"Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan Hari Musik Nasional"
Mantra yang tertulis di kertas Microsoft Word yang sedari tadi menganga ke arahnya.
Tio memandangi mantra tersebut lalu melafalnya layaknya dukun yang berkomat-kamit melakukan ritual pemanggilan arwah ide dari dunia gaib kreatifitas.
Sudah seminggu ia memiliki Ritual baru ini di perpustakaan kampus.
Walau kampus sedang 'tenang' karena 'kejadian kampanye' baru-baru ini, perpustakaan tetap menjadi tempat paling tenang pilihannya untuk mencari ide pidato besok.
Meski sudah ahli membuat konsep pidato dalam hitungan menit, kali ini ia benar-benar tak berdaya menyelesaikan konsep pidato Hari Musik Nasional besok.
Kali ini ia lesu, tenggelam dalam samudera lara karena tragedi pada acara yang menimpa teman terbaiknya, Yohan, yang juga merupakan wakilnya sebagai ketua BEM.
Belum lagi penyesalannya karena tidak bisa menemani Yohan di rumah sakit.
Ia harus memenuhi tugasnya sebagai mahasiswa dan ketua BEM.
Jadi, ia belum mengetahui perkembangan kondisi Yohan. Ia belum ke RSUD sama sekali hari ini.
Yohan adalah teman pertama Tio di Kota Sorong.
Mereka berkenalan pada hari pengembalian formulir mahasiswa baru ke Fakultas Seni Universitas Maladum Kota Sorong (UMS), hari pertama Tio di Kota Minyak.
Yohan merupakan tipe orang yang aktif menyapa siapa saja yang ditemuinya.
Raut wajah yang selalu tersenyum memberinya kesan ramah. Yohan juga merupakan orang yang ringan tangan untuk membantu orang lain.
Tanpa diminta, ia akan menawarkan diri untuk membantu siapa saja yang terlihat membutuhkan bantuan, termasuk Tio yang saat itu kebingungan mencari loket pengembalian formulir.
Yohan --makhluk paling altruistik yang pernah ditemui Tio--- berjalan menghampirinya lalu menawarkan bantuan untuk mengantarnya ke loket pengembalian formulir.
Sejak itu, mereka bagai sepasang sepatu yang selalu bersama ke mana saja.
Terlihat janggal tanpa kehadiran partnernya.
Berbeda namun saling melengkapi.
Kalau Tio yang berperawakan tegas dan introvert menciptakan suasana dingin sewaktu mengendalikan keributan di dalam forum mahasiswa, maka ia punya Yohan yang dengan mudah akan mencairkan suasana menggunakan humor ringan dan wajah ramahnya.
"Aku pasti sudah mati di dalam sana tanpamu tadi, dungu" canda Tio berterima kasih pada temannya seusai rapat pembentukan panitia amal bencana gempa Palu 2 tahun lalu.
"Sudah pasti, kikuk" balas Yohan mengacak rambut Tio.
Saat Yohan yang tanpa pikir panjang menolong orang lain dan tidak memikirkan resiko kerugian yang akan diterimanya, ia punya Tio yang selalu ada di sana untuk mengingatkan dan memberi jalan terbaik agar temannya tidak menderita di akhir tindakan heroiknya.
"Dari semua kikuk di dunia, kau adalah kikuk terbaik. Tanpamu nilaiku tidak bakal sekeren ini, pak ketua" kata Yohan berterima kasih pada Tio seusai melihat nilai semester kemarin.
Tio adalah teman sekaligus pengawas belajar terbaik Yohan.
Dua tahun lalu  tanpa sepengetahuan Tio, Yohan pergi ke panitia pemilihan untuk mendaftarkan mereka sebagai paslon ketua dan wakil ketua BEM Tio.
Sebagai bangsa introvert, sudah pasti Tio akan menolaknya.
Seperti dugaan Yohan, "apa yang sudah kau lakukan? Oh dasar dungu... kau pikir kita bisa mendapat suara?" Tio kaget setengah mati sewaktu mengetahui rencana Yohan menjadikan mereka ketua dan wakil ketua BEM.
"Kita berdua cukup tampan dan keren, setidaknya kita bisa memenangi suara kaum hawa" jawab Yohan dengan senyum penuh percaya diri.
"Ya Tuhan, teman baikku ternyata lebih dungu dari keliatannya" balas Tio seraya menempelkan satu telapak tangannya ke dahi.
Jauh dari dugaan Tio, mereka akhirnya terpilih menjadi ketua dan wakil ketua BEM UMS.
Perpaduan ketegasan dan kecerdasan Tio dengan kehangatan dan kepandaian bersosial alami Yohan membuat mereka terpilih untuk kedua kalinya di tahun berikut.
Di tangan mereka BEM UMS meraih banyak sekali penghargaan.
Sayang peraturan BEM yang hanya mengijinkan dua periode saja bagi jabatan Ketua dan Wakil Ketua, mengharuskan mereka untuk tidak mencalonkan diri kembali tahun ini.
**************************************************************************
Pikirannya berpacu, berdiskusi dengan diri sendiri.
TEMA APA YANG HARUS KUANGKAT?
MUSIK?
TIDAK...TIDAK...
PERDAMAIAN. YA! HARUS PERDAMAIAN.
KAMPUS SEDANG BUTUH PERDAMAIAN.
TAPI BESOK ADALAH HARI MUSIK NASIONAL.
Berharap mendapat percikan inspirasi, kepalanyanya berpaling ke biola yang diletakannya di sebelah kanan laptop dan tanpa sengaja matanya menangkap penunjuk waktu di kanan bawah layar laptop.
11:00 PM
3/8/2020.
Perutnya memelas, "ASTAGA! SEBELAS JAM LAGI. DAN AKU BELUM TIDUR SAMA SEKALI" Teriaknya dalam hati.
Ia harus segera menyelesaikan konsep pidato untuk acara jam  10 pagi besok, namun kertas konsep masih terisi satu kalimat saja, kalimat pembuka.
Dia benar-benar sedang tercekik deadline.
Belum lagi, ia harus memilih kata dengan baik.
Bukannya dicemoh, perang adalah konsekuensi dari 'salah pemilihan kata' untuk pidatonya kali ini.
Ia tidak bisa menjernihkan pikiran, kepalanya serasa mau pecah.
AKU TAK BISA MELAKUKANNYA.
TIDAK KALI INI.
Pasrah dengan konsep pidato yang tidak mungkin selesai, ia memutuskan untuk menunggangi motor matik nya ke RSUD, menjenguk Yohan.
Meski jam kunjungan telah berakhir, kamar 06 ruangan Boegenvil terlihat ramai di luar, seperti malam-malam sebelumnya satu minggu belakangan.
Banyak di antaranya adalah anak kampus dan saudara-saudari Yohan dari panti asuhan, namun ada beberapa juga yang tidak dikenali Tio.
Jiwa altruistik Yohan menjadi magnet simpatik untuk menarik siapa saja yang pernah mengenalnya datang ke Rumah Sakit Umum Daerah seminggu belakangan, tempatnya terbaring tak sadarkan diri.
Hanya satu orang yang diijinkan masuk ke kamar, jadi Tio menunggu gilirannya untuk masuk.
Omi, orang tua asuh Yohan berjalan menghampiri Tio.
Sudah seminggu ia di sana, menemani Yohan selalu.
"Ia belum menyadarkan diri. Denyutnya makin melemah" Terang Omi sambil berpaling ke arah EKG di samping tempat tidur Yohan.
Matanya yang membengkak karena air mata menambah kesan kusut dan layu pada wajahnya.
"Kata dokter... Ia hanya punya waktu beberapa hari lagi" Ia memeluk Tio dan menangis tersedu. Tio hanya diam.
"Oh...maaf..." Omi menyeka air matanya untuk yang kesekian kali hari ini lalu melepas pelukannya dari Tio.
"kau tidak perlu mengantre untuk menengoknya, masuklah."
Ada tekanan besar yang muncul tiba-tiba di dada Tio.
Tak bisa dan tidak mau  mempercayai apa yang baru saja didengarnya, ia segera masuk dan duduk di kursi yang berhadapan tempat tidur Yohan.
Ia menggenggam  tangan Yohan dan berbisik di telinganya dengan getir, "Kami masih membutuhkanmu di sini, dungu......" menarik dan menghembuskan nafas dalam lalu melanjutkan "...ok...aku ketahuan. Aku masih membutuhkan...mu...jadi tolonglah jangan pergi dulu" matanya membanjir. Ia tak dapat menahan air mata.
Menggunakan lengan baju sebagai sapu tangan, ia menyeka air mata dari wajah dan hidung lalu berjalan keluar meninggalkan kamar.
Penuh dengan kepedihan, si kikuk berjalan cepat meninggalkan rumah sakit, menuju ke rumah yang dibeli orangtuanya di depan kampus UMS. Ia terus menggumamkan doa "Tuhan sembuhkanlah dia" sepanjang perjalanan.
Ia benar-benar kelelahan, tubuh dan jiwa. Ia hanya ingin tidur dan berharap terbangun besok dengan keadaan normal seperti sedia kala, bahwa kejadian ini hanyalah mimpi.
Malang, keberuntungan tidak berpihak padanya.
Ia tidak bisa tidur, atau mungkin program alam bawah sadarnya  lagi crash hingga tidak mampu mengetahui apa yang dibutuhkan tuannya saat ini.
Tio berbaring lama menatap langit kamar dengan pikiran kosong sampai alarm di handpone mengangetkannya. Jadwal Nobar Liga Champions Eropa.
Ia memutuskan untuk pergi ke kafe yang terletak di sebelah kampus.
******************************************************
Acara nonton bareng Liga Champions mahasiswa UMS di kafe 'Kopi hitam' bermula dari ide Yohan empat tahun lalu.
Yohan selalu hadir ke acara tersebut mengenakan kaos dengan tulisan tulisan dan logo Liga Champions di tengah depan  kaos dan  logo dan slogan FIFA (Federasi Sepak Bola Internasional) yang berbunyi "My game is fair play" di sebelah kiri bawah.
Tapi, bukan itu yang menarik dari Yohan di acara tersebut, bertindak sebagai penanggungjawab, ia selalu membuka dan menutup acara dengan humor cerdas yang mengundang tawa riuh di malam nobar sehingga meski mendukung tim yang berbeda, tidak pernah ada percecokan antar pendukung klub peserta Liga Champions di kafe tersebut.
Setiap orang menikmati kebersamaan di dalam perbedaan.
Yohan seperti mempunyai sihir tersendiri untuk membawa motto fairplay FIFA ke luar lapangan.
Ia adalah maestro pemersatu yang terlahir dengan instrumen perdamaian.
Ia adalah ikon tak resmi malam nobar Liga Champions mahasiswa UMS.
Bermula dari sekelompok kecil, kini acara nobar dihadiri oleh hampir semua mahasiswa UMS penikmat sepakbola setiap selasa dan rabu malam, kecuali pada saat minggu-minggu ujian semester.
Bahkan tidak sedikit juga penikmat sepakbola baru dengan adanya acaara ini.
Tio misalnya, awalnya ia tidak pernah mengerti tentang kesenangan menonton sebuah olahraga yang mempertontonkan 22 orang laki-laki dewasa berlari memperebutkan satu bola selama 90 menit, baginya sepakbola adalah olahraga yang terlalu kekanak-kanakan.
Tapi, karena ajakan Yohan, ia akhirnya mulai menikmati acara tersebut.
Atau atmosfer kebersamaan dari acara tersebut, barangkali.
Nobar sudah menjadi ritual kebersamaan mahasiswa UMS.
Bahkan kini berkembang jargon, "kamu tidak pernah kuliah di UMS kalo belum pernah ikut nobar".
Waktu menunjukan pukul 1 malam. Suara angin mampu terdengar dari depan pintu 'Kopi Hitam', tidak ada lagi suara mahasiswa bercengkrama yang biasanya terdengar dari jauh.
Hanya terlihat beberapa mahasiswa saja di dalam kafe. Semua masih was-was dengan kejadian di kampanye paslon ketua BEM kamis kemarin.
Tio memilih kursi terjauh dari layar tancap agar bisa melihat pemandangan ke seluruh sudut kafe.
Di layar, terlihat dua orang komentator sedang membahas formasi dan starting line up kedua tim yang  akan berlaga malam ini.
Beberapa yang hadir di kafe pun terlihat tak mau kalah berkomentar layaknya mereka yang ada di layar.
Tapi tidak Tio, pikirannya melayang ke kejadian kampanye kemarin. Saat di mana ia mengangkat kepala Yohan yang bersimbah darah dari lantai aula utama UMS, selasa minggu kemarin.
Kejadian bermula dari adu mulut dan berujung perkelahian antara pendukung paslon berbeda. Keadaan menjadi tak terkendali, kerusuhan besar terjadi.
Yohan sebelumnya di atas panggung bersama Tio dan panitia pemilihan lainnya.
Ketika perkelahian terjadi, spontan ia berlari masuk ke kerumunan untuk melerai.
Tidak lama kemudian, Tio yang bermaksud mencari dan meminta bantuan Yohan untuk membawa korban luka ke fasilitas kesehatan kampus, menemukannya terkapar di lantai tak sadarkan diri dengan kepala tergenang darahnya sendiri.
Tio tersentak dari lamunan. Lagu kebangsaan atau Anthem Liga Champion membawa pikirannya kembali ke kafe.
Pertandingan akan segera dimulai. Biasanya ini saat yang paling dinanti-nanti Tio, di mana Yohan akan berdiri di depan dan mengiringi Instrumen tersebut dengan melakukan gerakan seorang konduktor yang sedang memandu orkestra.
Gelombang emosi perlahan memenuhi dirinya. Air mata mengalir deras seiring kenangannya tentang Yohan, teman rasa saudara.
Di pengujung instrumen anthem tersebut, ia seperti mendapat sebuah ilham yang membangkitkan sebuah emosi baru yang berbeda sama sekali.
Emosi yang rasanya sangat melegakan, emosi yang membuatnya tersenyum lagi untuk pertama kali dari sejak minggu lalu.
Dalam hati ia berdoa "Tuhan, terima kasih telah memberikan teman terbaik dalam hidupku, teman yang mengajarkanku tentang simfoni kehidupan....Jika keputusan-Mu berbeda dengan inginku maka aku tetap akan menerimanya dengan fairplay"
Tio akhirnya mengerti bahwa ada pelajaran berharga dari semua kesesakan ini. Bahwa Tuhan memiliki rancangan indah untuk setiap kejadian buruk. Yang harus dilakukannya adalah melakukan bagiannya dan biarkan waktu bekerja sesuai rencana-Nya.
Dia sudah tahu bagiannya.
Berpidato besok, dan biarkan waktu bekerja.
**************************************************************************
Rumah tipe minimalis itu memiliki dua kamar tidur yang berhadapan secara diagonal dan dipisahkan oleh sebuah ruangan yang berfungsi sebagai dapur sekaligus ruang makan. Tio dan Yohan sepakat untuk menaruh meja makan --dan beberapa kursi yang ditata mengelilinginya-- di tengah ruangan itu tiga tahun yang lalu, hari pertama mereka menghuni rumah itu. Perkakas dapur dan alat makan tergantung rapi di rak merek Ikea tepat di atas wastafel di sisi dalam ruangan tersebut. Rumah itu juga memiliki satu ruang tamu, dan garasi di depan.
Jarum terpendek Jam dinding yang tergantung di ruang tamu menunjuk tepat ke angka delapan. Tio sudah tidak berada di kamarnya.
Terdengar bunyi biola dari garasi, sudah dua jam ia berlatih di sana. Ia berhenti dan melihat ke arah jam tersebut.
WAKTUNYA BERGEGAS KE KAMPUS.
Tepat pukul sepuluh, acara Perayaan Hari Nasional UMS dibuka dengan pidato sambutan oleh Hansen Kalami, Rektor UMS.
Dalam pidatonya, beliau menyampaikan penyesalannya oleh kejadian kampanye kemarin. Ia mengingatkan pada mahasiswa untuk menjunjung tinggi sportivitas dalam bermusyawarah.
Acara dilanjutkan dengan pidato sambutan dari Ketua BEM.
Tio melangkah maju ke mimbar mengenakan kaos Liga Champions milik Yohan dan menenteng biola di tangannya.
Mengangkat biola ke pundaknya, ia mulai memainkan instrumen yang sudah dilatihnya pagi ini, instrumen anthem Liga Champions.
Emosi yang dialirkannya ke setiap gesekan dawai menciptakan musik yang syahdu, menusuk ke dalam ego setiap kepala yang hadir di ruangan tersebut.
Mereka tertunduk, memori sang ikon dan indahnya tawa dan kebersamaan yang digagasnya pada malam nobar terlihat jelas bagai layar tancap di pikiran masing-masing. Tidak sedikit air mata yang tumpah.
Kepala mereka saling memandang. Tanpa instruksi, mereka saling berpelukan dan memaafkan satu sama lain. Tidak ada yang rela melepas kebersamaan yang selama ini telah terjalin.
5 menit berlalu.
5 menit, Tio telah selesai memainkan biolanya.
Ia berjalan turun dari mimbar tanpa sepatah kata pun. Sedikit membungkuk, ia mengangguk tanda terima kasih. Pidatonya telah selesai.
Musik mempunyai cara tersendiri dalam berbicara. Tanpa sepenggal lirik, musik Tio telah menyampaikan apa yang perlu disampaikannya.
Tak ada yang peduli --atau barangkali tidak menyadari-- untuk melihat keanehan dalam pidatonya, bahwa bagaimana instrumen musik pembuka sebuah pertandingan olahraga di Eropa mampu memberikan inspirasi yang mendalam tentang kebersamaan dan sportivitas di sebuah lembaga pendidikan yang terletak di benua Asia yang berbeda kultur dan berjarak ribuan kilometer?
BARANGKALI MEMANG BENAR BAHWA MUSIK BERSIFAT UNIVERSAL DAN MULTIDIMENSIONAL.
Tak ingin berpikir lebih mendalam lagi, Tio segera turun dari panggung untuk menyalami mahasiswa lain di aula.
******************************************************
"Cerita apa yang kau bawa untuknya hari ini?" Tanya Omi menyambut kedatangannya dengan senyum hangat.
"ah....cerita yang kutulis sendiri.." Balas Tio seraya menyerahkan naskah cerita yang dicetaknya di atas kertas Folio dan dijepit sederhana menggunakan staples kepada Omi.
Omi memperhatikan dan membolak-balik lembaran naskah cerita di tangannya sejenak, lalu mengembalikannya pada Tio. "Ia pasti menyukainya... dan kau harus meminjamkannya padaku nanti, setelah kau membacakan padanya, tentu saja".
Tio selalu datang setiap hari dan membawa sebuah buku baru atau cerita yang diunduhnya dari internet. Lalu membacakannya untuk Yohan yang (ajaibnya) didiagnosa sudah bisa siuman beberapa hari ke depan. Ritual baru ini sudah dua minggu dilakukan Tio semenjak perayaan Hari Musik Nasional.
Barangkali artikel yang dibacanya di internet benar, kalau aktifitas saraf pasien koma tidak sepenuhnya nihil. Saraf tak sadar mereka sebenarnya masih bekerja, jadi membaca untuk pasien koma bisa memberikan efek plasebo positif kepada mereka.
Yang ia tahu pasti adalah bahwa ia hanya melakukan bagiannya dan biarkan waktu bekerja menyingkap rahasia-Nya.
Tio masuk ke kamar dan duduk di samping teman baiknya.
"Hai... emmm...hari ini aku membawa cerita yang kutulis sendiri...judulnya belum ada...jadi kuharap kau bisa memberinya judul yang bagus saat kau bangun nanti"
Ia mulai membaca,
"Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan Hari Musik Nasional........"
**************************************************************************
Cerpen ini dibuat untuk Blog Competition Estafet.
Anggota Tim DE JERO :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H