Di penghujung bulan, tatkala senja mampir sebentar lalu menghilang dalam bayangan awan yang hitam. Beberapa orang datang bertamu. Ibu tidak mengenal mereka, apalagi aku. Sebisa mungkin ibu menunjukkan sikap ramah, hendak membuatkan the sampai dicegat oleh mereka. Namun, ibu bersikeras untuk mengambil air putih sebagai gantinya.
"Hera ada, Bu?" Aku mendengar salah seorang dari mereka menanyakan keberadaanku. Aku yang sudah berada di kamar tidak segera beranjak.
"Ada, di kamarnya, ini ada apa ya?" suara ibu terdengar bergetar. Mungkin terkejut karena orang yang tidak dikenal tiba-tiba tahu nama putri semata wayangnya bahkan menanyakan keberadaannya.
"Boleh saya dan Mira bertemu?"
"ii. iya, silahkan," balas ibu gelagapan.
Di dalam kamar aku pura-pura mengambil buku, sambil berbaring aku membolak-balik halaman buku, hanya membolak-baliknya saja.
Pintu kamar terbuka. Dua orang perempuan muda memasuki kamar. Aku menilik ke belakang mereka, tidak ada ibu di sana, hanya mereka berdua. Lalu salah satu dari mereka menyapaku lembut. Aku langsung tahu, perempua itu adalah orang yang meminta izin kepada ibu sedangkan satu lagi pasti Mira. Aku hanya terpaku menatap mereka. Mencoba untuk memotret wajah mereka dan menyimpannya dalam memoriku.
"Sudah mendengar cerita Sepasang Mata di Perkebunan Karet?" tanya perempuan itu. Aku menggeleng tanpa suara.
"Itu cerita Ayah terakhir kali untuk Hera, bukan?" tanyanya memastikan. Aku mengangguk. Mungkin benar itu adalah cerita yang belum sempat dituntaskan oleh Ayah.
"Kamu mau mendengar kelanjutannya?" tanya perempuan itu. Sekali lagi aku mengangguk tanpa suara.
Setelah Raja ketahuan, ia dikabarkan melarikan dan menghilang. Tawanan dibebaskan. Seluruh masyarakat merasa berbahagia karena pekerja yang ditahan dibebaskan, burung-burung itu juga ada beberapa yang masih hidup dan ada juga yang sudah mati. Baik yang hidup dan mati dikembalikan ke perkebunan karet sebab disanalah tempat tinggal mereka sejak mulanya dan jasadnya harus dikembalikan kesana.