“Apa tidak ada pesan dari Melodi, calon menantuku?” kata pak Jefri.
“Benar kan dia senang karena berhasil membujukku. Dasar!! Sudah panggil aku calon menantu aja” kataku dalam hati
“Eemm belum pak. Sepertinya dia sedang beristirahat di ruangannya.” Kataku dengan ekspresi mata agak jengkel.
“Semoga dia baik-baik saja.” Ucapnya dengan wajah penuh harapan.
“Amiin.” Aku berdoa dengan sungguh-sungguh untuk kesembuhan Melodi.
Tibalah kami di bandara pukul 08.00 pagi. Entah mengapa hari yang membahagiakan bagiku ini malah turun hujan yang lumayan deras. Tidak biasa di kota yang setengah desa ini turun hujan yang sangat lebat, berangin, dan bahkan banyak petir yang menyambar. Walau hujan deras, kami berdua akan tetap segera menuju ruang perawatan Melodi.
Di perjalan menuju rumah sakit, aku selalu terbayang-bayang wajah dan ekspresi Melodi yang akan senang melihat aku berhasil membawa dana untuk dia operasi. Di tengah perjalanan, aku melihat ada kucing hitam dengan mata warna biru yang begitu menarik perhatianku. Di kota setengah desa ini mempercayai bahwa bila ada kucing yang demikian terlihat maka akan ada hal spesial dan istimewa akan terjadi. Aku semakin semangat untuk bertemu Melodi.
Setelah sampai di rumah sakit, aku berlari ingin bertemu Melodi, entah kenapa hatiku sangat gembira dan ingin sekali bertemu dengannya. Saat aku memasuki rumah sakit, karena terlalu bersemangat aku sampai menabrak beberapa suster yang mengantarkan mayat yang sudah siap untuk dikebumikan. Tanpa banyak berkata, aku langsung meminta maaf dan lanjut berlari menuju ruangan Melodi. Aku melihat dokter yang aku janjikan akan aku cari dana untuk operasi Melodi 3 hari yang lalu. Lantas aku langsung menemuinya.
“Dokter, aku membawa dana operasi untuk Melodi.” Kataku dengan agak berteriak karena aku sangat gembira.
“. . . “ dokter terdiam dan terlihat seperti mengambil sesuatu dari sakunya.
“Ini surat dari Melodi.” Ujar dokter itu.