Mohon tunggu...
Cerpen

Gedung Pencakar Langit di Kota Metropolitan

24 Maret 2017   20:52 Diperbarui: 25 Maret 2017   05:00 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Langkahku terhenti di depan gedung itu. Sebuah gedung di tengah kota yang menjulang tinggi menunjukkan kemewahannya. Aku memandang gedung tersebut hingga puncaknya. Entah mengapa takdir harus membawaku kembali ke tempat ini. Memoriku terbawa kembali kepada masa itu. Bayangan hitam putih terus berputar membuka kembali duka yang telah lama kusembunyikan dan kupendam sendiri. Kendaraan bermotor lalu lalang di belakangku, aku tidak peduli para satpam gedung yang melihatku dengan tatapan curiga atau sekelompok orang yang lewat sambil berbisik dan memandangku sinis. Aku hanya mengenang perjuangan yang pernah kulewati, dan gedung bertingkat 27 ini menjadi saksinya. Tanpa sadar, aku menitikkan air mata.

            Aku menghembuskan nafas.

            Aku menginjakkan kaki di lantai 1. Banyak perubahan yang kutemukan. Gedung ini direnovasi setelah tragedy itu. Lukisan disepanjang lantai 1 tak lagi sama seperti 2 tahun lalu. Lukisan langit malam yang selalu aku kagumi kini tak lagi tersangkut di salah satu sisi dinding. Penjagaan gedung ini pun semakin diperketat. Dulu hanya ada 2 orang penjaga yang berada di balik meja kerjanya dan hanya sekedar menanyakan tujuan para tamu yang datang. Berbeda dengan saat ini, seluruh penjaga menggunakan jas hitam dan memencar di seluruh bagian lantai 1.

            Langkahku terhenti di depan lift yang mengantarkanku ke lantai yang kutuju. Mataku menatap lurus lampu hias yang menggantung di depanku. Pikiranku memutar kembali kepada kejadian yang pernah aku alami. Di tingkat tertinggi gedung ini.

            “Saya butuh anak ini untuk menjadi mata-mata bagi Renisha” ucap seorang pria berusia senja yang menggunakan kacamata hitam dengan tongkat di tangan kanannya.

            “Tapi Pak, dia masih terlalu belia. Dan ia tidak ada kaitannya dengan masalah ini” ucap ibu.

            Aku hanya memandang mereka dengan tatapan bingung. Hari itu aku baru saja menyelesaikan ujian nasional SMP. Sesampainya di rumah, ibu mengajakku ke suatu tempat. Gedung perkantoran mewah di tengah kota metropolitan, Jakarta. Masih kuingat dengan jelas sosok pria yang berbicara dengan ibuku. Aku mengasumsikan ia adalah seorang yang sangat penting, karena kemana pun ia pergi ia dikawal oleh dua orang penjaga bertubuh kekar. Kuingat juga bagaimana ibu dengan rambutnya yang ia kuncir satu dan kemeja merah dan celana kain yang melekat pada tubuhnya, wajah putihnya dipenuhi derai air mata sambal memohon hingga berlutut kepada bapak tua itu. Semuanya terekam jelas diingatanku.

            Sesampainya di rumah aku bertanya kepada ibu, apa yang sebenarnya terjadi. Mau tak mau, beliau menceritakannya kepadaku.

            “Jika itu demi kebaikan aku dan ibu. Aku bersedia” ucapku tegas.

            “Tidak nak. Ini terlalu berbahaya”

            “Tak ada yang bisa kulakukan buk. Ini cara agar aku dapat melindungi ibu”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun