Jam dinding terus berdetak menggerakkan dua jarumnya. Suaranya nyaring bagi cicak-cicak yang melintas di dekatnya. Keramaian cicak yang mengeluh berisik tak mengoyakkan lamunan Maria sedari tiga puluh menit yang lalu. Ia sedang bimbang dan putus asa, mau ke mana lagi ia harus mendaftar kuliah.Â
Rasanya ia sudah berusaha untuk bisa diterima di universitas bergengsi, namun semua menolaknya. Dia berada di ambang keputusasaan. Keinginan untuk tidak kuliah pun terlintas di pikirannya, mondar-mandir mengganggu kerja otak Maria.
"Kalau kamu tidak kuliah, mau ngapain? Bukankah kamu mau ikut andil dalam Indonesia emas tahun 2045 kelak?"
Pertanyaan ayahnya itu baru semalam diucapkan saat makan malam. Sedetik sejak pertanyaan itu meluncur dari mulut ayahnya yang sambil mengunyah itu, Maria tak henti-hentinya memikirkannya hingga pagi ini. Kini keinginannya untuk tidak kuliah makin beradu dan bergulat bersamaan perkataan ayahnya itu.
Kini memang sedang maraknya pembicaraan terkait Indonesia emas di tahun 2045 yang akan menjadi momentum besar karena Indonesia mencapai satu abad umur kemerdekaannya.Â
Sebagai seorang pelajar yang ambisius dan kritis di bidang pemerintahan dan kenegaraan, Maria berambisi untuk bisa menjadi generasi emas di tahun tersebut.Â
Ia ingin ikut andil dalam perwujudan tahun emas itu. Ia sudah muak dengan isu-isu permasalahan di negara yang saat ini belum juga mereda. Isu kesenjangan ekonomi semakin memperluas lingkaran kemiskinan.
Pemulihan telah diusahakan namun tidak menyentuh akar permasalahan secara merata sehingga menyebabkan jurang ketimpangan si kaya dan si miskin semakin melebar.Â
Ketimpangan pendidikan juga menjadi isu signifikan yang kerap mencekik Indonesia siang dan malam. Pemerataan pendidikan masih kurang terutama antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Selain itu, banyak pengangguran yang masih berpangku pada selembar ijazah dan mengais informasi lowongan pekerjaan di mana saja. Menjamurnya intoleransi umat beragama dan antar suku budaya juga menjadi krisis saat ini.Â
Berbagai permasalahan tersebut berbaris rapi membawa bom yang kapanpun bisa meledak, menghancurkan negeri ini perlahan atau secepat kilat.Â
Sudah 78 tahun Indonesia merayakan kemerdekaannya, namun tiada berarti semua perubahan yang ditargetkan dan diharapkan oleh semua elemen masyarakat di bumi pertiwi.
Tetapi Maria harus bagaimana? Ambisinya adalah berkuliah di universitas ternama agar segala proses belajar, bertumbuh, dan berkembangnya dapat terfasilitasi dengan baik. Ia berpikir hanya di universitas ternama saja semua mimpi dan tekadnya untuk Indonesia bisa dijembatani dengan baik.
"Nggak harus universitas bergengsi, Maria. Kuliah di universitas swasta juga banyak yang bagus. Tidak peduli kamu belajar di mana, asalkan kamu tetap belajar dan bertumbuh, memanfaatkan fasillitas dan kesempatan yang ada, pasti kamu bisa. Berlian di tengah pasir pun tetap berlian kan?"
Ayahnya akhirnya berbicara membuyarkan lamunan Maria. Lelaki paruh baya berkumis tebal dan berkacamata minus lima itu menutup koran yang dibacanya, lalu berjalan ke arah anak perempuan sulungnya.
"Kamu percaya perjalanan waktu?"
Maria menggeleng lesu. Tidak tertarik. Ia berpikir hiburan apa lagi yang akan ayahnya berikan takkan mampu menjernihkan pikirannya sekarang.
"Kamu harus melakukan perjalanan waktu ke tahun 2045. Mungkin kamu akan menemukan jawaban apakah kamu harus menyerah sekarang atau berusaha mencari alternatif lain untuk tetap berkuliah," lanjut ayahnya.
Maria melirik penuh selidik, meskipun pikirannya masih ruwet. Ayahnya berkata lagi, "Ini. Benda yang bisa membuat kita melakukan perjalanan waktu."
Maria kini menatap ayahnya sepenuhnya. Perhatiannya akhirnya berhasil teralihkan karena ayahnya benar-benar membawa sesuatu di tangannya yang dipegang dengan erat seolah itu barang penting. The time machine.
"Maria akan mencobanya kalau begitu," ujar Maria akhirnya memutuskan.
Ayahnya mengangguk, memberikan benda di tangannya pada Maria. Maria duduk tenang di sofa sambil memegang benda itu. Dia setengah percaya, namun setengah lebih besarnya lagi tidak. Namun, bagaimanapun, dia akan mencobanya.
Satu menit pertama, Maria berhasil membuktikan perkataan ayahnya. Ia benar-benar menjelajah waktu, melakukan perjalanan ke tahun 2045.Â
Tepat saat usianya menginjak kepala empat. Usia yang dibilang sebagai usia produktif, usia di mana persentase terbanyak manusia mencapai puncak karier mereka.Â
Usia yang penuh beban dan tanggung jawab. Kinerja dan kekritisan pikiran masih sedang menggebu-gebunya. Dengan berbagai pengalaman pahit dan manisnya di tangga menuju puncak karier yang dilalui sebelumnya, seharusnya usia-usia ini mampu bergerak sebagai agent of change dan problem solver terhadap isu dan permasalahan yang beredar di masyarakat, yang membelenggu Indonesia, menjajahnya dari sudut ke sudut, kota ke kota, dan pulau ke pulau.
Di tahun 2045 itu, ia melihat berbagai fenomena yang nyatanya berkebalikan dengan segala ekspektasi Maria selama ini. Indonesia masih tetap sama. Ia masih dipeluk paksa dengan kesenjangan ekonomi, kemiskinan.Â
Pemerataan kemajuan dunia pendidikan masih tumpang tindih, banyak anak-anak terlantar tak sekolah, banyak pengemis jalanan yang masih belia akibat putus sekolah.
Pengangguran pun makin menjamur di seluruh pelosok negeri, entah mereka yang tak dapat pekerjaan sejak lulus kuliah, ataupun mereka yang di-PHK akibat bangkrutnya perusahaan dan isu perekonomian lainnya.Â
Intoleransi jangan ditanya lagi, Maria bahkan melihat betapa nilai-nilai agama tak lagi saling dihargai. Begitu juga suku, etnis, dan budaya makin runyam disenjangi sana-sini.
Apa mungkin semua ini masih terjadi di tahun 2045 karena aku mengubur tekad dan ambisiku di tahun 2023 lalu dengan tidak berkuliah?
Namun aku cuma segelintir orang yang tidak berkuliah bukan? Bukankah Indonesia juga masih bisa tetap maju meski tanpa andil dariku?
Maria menggumam sambil terus menjelajah tahun 2045 yang terhampar di hadapannya. Memang tidak banyak yang ia lihat, namun ia cukup menangkap gambaran besarnya.Â
Saat ia tak bisa menemukan apapun lagi selain yang tadi ia lihat, ia pun menutup, melipat, dan meletakkan benda itu ke sofa, seperti yang ayahnya sering lakukan.
Maria menarik napas sambil menutup mata, lalu mengembuskannya perlahan. Bersamaan dengan itu, ayahnya menggenggam tangan dan merengkuh bahu Maria.
"Maria, satu pemuda bisa menggerakan seribu pemuda kalau dia punya tekad. Kamu ingat perkataan Ir. Soekarno?"
"Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia," jawab Maria.
"Kamu bisa menjadi salah satu dari 10 pemuda itu bukan?"
Maria termenung. Perkataan ayahnya benar. Tidak seharusnya dia putus asa sekarang. Ambisi dan tekadnya akhirnya membara lagi setelah sempat menjadi arang.
Maria akhirnya mengangguk mantap. Tekadnya bulat sekarang setelah ia melakukan perjalanan waktu ke tahun 2045. Dia tidak ingin Indonesia masih menjadi seperti sekarang di tahun emas ulang tahunnya yang ke seratus.Â
Dia harus mengubah bangsa ini, dimulai dari dirinya sendiri. Dia harus bertekad, semangat, dan belajar dengan giat lalu mulai memimpin dirinya sendiri, sebelum ia menjadi pemimpin bangsa.
Maria dan ayahnya pun melengkungkan bibir bersama. Mereka harus segera merencanakan kuliah di universitas swasta sebelum masa-masa pendaftarannya ditutup.Â
Maria melirik pada alat penjelajah waktu yang tergeletak di sofa. Tiap helainya melambai pelan diterpa embusan angin yang masuk dari jendela besar di ruang itu.Â
Maria tersenyum sambil membaca, "Indonesia Emas Tahun 2045 dan Semua Pengharapannya Takkan Terwujud Jika Generasi Emas Tak Dilahirkan". Sebaris kalimat yang tertera di halaman pertama koran yang dibaca ayahnya tadi. Headline berita terketik jelas dengan huruf besar berwarna hitam di atas kertas abu-abu.
"Bagaimana Ayah menemukan alat penjelajah waktu ini?" Maria bertanya serius. Perasaannya sudah lebih baik.
"Ayah beli di perempatan jalan, saat lampu merah. Harganya tiga ribu rupiah."
"Bukan itu maksud Maria, Yah."
"Lalu?"
"Kenapa Ayah bisa berpikir kalau itu bisa menjadi alat penjelajah waktu?"
"Itu tergantung mindset pembacanya, Maria. Pikiran kamu yang menginterpretasikan apa yang kamu baca. Dan itu bebas serta sah-sah saja."
"Lalu bagaimana dengan kebenarannya? Tentang masa depan di tahun 2045 yang Maria lihat tadi?"
"Tentu saja tidak ada yang tahu kecuali Tuhan," Ayah Maria tersenyum kecil. Cicak-cicak di sekitar jam dinding ikut mengamati percakapan ayah dan anak itu. Bunyi detak jam sudah tidak mengganggu mereka lagi.
"Maria, jangan terlalu fokus memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan. Fokuslah di hari ini. Satu langkah dan satu keputusanmu di detik ini, menentukan apa yang terjadi di masa depan," lanjut ayahnya lagi.
Maria mengangguk. Jam dinding tersenyum. Cicak-cicak mengacungkan jempol. Perjalanan waktu hari itu sangat sederhana tetapi mampu mengubah pandangan Maria tiga ratus enam puluh derajat.Â
Alat penjelajah waktu itu mampu membuat Maria memeluk keputusan dan pilihannya dengan erat. Maria berterima kasih dalam hati pada alat penjelajah waktu yang membawa pembacanya menjelajah waktu dengan pikirannya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H