“Morning…” sapa Stefa pada teman-temannya. Dia memang gadis yang sangat ramah, sopan, baik dan cerdas. Kualitas yang tidak semua gadis seusianya punya. Ia juga berbakat, dan punya prinsip yang kuat mengenai dirinya sendiri.
“Morning..” balas teman-temannya tak kalah hangat.
“Eh, ngapain pada rame-rame? Seru amat?” Tanya Stefa pada teman-temannya yang sedang berkumpul mengerjakan tugas.
“Fa, elu udah ngerjain tugas Bahasa Inggris apa belum?” Tanya salah satu temannya.
“Udah. Ambil di tas.” Jawab Stefa santai. Karena ia memang selalu mengerjakan tugas.
“Fa, ada yang nyari.” kata Sinta, teman sebangkunya sekaligus sahabat terbaiknya.
Tanpa banyak Tanya, Stefa langsung keluar kelas. Ia sudah tau siapa yang mencarinya. Eza. Sahabatnya yang ia temui saat daftar masuk sekolah itu dan saat daftar untuk menjadi anggota ekskul musik. Ia ada janji untuk membahas proposal yang akan mereka ajukan pada sekolah untuk berpartisipasi dalam acara ultah sekolah mereka. Maklum Stefa adalah ketua koordinator untuk ekskul musik, dan Eza adalah coordinator band. Setelah hampir lima belas menit mereka berdiskusi, dan Stefa telah mencatat semua yang perlu, maka Eza yang bertugas untuk mengetik tugas itu untuk selanjutnya diberikan pada pembimbing musik untuk dirundingkan lagi dengan anggota yg lain.
Setelah Eza kembali ke kelas,Stefa kembali mengingat bagaimana pertemuannya dengan sahabatnya itu. Waktu itu Stefa ingin mendaftarkan diri di sekolah yang ia inginkan. Salah satu SMK Negeri di kota Malang. Ia tidak sengaja menubruk Eza saat ia kembali dari kamar mandi mau ke aula utama. Mereka berkenalan sebagai sama-sama anak baru. Sejak itu mereka dekat layaknya sahabat. Saat masuk ekskul musik juga secara tidak sengaja mereka bertemu dan berpartner.
“Eh, nglamun ae.” kata Sinta teman satu bangkunya. ”ngelamunin Eza ya?”
“Ah, enggak. Kenapa harus ngelamunin dia?” bantah Stefa.
“Aku lihat kalian sering jalan bareng akhir-akhir ini. Udah gak betah jadi jomblo ya?” Tanya Sinta lagi. Dia memang suka menggoda Stefa dan menjodohkannya dengan Eza, karena saat itu wajah Stefa memerah. Dan ia punya firasat bahwa Stefa menyukai Eza. Karena sepanjang hari Stefa selalu membicarakan Eza.
“Kan emang kita udah partner kerja. Jadi wajar dong.” bantah Stefa lagi. Tapi tak dapat dipungkiri bahwa ia memang menyukai kehadiran Eza didekatnya. Karena sejak dulu sampai dia umur 16 tahun, Stefa tidak pernah merasakan pacaran seperti teman-temannya yang bahkan sudah ada yang memiliki mantan pacar lebih dari lima.
“Halah. Wajahmu merah tuh. Aku sahabat baikmu lho. Jadi aku tau persis gimana kamu.” Desak Sinta.
Stefa hanya diam. Melihat reaksi sahabatnya itu,Sinta berhenti menggodanya dan meneruskan pekerjaannya. Mengerjakan tugas.
Lima belas menit kemudian. Guru bahasa Inggris mereka datang. Pelajaran yang paling disukai Stefa.
***
“Fa, aku mau ngomong.” tiba-tiba Eza menepuk bahu Stefa.
“Eh, mau ngomong apa?” tanya Stefa kaget.
“Tapi aku mau ajak kamu jalan sekalian. Berdua.” jawab Eza.
“Hah… Berdua…?” Tanya Stefa sambil membentuk jari telunjuk dan tengahnya seperti huruf V. Iyalah dia kaget. Setiap mereka jalan selalu rame-rame. 'Is this,date…?' pikir Stefa dalam hati. 'Gila. kalo ada yang tau aku jalan berdua sama sohib ku sendiri. Bisa brabe urusan. Anak-anak pasti mikir aneh-aneh.'
“Heloo… Kok ngelamun…? Kaget? Aku cuma pengen ngomong sama kamu face to face. Aku gak akan aneh-aneh ato yang ada dalam pikiran kamu. Dan aku janji. Temen-temenmu gak akan ada yang tau.” jawab Eza menepis keragu-raguan Stefa seolah bisa membaca pikiran Stefa.
“Iya deh.” jawab Stefa bingung.
Mereka berdua pun pergi ke salah satu mall yang ada di kota Malang. Stefa masih berusaha membiasakan diri dengan kebersamaannya dengan Eza. Tapi, sebenarnya dia sangat nyaman bersama Eza. Setelah mereka bosan keliling. Eza mengajak makan Stefa di salah satu restoran fast food yang dekat dengan alun-alun kota.
“Kamu mau ngomong apa?” Tanya Stefa setelah mereka selesai memesan makan dan duduk.
“Emmm….” Eza gugup. Karena ia tidak mungkin siap dan sanggup kehilangan Stefa. Gadis yang selama ini ia cintai dan ia lindungi.
“Kok gugup sih?” Tanya Stefa mendesak.
“Permisi. Ini pesanannya.” seorang waitres mengantarkan pesanan mereka.
“Makasih.” sahut keduanya.
“Apa kamu gak akan marah kalo aku jujur hal yang sebenarnya sama kamu?” Tanya Eza memastikan.
Stefa terlihat bingung saat Eza menanyakan itu.
“Aku perjelas aja karena aku tau kamu tidak suka muter-muter.” jawab Eza akhirnya. ”Aku cinta kamu. Sejak pertama kita ketemu. Dan karena aku tahu kamu mungkin tidak gampang menerimaku, makanya aku pengen kita lupain ini. Aku cukup lega udah jujur. Paling nggak, bebanku nggak terasa berat. Kita masih temenan kan meskipun sudah ada pengakuan dariku? Pengakuan yang mungkin gak akan kamu terima dengan gampang.” penjelasan Eza panjang lebar membuat Stefa hanya bisa terdiam. Bahkan nasi yang tadinya mau dia makan berhenti di udara.
Stefa memang menyukai kehadiran Eza. Tapi bukan berarti dia mencintai Eza seperti yang Eza katakan padanya. Menolak? Tapi apa alasannya? Menerima? Jelas tidak mungkin. Karena prinsipnya ‘sahabat ya akan selamanya jadi sahabat. Gak akan berubah sampai kapanpun.’ Tapi disisi lain ia sering deg-degan saat bersama Eza. Apa aku juga merasakan cinta? Pertanyaan demi pertanyaan mengalir di benak Stefa.
“Aku perlu waktu. Maaf. Kamu bisa anter aku pulang sekarang kan? Banyak tugas.” kata Stefa kemudian.
“Tapi kamu belum makan.” kata Eza.
“Maaf ya.” Kata Stefa. Eza hanya bisa mengangguk. Eza tau benar bagaimana sifat Stefa. Ia pasti bingung mendengar pengakuan sahabat baiknya tentang hal yang memang sensitif bagi Stefa.
Diperjalanan pulang mereka hanya diam. Mencoba saling memikirkan hari ini.
***
“Dia nembak aku, Sin. Aku harus gimana coba. Dia sahabat baikku sama kaya kamu. Aku suka dia deket aku. Tapi… Aku bingung. Aku tak pernah jatuh cinta. Aku nggak tau perasaan apa ini.” Stefa menumpahkan segala kegundahan hatinya pada Sinta.
“Kau mulai mencintainya. Akuilah.” Sinta seolah mendesak.
“Apa buktinya?” Stefa menyangsikan penjelasan Sinta.
“Kau selalu ingin ketemu dia. Kau selalu deg-degan bersamanya. Perasaanmu sangat nyaman saat dekat dengannya. Itu kan yang kau alami?” Dalam hati Stefa membenarkan. Tapi ia tak mau jujur.
Kadang prinsip memang harus berubah karena cinta. Tapi ia masih tak mau mengakui. Cewek sekeras kepala Stefa tak mungkin mau mengakui itu semua. Terlalu gengsilah untuk mengakui.
“Kamu benar. Tapi kamu tau gimana hubunganku sama dia. Aku bersahabat baik. Aku sudah pernah bernazar kan. Sahabat selamanya jadi sahabat. Bukan jadi cinta yang mbulet kayak gini. Kamu nggak tau sih gimana kerasnya prinsip.” Stefa merasa semakin resah.
“Cinta itu kedewasaan. Kalo kamu mau sedikit saja membuka kemungkinan untuk jatuh cinta pada sahabatmu sendiri. Kau akan lupain prinsip bullshit itu.” jawaban Sinta membuat Stefa menarik nafas panjang.
“Apa yang harus aku lakuin?” Stefa terdengar putus asa.
“Ikuti kata hatimu. Dan kamu akan dapet jawaban.” Sinta terdengar sangat bijak.
“Huft.. aku coba…” Stefa menghela nafas panjang.
“Aku tak mau memaksa. Tapi, coba deh kamu buka pikiran kamu. Jangan terlalu menyerah karena prinsip. Aku nggak melarang kamu punya prinsip. Bahkan aku senang ada cewek yang prinsipnya gak gampang goyah. Jaman sekarang kan susah tuh nyari cewek kayak gitu. Tapi untuk urusan cinta, pasti prinsip itu berubah. Apalagi prinsipmu. ‘Gak akan pacaran sama sohib sendiri’. Kayaknya nggak ada deh cewek yang prinsipnya kayak gitu. Coba pikir deh.” Penjelasan Sinta membuat Stefa makin nggak yakin dengan prinsipnya selama ini.
Untuk sejenak Stefa diam. Membisu dengan pikirannya sementara Sinta menunggunya sambil membaca majalah kesayangannya. Dalam hati Stefa mulai yakin perasaannya pada Eza adalah cinta ,tapi sesaat kemudian, ia bimbang dengan keputusannya. Dia mencintai Eza. Tapi dia bersahabat dengan cowok itu sudah lebih dari satu tahun. Sebelumnya nggak ada perasaan apapun, baru beberapa bulan ini mulai ada rasa. Stefa tidak pernah menyangka kalau perasaannya pada Eza bisa berubah menjadi sesuatu yang rumit begini. ”Aku udah putusin.” Kata Stefa membuat Sinta kaget.
“Apa?” tanya Sinta dengan kening berkerut.
“Well, aku akan nyoba buat jujur sama perasaanku dulu.” Kata Stefa membuat Sinta makin nggak ngerti.
“Maksudnya?” tanya Sinta lagi.
“Sinta sayang, sebentar nyambung, sebentar kemudian lola. Ya aku emang cinta dia. Emang belum terlalu kuat perasaanku sama dia. But, I will try.” kata Stefa seolah perkataannya itu adalah beban yang sudah dia lepas.
“Really? Cepet banget kamu ambil keputusan? Inget, Fa. Cinta bukan percobaan. Ini masalah keseriusan.” rentetan pertanyaan Sinta membuat Stefa jadi gemas.
“Oke…oke.. kita gak akan tau kalo belum dijalani.” jawab Stefa.
“Well. Terserah kamu. Aku seneng kamu udah mau jujur sama perasaan kamu. Trus kapan kamu mau ngaku?”
“I don’t know. Aku belum siap. Gimana dong?”
“Aku bantu. Dasar. Giliran berantem aja selalu siap.” mereka tertawa bersama. Stefa melepas nafas lega. Seakan beban itu telah terhapus.
***
“Za,aku mau ngomong.” Kata Stefa tegas ditengah-tengah latihan band.
“Iya.” setelah pamit pada teman-temannya ia dan Stefa pergi dari studio. ”Ada apa?” tanya Eza langsung. Jujur ia deg-degan juga.
“Tentang yang kemarin...”
“Kalo kamu keberatan aku gak maksa. Udah berteman sama kamu aja aku udah lega.” Eza memotong karena saking gugupnya dia menghadapi Stefa.
“Bukan... huft. Aku mau jalanin sama kamu.” kata Stefa.
“Maksud kamu?” tanya Eza nggak mengerti.
“Kamu serius cinta sama aku?” Stefa malah balik tanya.
“Iyalah. Kalo nggak. Aku nggak akan nembak kamu.” kata Eza tapi masih dengan kening berkerut bingung.
“Kamu pengen kita pacaran?” Tanya Stefa lagi.
“Aku nggak maksa kamu buat jadi pacarku. But, if you want it. I will try.” Jawab Eza.
“Cinta itu bukan percobaan, Za.” kata Stefa.
“Aku ngerti. Kalo emang menurut kamu ini terlalu cepat. Kita jalani dulu apa adanya. Biar waktu yg jawab.” jawab Eza.
“Well. Aku mau jalanin. Tapi tolong jangan sia-siain kepercayaanku dan harapanku sama kamu. Aku juga mulai cinta sama kamu.” kata Stefa.
“Kamu yakin?”
“Yep. I’m very sure.” Kata Stefa meyakinkan.
Eza meraih tangan Stefa. ”Thanks. Aku nggak akan pernah sia-siain kamu. I swear.”
“Cie... udah lupa nih sama prinsip?” sorak teman-teman Stefa yang muncul tiba-tiba. Spontan Eza melepas tangannya.
“Udah bosen sohiban nih..? hehehe...” sahut Kak Angga, senior Stefa di organisasi musik.
“Makanya jujur sama hati. Kita gak akan ngatain kok kalo kamu jujur.” Kata Sinta menimpali.
“Iya.. hehe..” Kata Stefa.
“Traktiran dong...” beberapa teman bersorak serempak.
“Iya deh. Ayo ke kantin. Aku yang bayar. Mumpung baru gajian kemarin. Hehehehe...” Eza mengajak teman-temannya.
Inilah jawaban yang di dapat Stefa. Percaya pada hati terkadang memang sulit. Tapi lebih baik begitu daripada membohongi perasaan sendiri. Stefa memandang Eza yg berjalan disebelahnya, dan tersenyum.
By : Y Kriesta S
Malang,3 September 2010
*hasil tulisan yang cukup lama tersimpan dalam hardisk*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H