Malam itu di bawah langit Sidimpuan yang megah. Pada tampilannya yang memancarkan sinar bulan yang amat terang. Bintang- bintang berkelap-kelip begitu indah, elok bagaikan panorama.
Suara gema takbir terdengar jelas. Angin malam yang tenang pun seolah ikut bertakbir memuji kebesaran sang Akbar.
10 Dzulhijjah bertepatan dengan 9 Juli. Malam itu, menjadi malam pertama Aku tak meneteskan air mata di malam idul adha.
Namaku Fuad Ahmad Nuar Ibrahim, orang- orang sengaja menyingkat namaku dengan sebutan “Fani" Aku adalah anak rantau. Tinggal di Padangsidimpuan sudah 3 tahun lamanya. Asalku dari Sungai Rumbe, daerah Provinsi Jambi.
Saat Aku lulus SMA. Ayahku menyuruhku kuliah di UIN Padangsidimpuan, karena Ayahku percaya bahwa kampus itu adalah kampus yang cocok untukku. Apalagi Aku yang tertarik memperdalam ilmu agama. Kulihat akreditasi kampus itu bagus, kemudian akreditasi jurusan pendidikan agama islam memang A. Aku pun setuju dengan Ayah.
Setelah keberangkatanku ke Padangsidimpuan tepat saat menginjak semester 1. Ayahku meninggal dunia, ayahku menjadi salah satu korban saat kebakaran di perkebunan kelapa sawit tempat ayahku bekerja sebagai tukang deres.
Saat Aku pulang ke kampung halamanku, untuk melihat pemakaman Ayahku. Ibuku berpesan agar Aku kuliah dengan baik. Kata Ibuku Aku tak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Kulihat tinggal Ibuku yang menjadi tulang punggung keluarga, Aku masih punya adik dua, dan mereka masih bersekolah. Tina dan Rian namanya. Tina kelas 11 SMA dan Rian 12 SMA. Aku sempat bicara pada Ibu, agar aku berhenti kuliah saja. Tapi Ibuku tak mengizinkan Ia bilang Aku harus mencapai cita-cita yang Ayahku inginkan kepadaku. Yakni menjadi seorang Ustadz.
Atas Percakapanku dengan Ibuku itulah yang membuatku tak pernah pulang kampung lagi. Meski kampus tengah libur. Aku tak mau lagi membebani Ibuku, cukup lah Ibuku fokus pada pendidikan kedua adikku. Aku pun bersikeras untuk mencari biaya kuliah dan biaya hidup sendiri.
Setelah Aku kembali ke Padangsidimpuan, selesai program Ma’had Al-jami'ah yakni program wajib asrama selama satu tahun di kampusku. Aku tinggal di sebuah masjid di kota ini, namanya Masjid Al-furqon. Terletak di pusat kota Padangsidimpuan, tepat di jalan abdul aziz pane, daerah kampung sipirok tapi masih ada kelurahan Losung.
Aku tinggal disana bersama Abang kelasku di kampus. Namanya Bang Sulaiman, Abang inilah yang membantuku kuliah sambil kerja di kota orang ini. Selain menjadi marbot masjid, Aku juga menjadi seorang kuli bangunan, tukang becak, dan kernek angkot. Apa pun yang Aku lakukan itu semua demi kuliahku. Agar tidak menyusahakan Ibuku. Demikian Aku bangga, karena pada bulan tertentu Aku bisa mengirim Uang pada Ibu dan keluargaku di rumah. Kini Aku sudah semester 7, dan sudah 3 tahun Aku tidak menginjakkan kaki di kampung halamanku yang kucinta.
Kamu tahu, selama tiga tahun ini dalam setiap tahun ketika idul fitri dan idul adha Aku selalu meneteskan air mata. Merindukan suara Tina yang lembut, Ingin membelai rambut adikku Rian yang baik hati. Sekarang mereka sudah lulus SMA, dan mereka kuliah di Universitas Jambi.
Aku benar- benar rindu pada belaian Ibuku, rindu akan nasehatnya, rindu akan semua hal dari Ibuku. Namun, malam ini memang agak aneh. Kalau dalam 2 tahun terahir setiap idul adha atau idul fitri. Aku selalu menangis merindukan keluargaku. Tapi malam ini berbeda. Ada sebuah hal yang membuatku begitu gembira malam ini.
"Fan, Kamu ngapain disini?” Ujar Bang Sulaiman padaku. Aku tengah duduk di teras masjid Al-furqon menatap bintang-bintang yang kerlap-kerlip, melihat pancaran sinar bulan yang terang. Merasakan angin malam yang begitu tenang dipadukan dengan gema takbir anak- anak kelurahan Losung.
"Gak ada Bang cuman duduk" Kataku cengar- cengir.
“Yang betul aja, Jangan ngelamun loh. Melamun itu sifat setan" Ucap Bang Sulaiman.
"Iya Bang" Jawabku.
"Oh iya, Ammi katanya mau kesini nemuin Kamu malam ini"
“Mau ngapain Bang?”
“Mana Aku tahu? Melamar kamu kali" Ucap Bang Sulaiman meledek.
“Abang, mana mungkin perempuan melamar laki- laki. Ada- ada saja Abang ini" Jawabku tersipu malu.
“Mana tahu kan, apalagi Ammi kan perempuan yang berani. Bisa aja Dia menyampaikan suara hatinya tanpa rasa malu" Sambung Bang Sulaiman lagi.
"Ya, itu kan Bang kalau Amminya suka sama Aku. Tapi kan gak mungkin" Jawabku malu- malu.
“Apa sih yang gak mungkin" Ucap Bang Sulaiman datar. Aku terdiam tersipu malu.
Tsania Ammi Zulaika menjadi alasanku mengapa Aku tak menangis malam ini. Bahkan malam ini Aku tak mengingat apa-apa dalam hidupku. Kecuali hanya mengingat saat-saatku dengan Ammi. Wanita itu bagaikan mawar yang tumbuh di lahan gersang. Aku mengenalnya satu bulan lalu, saat Dia menjadi moderator acara kajian di salah satu ukm kampusku. Di acara kajian itu, Bang Sulaiman yang juga adalah senior wanita itu memintaku menjadi qori.
Saat acara pengajian itu selesai, wanita itu memanggilku.
“ Fuad” Ucapnya.
Aku tak menoleh, meski Aku tahu itu nama depanku. Tapi, sampai hari ini belum ada yang memanggilku dengan sebutan Fuad. Aku berjalan menuju Bang Sulaiman. Wanita itu ternyata mengikutiku.
“Fuad, maaf kalau suaraku membuat kuping Kamu panas. Tapi, Aku mau ngasih tahu kalau ustadz pemateri kita tadi memberikan ini padamu.” Ucapnya memberi selembar kertas. Kertas itu, Bertuliskan Undangan Keberangkatan Haji.
“Mi, Kamu kenal sama Fani?
"Fani siapa?"
"Dia" Bang Sulaiman menunjukku.
"Dia kan Fuad" Kata perempuan itu.
"Iya sama aja, kamu kenal dia dari mana" tanya Bang Sulaiman penasaran.
“ Oohh...Kenal dari sini sih barusan tadi kan dia jadi Qori, namanya kan dipanggil sama MC” Ucap wanita itu polos.
“Pantas Kamu manggil Dia Fuad, biasanya juga Fani" Ujar Bang Sulaiman menelan ludah.
“Fuad Ahmad Nuar Ibrahim, semester 7 dari jurusan pendidikan agama islam, kenapa berteman sama Bang Sulaiman, nanti jadi mahasiswa abadi loh" Ucap wanita itu tertawa.
Bang Sulaiman kesal dan pergi. Ia tentu tak tahan dengan sindiran itu, karena Bang Sulaiman sebenarnya bukan mahasiswa abadi. Hanya saja Ia menunggu tahun ini agar di wisuda. Aku tak enak hati dan akan pergi meninggalkan wanita itu. Karena selain Aku tak mengenalnya, Kami di sana hanya berdua. Ternyata sebelum Aku pergi wanita itu yang meninggalkanku duluan.
Pulang dari itu, Aku bertemu Ammi di jalan teuku umar, tepat di simpang masuk ke masjid Al-furqon. Kulihat Wanita itu sedang ada di tengah jalan dimana kendaraan berlalu lalang. Ia memeluk seorang nenek yang sudah tua renta. Di sekelilingnya terlihat massa yang berkoar- koar. Bagaikan segelintir massa yang demonstrasi karena kenaikan BBM. Jalanan menjadi macet, sebagian orang melemparkan batu, kertas dan benda apa saja yang di tangannya. Sementara wanita itu memeluk erat Nenek tua renta itu. Nampaknya ia berusaha melindunginya.
“Habisi Nenek tua itu, sudah tua tak takut mati" Seru para massa.
“Hei, perempuan berjilbab biru jangan lindungi nenek tua itu. Dia pencuri .“ Terdengar seruan itu disisi lain.
Sementara batu- batu berukuran kecil telah mengenai tubuh wanita itu. Benda- benda seperti gagang sapu telah melukai jidatnya. Ia terus memeluk erat wanita tua renta itu. Aku tak tega melihat lumuran darah di keningnya, belum lagi batu- batu yang dilemparkan massa bertambah banyak.
“Hei, lepaskan saja nenek itu, Dia kan pencuri. Jangan kamu korbankan dirimu" teriakku.
Mungkin wanita itu memang tak mau mendengar siapa- siapa. Atau mungkin nenek tua itu adalah neneknya. Karena itu Dia begitu melindungi neneknya. Selama 10 menit kejadian dramatis itu berlangsung, tak ada satu pun yang mendekat ke arah wanita dan nenek tua itu. Kecuali batu- batu, atau benda- benda yang terlempar. Sambil sorakan kebencian pada nenek tua itu.
Wanita itu semakin lemah, tapi masih memeluk erat nenek tua itu, Ia tak peduli apa pun yang menerpanya. Sampai, polisi datang membubarkan massa. Ketika itu pula wanita itu tumbang dan jatuh. Karena Aku mengenalnya meski cuman sehari, Aku pun ikut dengan polisi membawa dia ke rumah sakit.
Sementara nenek tua renta itu, dibawa ke kantor polisi untuk diminati keterangan. Beberapa jam setelah wanita itu dibawa ke rumah sakit, wanita itu kemudian sadar. Aku dan tiga orang aparat polisi pun memasuki ruangan tempat Ia dirawat.
“ Apakah nenek tadi adalah nenek saudari?” Tanya salah satu polisi itu.
“ Bukan Pak, Saya tidak kenal sama nenek itu” Jawab wanita itu dengan lemah yang sedang terbaring.
“Lalu kenapa anda membela Dia, Dia itu adalah pencuri ? “ Ucap polisi lainnya.
" Iya Pak, tapi pencuri itu juga manusia. Apa gunanya hukum jika massa berhak menghakimi secara gegabah. Nenek itu sudah tua. Mungkin saja jika Dia tidak dilindungi nenek itu bisa mati. Karena batu- batu, dan benda- benda yang keras di lemparkan ke tubuhnya. Saya masih muda Pak. Kalau saya yang kena, tubuh saya masih kuat. Ya, walau harus masuk rumah sakit. Tuhan saja memberi kesempatan bagi makhluknya untuk bertaubat. Jadi Pak tolong berikan kesempatan nenek itu untuk bertaubat meskipun di penjara. Yang penting jangan dibunuh, biar malaikat aja yang cabut nyawanya.” Ucap wanita itu.
Seorang polisi lain masuk dan membisikkan sesuatu kepolisi yang sedang ada di dekatku.
“Nenek tua itu tak mengenal perempuan ini" bisik polisi itu.
“Baiklah, apakah perlu kami hubungi keluarga saudara?" Tanya Polisi yang sedang ada di sampingku.
“ Tak perlu Pak, kan Bapak bawa temanku" Ucap wanita itu menunjukku.
“ Kalau begitu kami mohon pamit" semua aparat berseragam itu serentak keluar dari ruangan meninggalkanku dengan wanita ini.
“ Siapa namamu?” Tanyaku.
“ Tsania Ammi Zulaika, panggil saja Ammi” Jawabnya tersenyum.
" Baiklah Ammi, Apa Aku harus menelpon keluargamu?”
“ Tidak usah, telpon saja Bang Sulaiman “ Ucapnya. Aku agak terkejut, dalam kondisi yang seperti ini bukannya Dia mencari keluarga. Ia malah mengingat Bang Sulaiman. Aku pun menelpon Bang Sulaiman dan menyuruhnya segera kesini.
Dalam hitungan menit Bang Sulaiman pun sampai.
“ Ammi, Kamu yah cari mati aja" Ucap Bang Sulaiman menggeleng kepala. Ammi hanya tersenyum.
“ Kamu tahu nggak Fan, Ammi itu sudah 3 kali masuk rumah sakit dan ini ke 4 kalinya. Kamu tahu alasannya apa ? Ia selalu menolong orang lain. Pertama Ia menolong balita yang akan di tabrak mobil, ehh... malah Dia yang ketabrak. Kedua gara- gara menolong Ibu-Inu yang cucianya hanyut di sungai. Lia malah jatuh, kepalanya terbentur dan masuk rumah sakit. Ketiga karena semua orang ular berbisa memasuki kos sahabat Ammi. Ammi berniat mengusirnya. Tapi dia malah dipatuk dan terkena bisa ular" Bang Sulaiman bercerita panjang.
Aku takjub mendengar cerita itu. Sungguh luar biasa. Ia rela mengorbankan jiwanya hanya untuk menolong orang lain.
“Bang Sulaiman lebay “ Ucap wanita itu.
“ Lebay Apanya? Lagian Aku heran Kamu punya berapa nyawa sih" Ucap Bang Sulaiman menggoda.
Hari itu Aku tahu kalau Ammi wanita pemberani, suka menolong dan baik hati. Kemudian seminggu kemudian Aku perhatikan Ia sering telponan dengan Bang Sulaiman, Aku rasa mungkin memang ada hubungan di antara mereka. Apalagi saat kuingat Bang Sulaiman sepertinya tahu cerita masa lalu Ammi. Kemarin, pas di rumah sakit pun Ammi, mencari Bang Sulaiman. Apa mungkin mereka pacaran yah? Begitulah dalam benakku.
Aku harus sabar, karena pada hari dimana dia bertindak seperti pahlawsn super, sebenarnya Aku telah memiliki rasa pada wanita pemberani itu.
Namun, Aku salah. Bang Sulaiman dan Ammi rupanya saudara kandung. Bang Sulaiman adalah Abang Kandung dari Ammi. Aku juga baru tahu setelah melihat foto kopi kartu keluarga Bang Sulaiman. Disana terletak Tsania Ammi Zulaika anak kedua dan Bang Sulaiman anak pertama.*
" Bang Sulaiman” Seseorang memanggil dari gerbang masjid.
“ Tuh, Ammi udah datang. Temuin sana" Ujar Bang Sulaiman.
" Tapi Bang, Ammi manggil Abang" Jawabku.
“ Udah sana temuin aja, palingan Dia manggil Abang untuk manggil Kamu" Ucap Bang Sulaiman lagi.
Aku menganggukan kepala dan berjalan menuju gerbang masjid. Menemui wanita yang telah membuatku melupakan segala derita. Wanita ini pula yang membuat Aku sadar akan pentingnya bersyukur.
Saat sampai di gerbang masjid. Terlihatlah wajah manisnya Ammi, lesung pipi yang menghiasi wajahnya begitu anggun. Wajahnya seolah bercahaya di bawah pancaran sinar bulan. Kerudung birunya amat indah dan syari sesuai tuntunan agama.
“ Ehh... Ammi, mau temuin Bang Sulaiman ya?” Tanyaku gugup.
"Nggak, Aku mau nemui Kamu" Ucapnya datar.
“ Aku? Emangnya ada apa Mi?”
“ Kamu gak pulang kan Idul Adha?”
“ Nggak Mi" Ucapku pelan menarik napas.
“ Kamu besok kemana?”
“ Nggak kemana-mana Mi, palingan di masjid ini bantu- bantu"
“ Kalau gak sibuk, besok sore datang ke rumah bareng Bang Sulaiman, Kemudian Ayah Aku juga mau ngomong sama kamu Fuad"Ucap Ammi menundukkan kepala.
Tiba-tiba saja, badanku berkeringat. Aku seperti bermimpi, kucubit tanganku. Ternyata Aku sedang tidak berkhayal.
“ Udah Fuad, Kamu tenang aja Ayah Aku baik kok" Ucap Ammi meyakinkan.
“ Ya, udah Ammi pamit , Fuad. Assalamualaikum “ Ucap Ammi.
“ Waalaikumussalam wa rahmatullah wabarakatuh “ Jawabku.
Bang Sulaiman terlihat menuju ruang kamar khusus marbot. Sementara Aku masih duduk di teras masjid. Menatap bintang- bintang yang bercahaya begitu terang. Merasakan angin malam yang tenang. Menikmati senandung takbir yang memuji keagungan Tuhan.
Lihatlah Kawan di atas sana. Bulan bersinar begitu terang. Membuatku ingin menuliskan puisi di secarik kertas.*
10 Dzulhijjah di bawah langit Sidimpuan yang megah.
Ibu, Maaf kan Aku malam ini Aku tak rindu dulu!
Bunga- bunga mungkin sedang memekaran di hatiku.
Seorang wanita berkerudung biru telah mengobati hampaku.
Bu, malam ini Aku merasa tak terasa sedang jauh darimu.
Bu, besok Ia mengundangku ke rumahnya. Katanya Ayahnya mau bicara Semoga itu adalah pertanda baik untukku.
Ibu, Aku telah mencintainya. Malam ini, 10 Dzulhijjah cintaku telah bersemi di bawah pacaran Sinar Idul Adha.
"Kayaknya, Ayah mau ngundang kamu ke nikahan Ammi. Kan dia bentar lagi mau nikah" ucap Bang Sulaiman.
"Yang bener Bang" Tanyaku dek dekan.
Bang Sulaiman mengangguk.
"Menikah sama siapa?"
"Ada! Yang pasti bukan kamu"
Suasana hatiku tiba-tiba saja berubah. Aku bertanya-tanya apakah iya ayah Ammi dan bang Sulaiman mengundangku ke rumah mereka hanya untuk mengundangku ke pernikahan Ammi dengan orang lain?
"Aku becanda" Kata Bang Sulaiman tertawa.
"Udah kamu tidur, besok pasti kamu tahu. Kenapa ayah ngundang kamu ke rumah" ujarnya lagi.
NB: CERPEN INI, SUDAH DITERBITKAN DALAM SEBUAH VUKU BERJUDUL "NURAGA"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H