Mohon tunggu...
Putri Ekawati
Putri Ekawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi 02SAKE004 Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Pamulang

Saya Putri Ekawati mahasiswi semester 2 kelas 02SAKE004 Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi Bisnis di Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Evaluasi Implementasi Good Corporate Governance dalam Mengungkap Kelemahan Pengendalian Internal dalam Kasus PT Duta Palma

18 November 2024   22:22 Diperbarui: 18 November 2024   22:22 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kompas.com kejaksaan agung penyitaan barang bukti

TUGAS KELOMPOK ARTIKEL OPINI

KELOMPOK 7 05SAKE010

- Elya Aprita Milna Wiraga

- Dennis Reskia Davina

- Putri Ekawati

- Rusli

Prodi S1 Akuntansi 

Fakultas Ekonomi & Bisnis

Universitas Pamulang

Temuan  yang memuat siginifikansi materialitas yakni dari persepektif manajemen risiko : kasus PT Duta Palma mengenai penyitaan uang sebanyak 301 Miliar merupakan tindak lanjut dari awal kasus korupsi pemilik PT Duta Palma yakni Surya Darmadi perkara pokok pemanfaatan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit.

dalam artikel CNN Indonesia "Kejagung Sita Uang Rp301 Miliar di Kasus Korupsi Duta Palma Group" selengkapnya di sini:

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20241112172703-12-1165826/kejagung-sita-uang-rp301-miliar-di-kasus-korupsi-duta-palma-group.

Dengan adanya kasus tersebut menimbulkan risiko manajemen terhadap perusahaan, perusahaan PT Duta Palma seharusnya tidak diperbolehkan kembali untuk beroperasional. Penyerobotan lahan hutan lindung di Riau seluas 37.095 hektare telah mengakibatkan kerugian negara sebanyak 104,1 triliun. Penemuan dan penyitaan uang sebanyak 301 miliar yang dilakukan kejaksaan agung tidaklah sebanding dengan korupsi yang telah dilakukan oleh PT Duta Palma pencucian uang tersebut berasal dari PT Darmex Plantations selaku holding perkebunan, uang tersebut disamarkan melalui Yayasan Darmex.

Namun pada tahun sebelumnya di Indragiri Hulu, Riau Kamis 26 Januari 2023. KAP Florus Daeli yang menjadi saksi dalam persidangan dugaan korupsi fungsi lahan menyebutkan bahwa deviden yang dibayarkan hanya Rp1.5 triliun. Total keuntungan plus Rp1.3 triliun dengan penambahan dari revaluasi Rp 503 milliar Berarti 1.8 triliun lebih. Ada saldo labar 300 milliar dalam pembukuan. Dalam pernyataan tersebut mematahkan tudingan jaksa yang menyebutkan duta palma mencapai keuntungan puluhan triliun. Menurut kuasa hukum Surya (kuasa hukum Duta Palma ) pernyataan tersebut memberikan keuntungan kliennya.

Lalu terjadi pencucian uang sebanyak 301 milliar di tahun 2024, dalam nominal tersebut apakah uang yang dilakukan pencucian ini merupakan saldo laba yang telah diketahui sebelumnya pada persidangan ?

Pelanggaran Prinsip Good Corporate Governance: Studi Kasus PT Duta Palma Group

Kasus korupsi yang melibatkan PT Duta Palma Group menjadi cermin nyata bagaimana pelanggaran prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) dapat berujung pada tindak pidana yang merugikan negara dan masyarakat. Artikel ini menganalisis bagaimana pelanggaran terhadap lima asas utama GCG terjadi dalam kasus tersebut.

Transparency (Keterbukaan)

Kasus PT Duta Palma Group menunjukkan pelanggaran serius terhadap prinsip transparansi:

- Penggunaan rekening Yayasan Darmex untuk mengalihkan dana senilai Rp 301 miliar menunjukkan upaya penggelapan informasi keuangan

- Ketidakterbukaan dalam proses perizinan dan pengelolaan lahan perkebunan sawit

- Penyembunyian informasi terkait status kawasan hutan yang digunakan untuk perkebunan

Accountability (Akuntabilitas)

Beberapa pelanggaran terhadap prinsip akuntabilitas meliputi:

- Tidak adanya pertanggungjawaban yang jelas atas pengelolaan lahan tanpa izin

- Pengabaian terhadap sistem check and balance dalam pengelolaan perusahaan

- Ketidakjelasan dalam struktur pengambilan keputusan terkait penggunaan lahan hutan

Responsibility (Pertanggungjawaban)

Pelanggaran terhadap prinsip pertanggungjawaban terlihat dari:

- Pengoperasian perkebunan sawit tanpa izin pelepasan kawasan hutan

- Pelanggaran regulasi kehutanan yang berlaku

- Ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkebunan dan kehutanan

Independency (Kemandirian)

Kasus ini menunjukkan lemahnya independensi dalam pengelolaan perusahaan:

- Adanya konflik kepentingan dalam pengelolaan aset perusahaan

- Ketergantungan antar perusahaan dalam grup yang digunakan untuk tujuan ilegal

- Tidak adanya kemandirian dalam pengambilan keputusan yang berpihak pada kepentingan perusahaan

 Fairness (Kewajaran)

Pelanggaran terhadap prinsip kewajaran meliputi:

- Ketidakadilan dalam praktik bisnis yang merugikan negara dan masyarakat

- Pengabaian hak-hak pemangku kepentingan, khususnya masyarakat sekitar kawasan hutan

- Ketidakseimbangan dalam perlakuan terhadap stakeholders

Berbagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) telah menimbulkan dampak dan konsekuensi yang serius. Negara mengalami kerugian finansial yang signifikan, sementara lingkungan menderita kerusakan akibat eksploitasi kawasan hutan yang dilakukan tanpa izin yang sah. Situasi ini berujung pada penyitaan aset dengan total mencapai Rp 1,1 triliun dan penetapan status tersangka terhadap sejumlah korporasi yang terlibat. Dari kasus ini, dapat ditarik beberapa pembelajaran penting yang perlu diperhatikan. Pertama, implementasi GCG harus dilakukan secara konsisten dan menyeluruh dalam setiap aspek operasional perusahaan. Kedua, industri perkebunan membutuhkan sistem pengawasan yang lebih ketat untuk mencegah pelanggaran serupa di masa depan. Ketiga, transparansi dalam pengelolaan perizinan dan keuangan perusahaan harus ditingkatkan. Terakhir, penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran corporate governance mutlak diperlukan untuk menciptakan iklim bisnis yang sehat dan berkelanjutan.

 Kesimpulan

Kasus PT Duta Palma Group menjadi bukti nyata bagaimana pelanggaran terhadap prinsip-prinsip GCG dapat berujung pada tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Hal ini menegaskan pentingnya penerapan GCG bukan hanya sebagai formalitas, tetapi sebagai fondasi fundamental dalam pengelolaan perusahaan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Melebihi Aturan: Seni dan Tantangan Auditor dalam Menyeimbangkan Teori, Praktik, dan Transparansi

Audit bukan sekadar angka dan catatan, tapi lebih tentang bagaimana kita bisa memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam sebuah entitas. Pelaporan audit menjadi salah satu aspek krusial yang memadukan teori akuntansi dengan fakta lapangan. Hal ini penting, karena selain memberi “lampu hijau” bagi kredibilitas laporan keuangan, opini audit juga berdampak langsung ke reputasi perusahaan atau organisasi.

Apa itu Pelaporan Audit?

Pelaporan audit adalah hasil dari seluruh proses audit di mana auditor memberikan opininya terhadap kewajaran laporan keuangan perusahaan. Sebenarnya seperti "rating" dari auditor, yang mengindikasikan apakah laporan keuangan perusahaan tersebut  layak dipercaya atau masih ada yang janggal.

Dalam teori, ada beberapa jenis opini audit, seperti:

  • Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion)
  • Laporan keuangan menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi di Indonesia.
  • Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion)
  • Pendapat wajar dengan pengecualian diberikan apabila auditee menyajikan secara wajar laporan keuangan, dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia, kecuali untuk dampak hal-hal yang dikecualikan.
  • Tidak Wajar (Adverse Opinion)
  • Pendapat tidak wajar diberikan oleh auditor apabila laporan keuangan auditee tidak menyajikan secara wajar laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum..
  • Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer)
  • Auditor menyatakan tidak memberikan pendapat jika ia tidak melaksanakan audit yang auditor memberikan pendapat atas laporan keuangan. Pendapat ini juga diberikan apabila ia dalam kondisi tidak independen dalam hubungannya dengan klien.

Setelah kita tahu teori dasar ini, yang jadi menarik adalah bagaimana teori ini relevan dalam kasus nyata yang dijumpai auditor. Dari beberapa contoh nyata menunjukkan bahwa opini audit terkadang  lebih kompleks dari teori. Berikut beberapa contohnya:

1. Wajar Tanpa Pengecualian

Pemprov Sulsel Raih WTP dari BPK untuk Laporan Keuangan 2011

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan kembali meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk Laporan Keuangan tahun 2011. Penyerahan laporan hasil pemeriksaan dilakukan dalam Rapat Paripurna Istimewa DPRD Provinsi Sulsel pada Senin (4/6/2012).

Anggota BPK RI, Rizal Djalil, menyerahkan laporan tersebut kepada Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo yang didampingi jajaran pimpinan DPRD Sulsel. Ini merupakan prestasi kedua kalinya Pemprov Sulsel mendapatkan status WTP setelah sebelumnya di tahun 2010, meningkat dari status Wajar Dengan Pengecualian (WDP) yang diperoleh pada tahun 2009.

Dalam sambutannya, Rizal Djalil mengapresiasi kinerja Pemprov Sulsel namun mengingatkan adanya Silpa (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) sebesar Rp 212 miliar yang perlu dibicarakan agar tidak menimbulkan masalah. Sementara itu, Gubernur Syahrul menegaskan bahwa prestasi ini merupakan hasil dari konsistensi pemerintahannya dalam menjalankan tata kelola yang bersih dan transparan.

"Kami telah melengkapi 115 penghargaan nasional. Kita ini clear and clean. Saya merasakan manfaat e-audit dimana BPK dapat melakukan pemeriksaan setiap saat," ujar Syahrul yang juga menekankan komitmennya untuk menindak tegas pejabat yang tidak menjalankan pengelolaan keuangan dengan baik.

Di kasus nyata diatas, ada contoh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Ini menunjukkan bahwa mereka berhasil memenuhi standar keuangan sesuai aturan dan prinsip akuntansi, yang pastinya meningkatkan citra Pemprov di mata publik. Ini relevan banget sama teori, di mana WTP diberikan ketika laporan benar-benar dianggap sesuai standar tanpa ada poin-poin yang butuh dikecualikan.

2. Wajar Dengan Pengecualian

BPK Berikan Opini WDP untuk LKPP 2011

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI kembali memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) untuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2011. Opini tersebut disampaikan langsung oleh Ketua BPK, Hadi Poernomo, dalam acara penyerahan LKPP 2011 kepada DPR di Jakarta pada Selasa, 29 Mei 2012.

Dalam pemeriksaannya, BPK menemukan dua permasalahan utama yang menjadi dasar pemberian opini WDP. Pertama, meski pemerintah telah melakukan inventarisasi dan penilaian kembali aset tetap yang diperoleh sebelum neraca awal per 31 Desember 2004, masih ditemukan sejumlah permasalahan dalam pelaksanaan dan pencatatannya.

Permasalahan kedua berkaitan dengan inventarisasi dan penilaian kembali aset eks BPPN. Meskipun pemerintah telah melakukan inventarisasi menyeluruh, masih terdapat kelemahan dalam proses inventarisasi, perhitungan, dan penilaian terhadap aset-aset tersebut.

Meski demikian, Hadi Poernomo mencatat adanya perkembangan positif dalam pengelolaan keuangan pemerintah. Hal ini terlihat dari berkurangnya jumlah akun yang dikecualikan dalam LKPP 2011 dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut Ketua BPK, ini merupakan hasil dari kerja keras pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas laporan keuangan.

Opini WDP yang diberikan untuk LKPP 2011 ini merupakan kelanjutan dari opini serupa yang diberikan BPK untuk LKPP tahun 2010, menunjukkan konsistensi dalam standar pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan oleh BPK.

Contoh diatas merupakan salah satu wajar dengan pengecualian yaitu BPK pernah memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) untuk laporan keuangan Pemerintah Pusat tahun 2011 karena ada kekurangan dalam pencatatan aset. Meskipun secara umum laporan masih bisa dipercaya, ada beberapa poin yang tidak  sesuai, misalnya soal transparansi aset tetap yang kurang jelas. Dari sisi teori, opini ini memang diterapkan ketika ada satu-dua poin yang kurang, tapi tidak sampai membuat laporan jadi tidak kredibel sama sekali.

3. Tidak Wajar  

Kotamobagu Kembali Terima Opini Tidak Wajar dari BPK

Pemerintah Kota Kotamobagu kembali menerima opini Tidak Wajar (TW) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang disampaikan pada Senin (03/07). Hasil ini menunjukkan belum adanya peningkatan dari opini serupa yang diterima tahun sebelumnya.

Menanggapi hasil tersebut, Juru Bicara Pemerintahan Moch. Agung Adati yang mewakili Walikota Kotamobagu Drs. Djelantik Mokodompit ME, mengidentifikasi beberapa faktor utama yang menjadi kendala. Permasalahan aset dan kelengkapan dokumen masih menjadi hambatan utama bagi Kotamobagu dalam meraih opini yang lebih baik.

"Opini TW yang diperoleh dua tahun terakhir ini tentu merupakan pembelajaran berharga bagi Pemerintah Kotamobagu," ujar Agung saat dikonfirmasi melalui telepon seluler. Dia menambahkan bahwa selain masalah aset dan dokumen, terdapat beberapa catatan lain dari BPK yang membutuhkan perbaikan.

Meski menerima opini Tidak Wajar, Pemerintah Kota Kotamobagu menyikapi hasil ini secara positif. Pihaknya berkomitmen untuk menjadikan hasil evaluasi BPK ini sebagai momentum untuk meningkatkan kinerja pemerintahan ke depannya.

Di sisi lain, kasus di Kota Kotamobagu mendapat opini Tidak Wajar (TW) karena banyak masalah dalam pelaporan aset dan dokumen. Ini sesuai dengan teori di mana laporan dianggap tidak wajar ketika penyimpangan terlalu signifikan dan bisa menyesatkan pembaca. Efeknya, tentu menurunkan kepercayaan terhadap manajemen Kota Kotamobagu dan perlu jadi pelajaran penting buat mereka untuk memperbaiki sistem pencatatan mereka.

4. Tidak Memberikan Pendapat

Laporan Keuangan Daerah Papua Barat Masih Didominasi Opini Disclaimer

Kualitas pengelolaan keuangan daerah di Provinsi Papua Barat masih belum menunjukkan kemajuan yang signifikan. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2011, dari tujuh kabupaten/kota yang telah diperiksa, lima di antaranya masih mendapat opini disclaimer atau tidak menyatakan pendapat.

Hanya dua kabupaten yang menunjukkan kinerja lebih baik dengan memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), yakni Kabupaten Sorong Selatan yang mempertahankan opini WDP selama dua tahun berturut-turut, dan Kabupaten Teluk Bintuni yang menunjukkan peningkatan. Sementara lima daerah yang mendapat opini disclaimer adalah Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Kaimana, Raja Ampat, dan Tambrauw.

Kasub Hukum dan Humas BPK-RI Perwakilan Provinsi Papua Barat, Ruly Ferdian, menjelaskan bahwa pemeriksaan LKPD dilakukan rutin setiap akhir tahun anggaran per 31 Desember. Ia menekankan tiga komponen utama yang diminta dalam LKPD: neraca, realisasi anggaran, dan laporan analisa kas. Untuk meningkatkan opini, laporan keuangan harus disajikan sesuai standar akuntansi pemerintahan.

"Tindak lanjut LHP oleh Provinsi Papua Barat dan kabupaten/kota masih tergolong paling rendah dibanding provinsi lain," ungkap Ruly. BPK mengharapkan peran aktif DPRD dalam fungsi pengawasan, termasuk mengundang kepala daerah untuk membahas temuan-temuan dalam LHP.

Berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, pemerintah daerah wajib memberikan tindak lanjut hasil pemeriksaan secara tertulis kepada BPK RI dalam waktu maksimal 60 hari setelah LHP diterima.

Empat kabupaten lainnya - Manokwari, Fakfak, Maybrat, dan Teluk Wondama - serta Pemerintah Provinsi Papua Barat masih dalam proses pemeriksaan. Sebelumnya, Provinsi Papua Barat selalu mendapat opini disclaimer dalam beberapa tahun terakhir.

Dari pernyataan diatas BPK memberikan opini “Disclaimer” atau tidak memberikan pendapat ke beberapa kabupaten di Papua Barat. Penyebabnya adalah kurangnya data dan akses yang memadai untuk menyelesaikan audit. Sesuai teori, ini adalah situasi di mana auditor nggak bisa ambil kesimpulan karena keterbatasan informasi. Hal ini bisa terjadi di lapangan, terutama di daerah-daerah yang akses informasinya masih terbatas.

Melihat contoh di atas, kita bisa simpulkan bahwa teori dalam pelaporan audit sebenarnya sudah cukup akurat dalam mendeskripsikan situasi di lapangan. Tapi, praktiknya kadang lebih rumit karena ada banyak faktor lain, seperti politik, budaya organisasi, dan kendala teknis. Auditor tidak hanya memegang teori sebagai pedoman, tapi juga butuh keahlian komunikasi dan negosiasi untuk menangani berbagai kepentingan dalam perusahaan atau pemerintah.

Penting banget memahami bahwa laporan audit bukan sekadar checklist dari aturan yang harus dipenuhi. Ini adalah kombinasi dari pengetahuan teknis dan wawasan tentang perusahaan atau organisasi yang diaudit. Dengan demikian, kita gak cuma memastikan laporan keuangan benar, tapi juga ikut mendorong transparansi di masyarakat.

Pada akhirnya, opini audit adalah cermin dari seberapa siap sebuah entitas menghadapi pengawasan. Ini adalah tanda bahwa entitas tersebut peduli dan mau bertanggung jawab. Dan ini bukan hanya tentang menyajikan laporan tapi juga memastikan bahwa setiap angka dan laporan itu bisa dipegang oleh masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun