.
      "Nanti kan kita ikut bantu memotong, membersihkan, dan memasak, hmm.. yuk datengin aja Pak Affar," ucap Dalem lagi yang langsung berdiri, disusul Abdi. Suara ombak yang tenang membuat keduanya semakin penasaran dan berpikir apakah ada yang salah dan segera menuju ke bagian dalam dek bagian tengah.
      Bau domba tidak terlalu mengganggu mereka karena di rumah pun mereka berdua terbiasa dengan kambing-kambing peliharaan yang berada di sekitar pekarangan. Hal yang benar-benar berbeda di dalam dek tengah adalah udara yang lebih dingin dibandingkan dengan di luar. Pembahasan yang sudah dibicarakan berkali-kali dan menjadi topik hangat antara Abdi dan Dalem di hari pertama mereka berlayar menaiki kapal angkutan khusus buatan Malaka ini.
      "Wuuiihh lupa Di kalau di dalem lebih dingin.. muantab memang..." ujar Dalem segera begitu mereka masuk ke dek bagian tengah.
      "Alhamdulillah, aku juga lupa Lem. Teknologi yang hebat!" Abdi memandang ke arah puluhan jendela yang berbentuk seperti mocong-moncong kecil di dalam namun di luar kapal terlihat seperti mangkuk-mangkuk yang terbuka.
      "Ah lupa aku Di, Pak Affar sudah ngasih tahu sih waktu itu, moncongnya ya yang buat udara lebih dingin. Ah, pokoknya kayak botol yang dibelah dua dan diambil ujungnya kan."