Berbagai permasalahan tersebut berbaris rapi membawa bom yang kapanpun bisa meledak, menghancurkan negeri ini perlahan atau secepat kilat.Â
Sudah 78 tahun Indonesia merayakan kemerdekaannya, namun tiada berarti semua perubahan yang ditargetkan dan diharapkan oleh semua elemen masyarakat di bumi pertiwi.
Tetapi Maria harus bagaimana? Ambisinya adalah berkuliah di universitas ternama agar segala proses belajar, bertumbuh, dan berkembangnya dapat terfasilitasi dengan baik. Ia berpikir hanya di universitas ternama saja semua mimpi dan tekadnya untuk Indonesia bisa dijembatani dengan baik.
"Nggak harus universitas bergengsi, Maria. Kuliah di universitas swasta juga banyak yang bagus. Tidak peduli kamu belajar di mana, asalkan kamu tetap belajar dan bertumbuh, memanfaatkan fasillitas dan kesempatan yang ada, pasti kamu bisa. Berlian di tengah pasir pun tetap berlian kan?"
Ayahnya akhirnya berbicara membuyarkan lamunan Maria. Lelaki paruh baya berkumis tebal dan berkacamata minus lima itu menutup koran yang dibacanya, lalu berjalan ke arah anak perempuan sulungnya.
"Kamu percaya perjalanan waktu?"
Maria menggeleng lesu. Tidak tertarik. Ia berpikir hiburan apa lagi yang akan ayahnya berikan takkan mampu menjernihkan pikirannya sekarang.
"Kamu harus melakukan perjalanan waktu ke tahun 2045. Mungkin kamu akan menemukan jawaban apakah kamu harus menyerah sekarang atau berusaha mencari alternatif lain untuk tetap berkuliah," lanjut ayahnya.
Maria melirik penuh selidik, meskipun pikirannya masih ruwet. Ayahnya berkata lagi, "Ini. Benda yang bisa membuat kita melakukan perjalanan waktu."
Maria kini menatap ayahnya sepenuhnya. Perhatiannya akhirnya berhasil teralihkan karena ayahnya benar-benar membawa sesuatu di tangannya yang dipegang dengan erat seolah itu barang penting. The time machine.
"Maria akan mencobanya kalau begitu," ujar Maria akhirnya memutuskan.