"Bagaimana Ayah menemukan alat penjelajah waktu ini?" Maria bertanya serius. Perasaannya sudah lebih baik.
"Ayah beli di perempatan jalan, saat lampu merah. Harganya tiga ribu rupiah."
"Bukan itu maksud Maria, Yah."
"Lalu?"
"Kenapa Ayah bisa berpikir kalau itu bisa menjadi alat penjelajah waktu?"
"Itu tergantung mindset pembacanya, Maria. Pikiran kamu yang menginterpretasikan apa yang kamu baca. Dan itu bebas serta sah-sah saja."
"Lalu bagaimana dengan kebenarannya? Tentang masa depan di tahun 2045 yang Maria lihat tadi?"
"Tentu saja tidak ada yang tahu kecuali Tuhan," Ayah Maria tersenyum kecil. Cicak-cicak di sekitar jam dinding ikut mengamati percakapan ayah dan anak itu. Bunyi detak jam sudah tidak mengganggu mereka lagi.
"Maria, jangan terlalu fokus memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan. Fokuslah di hari ini. Satu langkah dan satu keputusanmu di detik ini, menentukan apa yang terjadi di masa depan," lanjut ayahnya lagi.
Maria mengangguk. Jam dinding tersenyum. Cicak-cicak mengacungkan jempol. Perjalanan waktu hari itu sangat sederhana tetapi mampu mengubah pandangan Maria tiga ratus enam puluh derajat.Â
Alat penjelajah waktu itu mampu membuat Maria memeluk keputusan dan pilihannya dengan erat. Maria berterima kasih dalam hati pada alat penjelajah waktu yang membawa pembacanya menjelajah waktu dengan pikirannya sendiri.