"Ayah, malam ini Ayah ke kamar Hera, kan?" tanyaku setelah Ayah duduk tenang di kursi depan rumah sambil menyesap kopi. Bagai angin yang berhembus pelan, suaraku sepertinya tidak berhasil menggetarkan gendang telinga Ayah. Matanya terjurus ke depan dengan tatapan kosong. Ayah seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mungkin juga ia sedang sibut untuk menjalin gulungan kusut sehingga gelombang bunyi yang kukeluarkan tidak memiliki tempat di dalam otaknya.
"Ayah, malam ini Ayah ke kamar Hera, kan?" Aku mengulang pertanyaan yang sama. Kali ini Ayah menoleh. Butuh beberapa detik sampai Ayah menjawab pertanyaanku.
"Jangan malam ini ya, Nak, nanti minta tolong ibu dulu," kata Ayah dengan wajah datar. Mata yang sayu sedikit berkilau itu sedang serius. Mata itu juga memohon agar aku menurutinya.
"Baiklah," jawabku singkat sambil beranjak dari situ. Aku melihat Ayah membetulkan posisinya lalu menatap lamat-lamat entah menatap apa, yang pasti Ayah tidak menyadari bahwa aku masih memperhatikannya untuk beberapa saat.
***
      "Bu, Ayah kenapa?" tanyaku kepada Ibu yang sibuk mengelus-elus rambutku. Aku menuruti kata Ayah untuk mengajak ibu saja, tetapi bukan untuk bercerita, hanya untuk menemaniku di atas ranjang. Ibu tidak sepiawai Ayah kalau bercerita. Kalau ibu yang bercerita, aku akan menguap dengan cepat karena rasa bosan lebih cepat menarik kelopak mataku bahkan sebelum Ibu menyelesaikan ceritanya.
      "Memangnya ada apa?"
      "Ayah, tidak mau bercerita untuk Hera lagi ya? Hera buat salah sama Ayah, ya?"
      "Memangnya kenapa dengan Ayah?"
      "Ayah cemberut terus, Hera jadi takut."
      "Sini. Sini," Ibu menarikku ke dalam pelukannya. "Nanti Ayah pasti akan cerita sama Hera, mungkin Ayah lagi mikirin cerita baru buat Hera, kita tunggu aja."