Sepertinya tempat ini sudah tidak aman lagi. Kami harus kembali bergerak untuk menemukan tempat persembunyian yang lebih aman. Kurasa pasukan Belanda sudah mencium keberadaan kami.
Tadi malam, salah satu anggotaku yang berjaga melihat sekelompok orang tak dikenal. Mereka mengenakan pakaian perang yang proper. Senjata canggih juga terlihat ditenteng oleh mereka.
Sudah tiga bulan aku dan anggota kelompokku keluar-masuk hutan demi menghindari kejaran Belanda. Selama tiga bulan ini, kami sudah berpindah tempat persembunyian sebanyak enam kali. Kami sudah bersembunyi di hutan, rawa, desa mati, hingga gubuk penyimpanan beras. Tetapi Belanda sialan itu terus saja mencium bau kami. Mereka selalu menemukan kami, walaupun kami sudah bergerak puluhan kilometer dari persembunyian sebelumnya.
Saat ini aku sedang mengatur perjalanan bersama para perwira di kelompok kami. Kami harus membuat keputusan yang cermat---kemana kami akan melarikan diri (lagi).
"Kita sebaiknya terus ke selatan, Bung." Salah satu perwira terbaikku memberi saran.
"Aku setuju." Kata perwira lainnya. "Desa Gunung Panjang, aku rasa akan menjadi tempat yang aman. Aku memiliki kedekatan dengan ketua kelompok perjuangan di sana. Kurasa mereka akan membantu." Lanjutnya.
Aku menerima saran dari mereka. Anggotaku segera berkemas demi bersiap untuk kembali bergerak. Beberapa diantara mereka memastikan stok amunisi kami cukup, setidaknya untuk menghadapi satu regu tentara Belanda jika kami bertemu di perjalanan.
"Di mana Oded?" Tanyaku.
Kelompok sudah siap bergerak, tapi satu anggotaku entah di mana keberadaanya. Terakhir kuperintahkan dia untuk mencari kayu bakar. Kuperintahkan dia tadi pagi. Kini, matahari sudah sejajar dengan kepala---bahkan bau keringatnya saja tidak tercium.
"Kita tinggalkan saja dia. Mungkin dia tertangkap oleh pasukan Belanda." Salah satu anggota berbicara dengan amat santai. Dia seolah tidak peduli dengan rekan kelompoknya,
Aku jelas menolak. Oded adalah prajurit terbaikku. Lagi pula aku bukan tipe pemimpin yang seperti itu. Aku adalah pemimpin yang peduli akan nasib anggotaku.
"Kita tunggu beberapa menit lagi."
15 menit menunggu, akhirnya Oded muncul juga. Ia tampak kelelahan. Mungkin ia memang benar-benar lelah. Tidak ada kayu bakar bersamanya. Peduli setan dengan kayu bakar. Kami harus segera bergerak.
Kami mulai bergerak.
Hari ini akan menjadi hari yang sangat panjang. 47 kilometer, jarak yang akan kami tempuh untuk sampai di desa Gunung Panjang. Jangan bayangkan jalan yang kami akan lalui itu mulus. Tidak, kami akan melewati jalan setapak yang di beberapa titik tertutupi oleh belukar.
Kami bukan hanya berjalan. Kami harus fokus membaca Kompas. Kami juga mesti waspada. Pasukan Belanda bisa menyerang rombongan kapan saja. Seperti pada perjalanan kami sebelumnya. Berangkat dari desa Angsana dengan beranggotakan 20 orang, tiba di desa Trisula hanya menyisakan 15 orang. Tiga anggotaku tewas saat Belanda tiba-tiba menyerang kami di perjalanan. Dua lainnya hilang dan tak pernah bisa kami temukan. Mereka terpisah dari rombongan saat serangan Belanda yang tiba-tiba kala itu. Kemungkinan besar mereka berhasil ditangkap oleh Belanda.
Perjalanan sudah kami tempuh setengahnya. Berjalan sepanjang 20 kilometer membuat kami kelelahan. Aku putuskan untuk beristirahat sejenak. Oded yang merupakan penanggungjawab logistik mengeluarkan perbekalan kami yang tinggal seuprit. Dari logistik yang disiapkan Oded, tampaknya kami kekurangan air. Aku berinisiatif untuk mencarinya.
Aku berjalan sendirian. Sekitar lima ratus meter dari tempat peristirahatan kami ada sungai yang mengalir sangat deras. Deru airnya terdengar buas. Airnya bersih dan terlihat segar.
Sampai di tepi sungai, langsung kuisi jerigen yang kubawa dengan air segar itu. Setelah jerigen terisi penuh, aku tidak langsung kembali. Melihat air sungai yang begitu menyegarkan, aku tertarik untuk mandi. Namun kurasa situasinya tidak memungkinkan. Akhirnya aku hanya mencuci muka.
"AAAAAA." Tiba-tiba terdengar teriakan yang sangat kencang.
"Mati kau, Sialan!"
Kaget! Aku langsung berbalik badan demi melihat kejadian itu. Rupanya Oded. Dia berhasil melumpuhkan seorang Belanda. Seorang Belanda itu sepertinya ingin menangkapku, atau bahkan membunuhku. Beruntung, Oded dapat menggagalkannya.
"Terima kasih, Oded." Aku berterima kasih padanya. Tak salah kunobatkan ia sebagai prajurit terbaikku.
"Sebaiknya kita harus segera pergi dari sini, Bung."
Aku sepakat dengannya. Aku dan Oded segera kembali bergabung dengan rombongan.
"Kawan-kawan, kita harus segera pergi dari sini. Tunda dulu jadwal istirahat kita hingga beberapa jam ke depan." Aku langsung memerintahkan anggota kelompok untuk segera kembali berkemas.
"Mengapa begitu, Bung?"
"Pasukan Belanda ada di sekitar sini. Tadi, seorang Belanda hampir saja menikam Bung Soleh." Oded membantuku untuk menjelaskan.
Semua anggotaku mulai berkemas. Logistik yang tadi sudah dikeluarkan oleh Oded dimasukkan kembali ke dalam tas. Kami kembali bergerak setelah semuanya siap.
Sepanjang perjalanan, aku merasakan keberadaan pasukan Belanda. Atas alasan itu, aku memutuskan untuk terus berjalan.
Tak terasa, gelapnya malam sudah menyelimuti perjalanan kami sedari tadi. Kami tidak menyalakan penerangan. Karena menurutku, menyalakan penerangan hanya akan memancing perhatian, tak hanya pasukan Belanda, tetapi juga hewan buas. Hanya mengandalkan kompas dan insting, akhirnya kami sampai di desa Gunung Panjang tepat pada pertengahan malam.
Terkejut! Kami sungguh terkejut. Desa yang semula ramai oleh kehidupan, berubah menjadi desa mati. Tidak ada lagi kehidupan di desa itu. Tiada satu orang pun yang menyambut kedatangan kami.
Merasa ada yang tidak beres, kuputuskan menyebar anggota. Kuperintahkan mereka untuk memeriksa setiap rumah.
"Bung Soleh!" Salah satu anggota berteriak. Aku langsung lari mendatanginya.
"Lihat itu, Bung."
Menganga aku. Tubuhku terpaku. Ini seperti mimpi, seperti tidak nyata. Semua anggotaku mengalami hal yang sama denganku.
Kejam! Di sebuah lapangan, kami menemukan hal yang sungguh kejam. Biadab! Kami menemukan sepuluh tubuh tokoh perjuangan desa Gunung Panjang tergantung dengan kondisi sudah tak bernyawa lagi. Selain itu, lapangannya pun dipenuhi mayat bergelimpangan. Orang tua, laki-laki, perempuan, ibu-ibu, anak kecil, semuanya dihabisi oleh Belanda.
Wawan, salah satu anggotaku menangis histeris setelah menemukan jasad orang tuanya. Wawan memang asli Gunung Panjang. Dia lahir dan dibesarkan di Gunung Panjang, sebelum akhirnya ia merantau ke kota dan bergabung bersama kami. Itulah mengapa Wawan memiliki kedekatan dengan pemimpin pasukan perjuangan desa ini.
Aku coba menenangkannya. Tetapi tidak berhasil. Memang menyakitkan melihat kematian orang tua kita, apalagi mereka pergi dengan cara yang tidak wajar.
Oded menghampiri aku yang sedang menghibur Wawan. Dia berbisik padaku. "Sepertinya kita tidak bisa berlama-lama di desa ini, Bung. Aku khawatir Belanda akan kembali ke desa ini." Katanya.
"Tidak Oded. Kita harus beristirahat dahulu. Aku, anggota yang lain, dan mungkin juga kau sudah kelelahan. Lagi pula aku yakin Belanda tidak akan kembali ke desa ini. Mereka sudah menghabisi semua warga Gunung Panjang."
"Baiklah, Bung. Akan kusiapkan tempat untukmu beristirahat." Oded mengangguk sopan.
"Terima kasih, Oded."
Anggota kelompok ku menyisir sudut-sudut desa. Memastikan bahwa desa ini aman. Dan mereka memastikan apakah masih ada warga yang tersisa. Jika ada, pasti mereka membutuhkan pertolongan.
Oded sudah menemukan tempat yang nyaman untuk kami beristirahat. Sebuah rumah kayu yang kondisinya masih lumayan bagus dipilihnya untuk kami beristirahat.
Aku dan para perwira berkumpul di ruang tamu. Ada hal yang harus kami bicarakan.
"Aku sudah tidak kuat lagi menjadi seorang pengecut yang terus berlari. Aku ingin berbalik menyerang mereka." Aku memulai pembicaraan.
"Tapi, untuk saat ini kondisinya tidak memungkinkan, Bung." Kata Heru.
"Jumlah kita hanya lima belas orang. Persenjataan kita jauh dari kata siap. Jika kita berbalik menyerang mereka, itu sama saja dengan bunuh diri, Bung." Tatang masuk dalam pembicaraan.
"Kalau begitu, kita harus menghimpun pasukan baru. Atau kita bergabung saja dengan kelompok perjuangan dari desa yang ada di dekat sini."
"Maaf, aku ikut mencampuri obrolan kalian." Oded datang untuk mengantarkan kopi.
"Sekitar dua puluh kilometer ke selatan, ada sebuah desa di pesisir pantai. Desa Karang Luhur namanya, Bung. Aku lahir dan dibesarkan di sana hingga keluargaku memutuskan untuk hijrah ke kota." Oded duduk di sebelahku. "Terkahir, aku dengar mereka memiliki persenjataan yang lumayan lengkap. Kita bisa pergi ke sana dan bergabung bersama mereka."
Aku dan para perwira menerima saran dari Oded. Tetapi kami belum memutuskan kapan kami akan memulai perjalanan menuju desa Karang Luhur. Untuk sementara waktu kami akan tetap berada di Gunung Panjang.
Perbincangan kami usai. Kopi dalam gelas sudah tandas. Kantuk mulai menyerang. Aku dan anggota kelompok sudah di posisi siap untuk tertidur. Tak butuh waktu lama, rasa lelah setelah perjalanan panjang memaksa kami untuk pergi ke alam mimpi. Kecuali Wawan yang terus terjaga sepanjang malam.
***
Gelap berganti terang. Pemandangan desa Gunung Panjang seribu kali lipat lebih mengerikan setelah tersiram cahaya matahari. Bau busuk mulai tercium. Jasad para korban harus segera dimakamkan. Aku memerintahkan anggota kelompok untuk membuat kuburan masal.
Kami semua mulai menggali dengan alat seadanya.
Kuburan massal siap setelah dua jam kami menggali. Satu persatu jasad dimasukkan ke peristirahatan terakhirnya. Tak terkecuali jasad orang tua Wawan.
Tangis Wawan pecah kembali. Saking histerisnya, ia pingsan kali ini.
DRET! DRET! DRET!
DRET! DRET! DRET!
Peluru yang dimuntahkan oleh senapan mesin menghujani kami yang sedang memakamkan jasad para warga Gunung Panjang. Belanda rupanya.
Kami langsung kocar-kacir. Tak lagi memikirkan satu sama lain. Yang terpikirkan hanya bagaimana menyelamatkan diri kami masing-masing. Kami berhamburan ke segala arah. Terpencar.
Aku berlari bersama Heru. Belanda terus melepas tembakan. Kami sebisa mungkin menghindari peluru yang melesat begitu cepat.
Bruk! Bruk! Aku dan Heru terperosok ke dalam sebuah lubang.
"Sepertinya ini tempat persembunyian yang dibuat oleh pasukan Gunung Panjang." Kataku dengan nafas terengah-engah.
Kami berdua coba menenangkan diri. Sebisa mungkin aku dan Heru tetap berdiam diri. Jangan sampai gerakan kami menimbulkan suara yang mengundang.
Dari dalam lubang persembunyian ini, kami bisa mendengar pasukan Belanda masih terus melepaskan tembakan. Boom! Sesekali terdengar suara ledakan. Aku sangat khawatir dengan anggotaku. Kuharap mereka bisa melarikan diri.
***
Malam telah kembali. Aku dan Heru memutuskan untuk keluar dari lubang persembunyian. Gelapnya malam membantu kami berkamuflase.
"Ke mana kita akan pergi, Bung?" Heru berbisik.
"Kita pergi ke Karang Luhur."
Kubuka kompas. Aku dan Heru berjalan ke selatan. Tidak hanya dinginnya malam, kekhawatiran akan nasib anggotaku juga menyelimutiku sepanjang perjalanan.
Kami berjalan tanpa membawa logistik. Senjata pun kami tak punya. Kami tak sempat mengamankan logistik maupun persenjataan. Serangan Belanda siang tadi terjadi begitu cepat. Kami berjalan hanya membawa keberanian.
Bagaimana pun caranya aku dan Heru harus sampai di Karang Luhur secepatnya. Kami harus segera bergabung dengan kelompok perjuangan di sana. Setelah itu kami akan membalaskan dendam kepada pasukan Belanda sialan itu. Aku yakin kami bisa melakukannya, apalagi kelompok perjuangan di desa Karang Luhur memiliki persenjataan seperti yang dikatakan oleh Oded
Kaki terus melangkah. Pegal tak terasa. Rasa itu terkalahkan oleh semangat kami yang membara. Semangat kami untuk menghabisi pasukan Belanda.
Fajar mulai naik. Ia memancarkan sinar terang. Deburan ombak mulai terdengar sayu-sayu. Sebentar lagi kami tiba di desa Karang Luhur.
Aku dan Heru terus berjalan. Kami menuruni bukit menuju ke pesisir pantai.
Di salah satu spot yang ada di pantai, terdapat sebuah bangunan dengan bendera merah putih berkibar di atasnya. Aku dan Heru menghampiri bangunan itu. Namun nampaknya bangunan itu kosong.
Heru membuka pintu perlahan. Kami pun masuk ke dalam bangunan. Benar, bangunannya ternyata kosong. Hanya ada beberapa kaleng makanan dan persenjataan tergeletak di salah satu meja yang ada di bangunan ini.
Pandanganku dan Heru berkeliling. Memperhatikan setiap sudut ruangan. Kami pun berpikir---mengapa bangunan ini dibiarkan kosong? Kemana para penghuninya?
Tuk. Tuk. Tuk. Seorang pria keluar dari salah satu ruangan. Tangannya terikat. Mulutnya tertutup lakban.
Melihat hal itu, alarm waspadaku berdentang. Refleks, aku langsung mengambil laras panjang yang ada di dekatku. Kewaspadaanku dan Heru sudah seratus persen.
"Keluar! Semuanya, keluar!" Seseorang berteriak dari dalam salah satu ruangan. Seketika, 30 orang pria dan 6 wanita keluar dari ruangan itu. Mereka adalah anggota kelompok perjuangan desa Karang Luhur. Kondisinya semua sama. Tangan terikat dan mulut tertutup lakban.
Aku semakin kebingungan. Ada apa ini sebenarnya? Aku dan Heru semakin kencang mencengkram senjata.
Para pejuang tadi, kini sudah berada di ruang tengah. Mereka membuat satu saf barisan. Setelah itu, masuklah satu regu bersenjatakan lengkap. Siapa lagi kalau bukan pasukan Belanda. Moncong senjatanya mengarah kepadaku, Heru, dan sekelompok orang yang tangnya terikat.
Dor! Satu peluru menembus salah satu kepala. Satu orang mati seketika.
Dor! Dor! Dor! Sekelompok pejuang yang tangannya terikat dihabisi oleh pasukan Belanda. Tuntas! Tidak ada yang tersisa. 36 anggota kelompok perjuangan desa Karang Luhur tewas seketika.
Tuk. Tuk. Tuk. Seseorang yang tadi memerintahkan 36 pejuang, keluar dari ruangan---menampakkan diri.
"Oded?!" Aku tak percaya. Bagaimana mungkin prajurit terbaikku bisa membelot.
Amarahku sudah tak terbendung lagi. Kuarahkan senjata yang kupegang kepada Oded. Kutarik pelatuknya. Ceklek! Ternyata senjataku tidak ada amunisinya.
"Sialan!" Teriakku kesal sembari membanting senjata itu ke lantai.
"Santai, Bung. Tidak usah emosi." Kata Oded dengan nada mengejek.
"Mengapa kau berkhianat, Oded?!" Tanya Heru kesal.
Oded sebetulnya tidak berkhianat. Sedari dulu dia tidak pernah suka dengan keberadaan kelompok perjuangan. Baginya, kelompok perjuangan hanya sebuah kelompok yang justru menambah penderitaan masyarakat pribumi.
Dia beranggapan kalau kaum pribumi melakukan perlawanan, itu hanya akan menyengsarakan. Apa susahnya tunduk kepada Belanda. Menurut Oded jika kita tunduk kepada Belanda, maka peperangan akan berakhir. Tidak ada lagi kesengsaraan. Semua rakyat hidup damai, walaupun harus hidup di bawah kekuasaan Belanda.
"Kehidupanku semakin menderita selepas kepergian orang tua dan saudara kandungku, Bung." Kata Oded dengan suara lirih.
"Mereka mati karena melindungi kelompokmu. Semenjak kejadian itu, aku semakin yakin kalau kelompok perjuangan seperti kalian, hanya menambah penderitaan rakyat."
"Untuk mendapatkan kemerdekaan, kita memang perlu pengorbanan, Oded." Kataku, membantah argumen Oded.
"Pengorbanan? Hahahaha." Oded Terbahak.
"Sudah berapa banyak pengorbanan yang kau lakukan, Bung? Tapi mana hasilnya? Kau justru semakin sengsara, bukan?"
Aku dan Heru hanya terdiam. Kami tahu persis---mereka bisa menembak kami kapanpun mereka mau.
"Kau lihat sekarang, Bung. Nasib kau dan Heru berada diujung tanduk. Mungkin kau akan mati hari ini. Itu semua karena kau keras kepala. Sementara aku yang memilih tunduk kepada Belanda, bernasib jauh lebih baik dari kalian.
"Kau lihat nasib mereka." Oded menunjuk jasad-jasad kelompok perjuangan Karang Luhur.
"Atau kau bisa mengingat nasib warga Gunung Panjang... Hahahaha."
"Mereka bernasib seperti itu karena mereka keras kepala, sama seperti KAU!" Nada bicaranya meninggi.
Lengang beberapa menit.
"Habisi mereka!" Oded memberi perintah kepada pasukan Belanda.
Aku dan Heru kemudian dipaksa untuk berlutut. Tidak ada pilihan, kami pun mengikuti perintah mereka. Kami sudah pasrah. Mungkin ini akhir dari kisah perjuangan kami.
Satu regu bersenjata lengkap telah berbaris di hadapan kami. Moncong senjatanya telah mengarah kepada kami dengan sempurna.
"Selamat tinggal, Bung. Tolong sampaikan salamku kepada bapak, ibu, dan adikku di surga... Hahahaha."
 Aku dan Heru kompak menutup mata.     Â
DRET! DRET! DRET!
DRET! DRET! DRET!
Wawan melepaskan tembakan dari arah belakang barisan regu pasukan Belanda yang siap mengeksekusiku. Senapan mesin yang dibawanya memuntahkan ratusan peluru dalam waktu sekejap. Peluru-peluru itu menembus tubuh pasukan Belanda juga Oded. Satu regu pasukan Belanda lumpuh seketika.
Oded yang juga tertembak sekarat. Dia mengerang kesakitan.
Kuhampiri dia. Kuambil pistol yang sedari tadi ia genggam.
"Kau tahu, Oded, tidak ada pengorbanan yang sia-sia. Begitupun dengan pengorbanan yang keluargamu lakukan.
"Pak Ali adalah manusia paling loyal yang pernah aku kenal. Bapakmu rela mati demi memperjuangkan kemerdekaan kita.
"Tolong sampaikan terima kasihku kepada bapak, ibu, dan adikmu di surga." Kalimat penutupku.
DOR! Kutembak kepalanya dari jarak yang sangat dekat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H