Katanya semua perempuan akan mengingat laki-laki yang memberikannya es krim. Aku ingin kamu mengingatku, Cerah. Terima kasih sudah memberitahu namamu meskipun aku sudah tau.
   Aku membaca secarik kertas itu saat Riko beranjak pergi. Hatiku menghangat, kertas-kertas itu menjadi carikan kertas favoritku. Aku berharap setiap hari selalu ada secarik kertas dari pengagum rahasiaku. Namun aku merasa ada yang ganjal, kuingat perkataanku pada Devan siang tadi saat dia membelikanku eskrim di kedai depan kampus.
   "Kamu tahu nggak?"
   "Apa?"
   "Semua perempuan akan mengingat laki-laki yang memberikannya es krim."
Itulah percakapan kami siang tadi. Aku belum pernah bilang seperti itu pada siapapun kecuali Devan. Apa mungkin si pengagum rahasia ini juga tahu kalimat konyolku itu?
   "Tadi siang sudah kubelikan es krim kan? Sekarang giliranku ditraktir, walaupun lewat pengagum rahasia konyolmu itu," ujar Devan sambil menyendok es krim vanila di hadapannya.
   Aku tidak menanggapi, justru bergegas meraih kertas berserakan di hadapan Devan. Ia sedang mengerjakan revisi laporan praktikumnya. Aku baru menyadari kalau di balik kertas pengagum rahasia itu ada semacam perhitungan, persis dengan materi-materi laporan praktikum Devan. Devan terbatuk. Matanya melotot sambil mencegah tanganku yang sudah meraih satu lembar kertas. Aku berniat mencocokkan tulisan tangan Devan dengan tulisan di secarik kertas itu. Tetapi tangan kekar Devan berhasil mengambilnya kembali dari tanganku. Aku kalah cepat karena tidak menyangka reaksi Devan begitu kagetnya. Padahal sebelum ada insiden pengagum rahasia ini dia selalu santai, bahkan dia menyuruhku membaca laporan-laporannya.
   "Aku nggak nyolong apa-apa, mau pinjam sebentar saja." Aku membela diri.
   "Buat apa?"
Aku tidak menjawab. Devan sibuk merapikan kertas-kertasnya, memastikan tidak ada yang berhasil kuambil.