Mohon tunggu...
Rahmad Alam
Rahmad Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa psikologi UST, suka menulis dan rebahan.

Seorang mahasiswa fakultas psikologi universitas sarjanawiyata tamansiswa yogyakarta yang punya prinsip bahwa pemikiran harus disebarkan kepada orang lain dan tidak boleh disimpan sendiri walaupun pemikiran itu goblok dan naif sekalipun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Aku bersama Koper Berisi Mayat Emi Salide

9 April 2023   22:12 Diperbarui: 10 April 2023   21:01 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: pixabay.com 

Aku tidak berani memutilasinya, tidak ada alat yang cukup kuat memotong-motong tubuhnya dan toh tubuhnya sudah muat masuk ke dalam koper.

***

"Ah si politikus itu lagi. Membawakan kabar duka kehilangan Emi Salide seolah-olah bersimpati kepadanya. Pencitraan!. Eh kau mengikuti berita Emi Salide itu kan?", kata si kakek ketika melihat di TV dalam kabin kereta menampilkan seorang politikus yang mengutarakan kesedihannya terhadap hilangnya pacarku.

"Mengikuti sedikit", jawabku singkat. Masih dengan pendirian awal tidak tertarik memulai obrolan pada orang asing.

"Hemm.. tapi kau tahu banyak anak muda yang acuh tak acuh dengan perkara beginian. Beruntung kau mengikuti sedikit. Para anak muda sekarang lebih banyak yang kasmaran dengan pacar-pacarnya. Apa istilahnya itu?..ee..bucin iya, budak cinta. Menganggap pacarnya seperti pandangan hidupnya semata, sebagai weltanschauung yang bernafas". Kakek ini mulai membuka obrolan panjang buat disantap olehku.

"Ada juga yang sebaliknya", sialan kenapa aku menanggapi si tua ini.

"Ah, iya tentu saja. Zaman sekarang semua dibalik-balik. Semua yang berharga jadi sampah dan yang tadinya sampah menjadi berharga. Metafora-metafora juga tidak mau ketinggalan ambil peran. Sulit membedakan mana kiasan mana kenyataan. Hahaha", si Kakek malah meneruskan dengan kata-kata filosofis. 

Memang salahku kenapa keceplosan menanggapinya tadi.

Lalu seperti keran yang baru menyala, mulut Kakek di depanku memuntahkan berbagai topik obrolan dari agama, politik, hingga tren masa kini. 

Aku hanya manggut-manggut saja menanggapi. Mengapa ada orang yang sanggup banyak bicara seperti kakek ini?. Apa masa mudanya dahulu sering diabaikan atau memang seperti ini masa mudanya. Ah tidak tahan aku mendengar ocehannya.

"Masa tua kadang tidak membuat bahagia, nak", sekarang mulai lagi dia bercerita tentang masa tua menyedihkannya padaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun