“Aku perlu waktu. Maaf. Kamu bisa anter aku pulang sekarang kan? Banyak tugas.” kata Stefa kemudian.
“Tapi kamu belum makan.” kata Eza.
“Maaf ya.” Kata Stefa. Eza hanya bisa mengangguk. Eza tau benar bagaimana sifat Stefa. Ia pasti bingung mendengar pengakuan sahabat baiknya tentang hal yang memang sensitif bagi Stefa.
Diperjalanan pulang mereka hanya diam. Mencoba saling memikirkan hari ini.
***
“Dia nembak aku, Sin. Aku harus gimana coba. Dia sahabat baikku sama kaya kamu. Aku suka dia deket aku. Tapi… Aku bingung. Aku tak pernah jatuh cinta. Aku nggak tau perasaan apa ini.” Stefa menumpahkan segala kegundahan hatinya pada Sinta.
“Kau mulai mencintainya. Akuilah.” Sinta seolah mendesak.
“Apa buktinya?” Stefa menyangsikan penjelasan Sinta.
“Kau selalu ingin ketemu dia. Kau selalu deg-degan bersamanya. Perasaanmu sangat nyaman saat dekat dengannya. Itu kan yang kau alami?” Dalam hati Stefa membenarkan. Tapi ia tak mau jujur.
Kadang prinsip memang harus berubah karena cinta. Tapi ia masih tak mau mengakui. Cewek sekeras kepala Stefa tak mungkin mau mengakui itu semua. Terlalu gengsilah untuk mengakui.
“Kamu benar. Tapi kamu tau gimana hubunganku sama dia. Aku bersahabat baik. Aku sudah pernah bernazar kan. Sahabat selamanya jadi sahabat. Bukan jadi cinta yang mbulet kayak gini. Kamu nggak tau sih gimana kerasnya prinsip.” Stefa merasa semakin resah.