"Ah ilmu apa, kita hanya mengobrol sambil membunuh rasa bosan", katanya sambil menunggu kereta berhenti tepat di stasiun.
Saat kereta sudah berhenti tepat dia beranjak dari tempat duduknya dan tiba-tiba berbisik kepadaku "Aku tahu kamu yang membawa mayat Emi Salide".
Setelah berkata seperti itu dia berlalu meninggalkanku yang terpaku seolah disambar petir di siang bolong. Hampir setengah jam aku berdiam diri menatap kosong kursi yang tadi di duduki si Kakek itu. Bagaimana dia bisa tahu?.
Aku sudah menyembunyikan semua jejak kejahatanku dan koper ini sudah ku tutup erat bahkan bau mayatnya tidak akan bisa kalian cium saat kalian menempelkan hidung kalian ke permukaan koperku, bagaimana bisa?.
Setelah sadar dari kagetku, aku langsung menyeret koperku ke dalam kamar mandi di gerbong kereta. Kuperiksa setiap inci dari koperku mungkin saja berlubang atau apa.Â
Koper polo berwarna cokelat itu tidak berlubang maupun terbuka resleting-nya sehingga tidak mungkin orang seperti kakek itu tahu aku membawa mayat Emi Salide.
Aku buka koperku untuk melihat keadaan mayat pacarku. Aku melihat wajah cantik jelitanya pucat pasi namun tidak membusuk sedikitpun. Aku buat seolah dia memeluk kedua kakinya yang ditekuk sedangkan pipi halusnya bertumpu pada dengkul mungilnya.Â
Ah, cantiknya engkau wahai Emi pacarku walaupun sudah menjadi mayat. Aku mulai memanggilnya agar dia mau bangkit dari kematian.
"Bangun cantik, aku membutuhkanmu. Aku janji akan tetap bersamamu",kata-kataku itu tidak dibalas barang satu helaan nafaspun.
"Ayo mari bermimpi lagi. Aku akan berjanji menjagamu walau realita dewasa membisikan kepadaku segala cara membunuh dirimu dengan keji. Tolong, aku mencintaimu", kata-kata yang kuucapkan tak dibalas lagi. Aku meneteskan air mata sembari memeluk tubuh dinginnya.
****