“Nih buat kamu.” Aku ambilkan es krim yang Melodi beli tadi saat di perjalanan kemari.
“Makasih Dan. Walau demikian, setidaknya masih ada kamu.”
Waktu terasa berhenti, detak jantungku terasa, angin meniup rambut Melodi dan membuatku terpesona akan penampilannya, dan kata-katanya barusan bagaikan pengumuman bahwa aku mendapat golden tiket untuk memasuki suatu bangunan bertuliskan kata “Bahagia”.
Aku tersenyum manis kepadanya dan mencoba mengacak-acak kecil rambut Melodi.
“Iya Mel.” Aku memberanikan diri untuk membalas kata-kata Melodi walau wajahku memerah.
Kami menikmati es krim yang sudah kami ganti dengan sebagian uangku di minimarket tadi. Rasanya hidup di dunia ini membahagiakan. Semua kesedihan yang memenuhi hariku terasa berhenti sejenak dan diganti dengan kebahagiaan yang tiada tara.
Melodi berdiri dengan gayanya yang seperti anak kecil yang hiperaktif
“Hahh?” kata Melodi dengan wajah seperti melihat hantu. Tiba-tiba Melodi kehilangan keseimbangan dan jatuh tergeletak.
Suasana bahagia berubah menjadi suasana sedih yang memilukan. Aku tahu Tuhan merencanakan semuanya dengan baik, tapi menurutku bukan seperti ini yang baik. Kebahagiaanku yang sementara langsung diganti dengan kekhawatiranku kepada kondisi Melodi yang belum pasti keadaannya.
Setelah sekian lama aku tidak menemui suasana ini, suasana dimana banyak orang berjalan kesana-kesini terlihat khawatir dengan kondisi keluarga dan sahabatnya yang sedang dirawat. Ya, inilah suasana rumah sakit. Terakhir kali aku datang ke rumah sakit adalah saat orang tuaku dirawat kritis, dan sekarang aku kembali merasakannya.
Dokter keluar dari ruang rawat Melodi