Entah berapa lama aku memeluk dan menangisi Emi Salide sayangku tapi kereta sudah berhenti entah di stasiun mana, entah sudah sampai Surabaya atau bukan karena aku tidak mendengar pengumuman dari pramugari kereta api karena sibuk menangis. Kuputuskan berhenti di sini saja.
Aku mulai muak dengan perjalanan ini.
Aku memasukan kembali tubuh Emi Salide ke dalam koperku. Aku taruh dia senyaman mungkin.Â
Setelah melihat wajah jelitanya, aku tutup koperku rapat-rapat dan mulai melangkah keluar dari gerbong kereta. Aku melihat para satpam dan polisi sedikit lebih banyak dari biasanya, ah tak apalah aku siap ditangkap.
Aku duduk di salah satu bangku panjang tempat menunggu kereta. Sore hari ini sepertinya agak sepi penumpang yang naik. Aku melihat koperku yang kudirikan dekatku duduk.Â
Dengan menaruh keningku di satu permukaan koper, aku bisikan kepada Emi yang ada di dalam koper "Ayo sayang, aku menunggumu untuk menyapaku".
Karena dibalut amarah dan kesedihan, aku merobohkan koperku dan membuka resletingnya. Aku buka lebar-lebar dan kubelai rambut Emi dengan lembut sambil memohon agar dia bangun.
Masa bodoh orang-orang melihat dan para petugas itu mendekat, mereka tidak tahu bahwa aku sangat menyayanginya.
"Benar kata kakek itu, aku membutuhkanmu", kataku. Para polisi dan satpam mulai berbisik-bisik melihatku.
"Maaf karena telah berniat menguburmu", kataku sambil mengelus pipinya. Seorang ibu yang duduk tak jauh dariku mulai berdiri kaget melihatku.
"Aku akan menunggumu hingga kau bangun", ujarku sambil menutup koper itu. Para polisi dan satpam sudah mulai berjalan kearahku dan orang-orang juga sudah menyadarinya. Aku pasrah.
"Tentu aku juga setia menunggumu sayang", suara perempuan dari dalam koper mematahkan rasa sedihku.Â