Ayahnya mengangguk, memberikan benda di tangannya pada Maria. Maria duduk tenang di sofa sambil memegang benda itu. Dia setengah percaya, namun setengah lebih besarnya lagi tidak. Namun, bagaimanapun, dia akan mencobanya.
Satu menit pertama, Maria berhasil membuktikan perkataan ayahnya. Ia benar-benar menjelajah waktu, melakukan perjalanan ke tahun 2045.Â
Tepat saat usianya menginjak kepala empat. Usia yang dibilang sebagai usia produktif, usia di mana persentase terbanyak manusia mencapai puncak karier mereka.Â
Usia yang penuh beban dan tanggung jawab. Kinerja dan kekritisan pikiran masih sedang menggebu-gebunya. Dengan berbagai pengalaman pahit dan manisnya di tangga menuju puncak karier yang dilalui sebelumnya, seharusnya usia-usia ini mampu bergerak sebagai agent of change dan problem solver terhadap isu dan permasalahan yang beredar di masyarakat, yang membelenggu Indonesia, menjajahnya dari sudut ke sudut, kota ke kota, dan pulau ke pulau.
Di tahun 2045 itu, ia melihat berbagai fenomena yang nyatanya berkebalikan dengan segala ekspektasi Maria selama ini. Indonesia masih tetap sama. Ia masih dipeluk paksa dengan kesenjangan ekonomi, kemiskinan.Â
Pemerataan kemajuan dunia pendidikan masih tumpang tindih, banyak anak-anak terlantar tak sekolah, banyak pengemis jalanan yang masih belia akibat putus sekolah.
Pengangguran pun makin menjamur di seluruh pelosok negeri, entah mereka yang tak dapat pekerjaan sejak lulus kuliah, ataupun mereka yang di-PHK akibat bangkrutnya perusahaan dan isu perekonomian lainnya.Â
Intoleransi jangan ditanya lagi, Maria bahkan melihat betapa nilai-nilai agama tak lagi saling dihargai. Begitu juga suku, etnis, dan budaya makin runyam disenjangi sana-sini.
Apa mungkin semua ini masih terjadi di tahun 2045 karena aku mengubur tekad dan ambisiku di tahun 2023 lalu dengan tidak berkuliah?
Namun aku cuma segelintir orang yang tidak berkuliah bukan? Bukankah Indonesia juga masih bisa tetap maju meski tanpa andil dariku?
Maria menggumam sambil terus menjelajah tahun 2045 yang terhampar di hadapannya. Memang tidak banyak yang ia lihat, namun ia cukup menangkap gambaran besarnya.Â