"Bung Soleh!" Salah satu anggota berteriak. Aku langsung lari mendatanginya.
"Lihat itu, Bung."
Menganga aku. Tubuhku terpaku. Ini seperti mimpi, seperti tidak nyata. Semua anggotaku mengalami hal yang sama denganku.
Kejam! Di sebuah lapangan, kami menemukan hal yang sungguh kejam. Biadab! Kami menemukan sepuluh tubuh tokoh perjuangan desa Gunung Panjang tergantung dengan kondisi sudah tak bernyawa lagi. Selain itu, lapangannya pun dipenuhi mayat bergelimpangan. Orang tua, laki-laki, perempuan, ibu-ibu, anak kecil, semuanya dihabisi oleh Belanda.
Wawan, salah satu anggotaku menangis histeris setelah menemukan jasad orang tuanya. Wawan memang asli Gunung Panjang. Dia lahir dan dibesarkan di Gunung Panjang, sebelum akhirnya ia merantau ke kota dan bergabung bersama kami. Itulah mengapa Wawan memiliki kedekatan dengan pemimpin pasukan perjuangan desa ini.
Aku coba menenangkannya. Tetapi tidak berhasil. Memang menyakitkan melihat kematian orang tua kita, apalagi mereka pergi dengan cara yang tidak wajar.
Oded menghampiri aku yang sedang menghibur Wawan. Dia berbisik padaku. "Sepertinya kita tidak bisa berlama-lama di desa ini, Bung. Aku khawatir Belanda akan kembali ke desa ini." Katanya.
"Tidak Oded. Kita harus beristirahat dahulu. Aku, anggota yang lain, dan mungkin juga kau sudah kelelahan. Lagi pula aku yakin Belanda tidak akan kembali ke desa ini. Mereka sudah menghabisi semua warga Gunung Panjang."
"Baiklah, Bung. Akan kusiapkan tempat untukmu beristirahat." Oded mengangguk sopan.
"Terima kasih, Oded."
Anggota kelompok ku menyisir sudut-sudut desa. Memastikan bahwa desa ini aman. Dan mereka memastikan apakah masih ada warga yang tersisa. Jika ada, pasti mereka membutuhkan pertolongan.