"Betul, sepasang mata anjing itu selalu mengawasi tindak-tanduk sang Raja kemanapun dan dimanapun Raja berada" Ayah membenarkan jawabanku.
Situasi kerajaan semakin gempar karena anjing itu. Entah keajaiban yang datang darimana, anjing itu bisa berbicara dan memberitahukan apa yang disaksikannya kepada semua orang yang dijumpainya, mulai dari para pejabat istana, dayang-dayang, prajurit dan seluruh masyarakat.
"Lalu apakah, semua masalahnya langsung beres Ayah? Bagamana dengan nasib sang Raja atau nasib burung-burung itu?" tanyaku.
"Besok kita lanjutkan ya, sekarang sudah larut,"
"Ah ayah, tanggung banget, lanjut dong, Ya" rengekku sambil memegangi tangan Ayah.
      Ayah tidak menghiraukan rengekanku. Ia menarik selimyu lalu menutupi tubuhku. "Lihat! Sudah jam 10, besok bangunya telat," kata Ayah sebelum akhirnya beranjak dari ranjang lalu ke luar kamar. Aku mengikuti punggung ayah yang kemudian menghilang bersamaan dengan tertutupnya pintu kamar.
***
Sudah lima hari sejak ayah bercerita cerita yang aku sendiri tidak tahu judulnya. Sepertinya ibu tidak memiliki alasan lagi untuk membohongiku. Hari pertama ia bilang kalau Ayah menginap di rumah juragan karet karena besoknya harus mengumpulkan getah mulai dari pagi, hari kedua, pengumpulan getah karet belum selesai, hari ketiga ada acara bersama dengan juragan dan para pekerja lainnya. Hari keempat, ibu mulai kehabisan ide dan hari ini, aku melihat mata ibu tidak memancarkan keceriaan. Pekerjaan rumah ditelantarkan. Ibu paling cerewet masalah kebersihan rumah, dan kali ini ia seakan tidak peduli.
"Bu, malam ini, Ayah masih di rumah Pak Suri ya?" aku tidak bertanya alasan Ayah belum pulang. Sengaja kujadikan alasan ibu menjadi pertanyaan agar ibu bisa mengangguk mengiyakan. Jelas ibu berbohong, sebab diam-diam aku mendengar ibu sesenggukan di dalam kamarnya sejak kemarin.
Ayahku hilang. Itu yang kupahami. Mulut ibu bisa membohongiku, tetapi bukan dengan mata dan senyum palsunya. Aku anak 14 tahun yang berusaha memahami situasi, memahami ibu.
Seminggu, dua minggu, tiga minggu, ayah tak kunjung datang. Ibu mulai terbiasa tanpa kepulangan Ayah tetapi ibu bukan lagi istri yang ceria menyambut kepulangan suaminya. Tidak ada lagi aroma kopi di ruang tamu atau di kursi depan rumah setiap ayah pulang. Tidak ada aroma getah karet yang mampir ke rumah ini yang menjadi alasanku untuk mengejek bau badan ayah. Ibu tidak akan lagi ditinggal suaminya di kamarnya barang satu sampai dua jam demi pendengar cerita yang budiman ini.