Aku tidak berani memutilasinya, tidak ada alat yang cukup kuat memotong-motong tubuhnya dan toh tubuhnya sudah muat masuk ke dalam koper.
***
"Ah si politikus itu lagi. Membawakan kabar duka kehilangan Emi Salide seolah-olah bersimpati kepadanya. Pencitraan!. Eh kau mengikuti berita Emi Salide itu kan?", kata si kakek ketika melihat di TV dalam kabin kereta menampilkan seorang politikus yang mengutarakan kesedihannya terhadap hilangnya pacarku.
"Mengikuti sedikit", jawabku singkat. Masih dengan pendirian awal tidak tertarik memulai obrolan pada orang asing.
"Hemm.. tapi kau tahu banyak anak muda yang acuh tak acuh dengan perkara beginian. Beruntung kau mengikuti sedikit. Para anak muda sekarang lebih banyak yang kasmaran dengan pacar-pacarnya. Apa istilahnya itu?..ee..bucin iya, budak cinta. Menganggap pacarnya seperti pandangan hidupnya semata, sebagai weltanschauung yang bernafas". Kakek ini mulai membuka obrolan panjang buat disantap olehku.
"Ada juga yang sebaliknya", sialan kenapa aku menanggapi si tua ini.
"Ah, iya tentu saja. Zaman sekarang semua dibalik-balik. Semua yang berharga jadi sampah dan yang tadinya sampah menjadi berharga. Metafora-metafora juga tidak mau ketinggalan ambil peran. Sulit membedakan mana kiasan mana kenyataan. Hahaha", si Kakek malah meneruskan dengan kata-kata filosofis.Â
Memang salahku kenapa keceplosan menanggapinya tadi.
Lalu seperti keran yang baru menyala, mulut Kakek di depanku memuntahkan berbagai topik obrolan dari agama, politik, hingga tren masa kini.Â
Aku hanya manggut-manggut saja menanggapi. Mengapa ada orang yang sanggup banyak bicara seperti kakek ini?. Apa masa mudanya dahulu sering diabaikan atau memang seperti ini masa mudanya. Ah tidak tahan aku mendengar ocehannya.
"Masa tua kadang tidak membuat bahagia, nak", sekarang mulai lagi dia bercerita tentang masa tua menyedihkannya padaku.