Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Guru - Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai. Jangan berhenti, selesaikan pertandinganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Sepasang Mata di Kebun Karet

4 September 2022   14:31 Diperbarui: 4 September 2022   14:39 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            "Mereka tidak akan bisa. Raja punya kekuasaan. Dan kabarnya, Raja telah menjebloskan para pekerja yang menyebarkan desas-desus itu ke penjara bawah tanah dengan tuduhan fitnah, pencemaran nama baik dan pemberontakan terhadap kerajaan,"

            "Tapi pekerjanya kan banyak, Ayah? Kalau mereka ajak keluarga mereka untuk menuntut Raja, bisa-bisa aja, kan?" aku mencoba menyampaikan argumen,

            "Siapa yang mau berdiri membela siluman, Nak? Siluman itu derajatnya lebih rendah dari manusia. Reputasi mereka juga terbilang buruk. Siluman dikenal sebagai makhluk bejat, penyesat dan menjauhkan manusia dari pencipta-Nya."

            Aku terdiam. Aku tidak bisa membantah pernyataan Ayah. Selain burung-burung itu tidak leluasa berubah wujud, para pekerja dalam posisi dilema, jika mereka menuntut mereka kehilangan mata pencaharian dan kerajaan bisa menyerang balik mereka. Jika dibiarkan begitu saja, mereka hidup dalam penyesalan karena para siluman meneruh harapan besar pada mereka.

            "Semakin lama, Raja semakin beringas," sambung Ayah.

Pada siang hari, sang raja akan bermain-main dengan putri siluman yang di tawan itu, ia mengusap-usap kepala burung itu dengan senyum menyeringai. Bagai anjing diberikan daging, air liurnya sampai menetes melihat keindahan burung-burung itu. Ia mencabuti bulu burung itu dengan tawa menyeringai. Tubuh burung itu bisa mengeluarkan darah karena perlakuan kasar sang raja. Malam harinya, burung-burung itu akan berubah ke wujud manusia, tanpa busana, tetapi penuh luka dan darah bekas bulu-bulu yang dicabut dengan kasar oleh sang Raja. Parahnya, para pekerja yang dituduh memberontak itu dapat menyaksikan dengan mata kepala mereka kegilaan sang Raja. Miris dan menyedihkan.

"Inilah kabar baiknya," kata ayah, memancing semangatku untuk mendengar akhir cerita Ayah. Aku memperbaiki posisiku, aku ingin menyimak akhir cerita ini sebaik mungkin. Aku duduk dan menyandaran punggungku pada sandaran kayu ranjangku.

"Ada sepasang mata yang selalu mengawasi sang Raja. Kalau kau menyimak cerita Ayah dari awal, aku pasti tahu," Ayah mengedipkan mata kirinya, menantangku.

Aku memutar otak. Yang kutahu, sang Raja selalu melakukan aksinya seorang diri. Tidak ada satupun manusia yang mengikutinya bahkan prajuritnya sendiri. Aku melihat ayah tak hentinya membusurkan bibirnya dengan sempurna. Alisnya yang diangkat menujukkan bahwa ayah benar-benar sedang menantangku, tetapi buntu. Aku tidak menemukan ide apapun.

"Kau benar-benar tidak ingat? Sesungguhnya sang Raja tidak pernah sendiri. Ia selalu ditemani sesuatu bahkan saat pertama kali berkunjung ke perkebunan," jelas Ayah memberi petunjuk.

Aku menggumam dan menimbang-nimbang, "aaa aku tahu, Yah. Anjingnya, iya, anjingnya," kataku bersemangat hampir berteriak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun