Apakah calon Presiden dan Wakil Presiden bersedia secara terbuka mengungkapkan laporan keuangan dan aset pribadi mereka, sebagai langkah untuk menghindari konflik kepentingan dan menjaga integritas pribadi?
Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden merespon isu-isu etika yang mungkin timbul selama masa pemerintahan mereka, dan apakah mereka memiliki mekanisme tertentu untuk menanggapi dengan cepat dan tegas?
Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk menjaga kebebasan berpendapat dan berpendapat di masyarakat, tanpa menggunakan kekuasaan mereka untuk menekan atau membatasi opini yang berbeda?
Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden merencanakan untuk memperkuat pendidikan etika dan integritas di tingkat nasional, sebagai upaya preventif untuk membentuk generasi yang memiliki nilai-nilai moral yang kuat?
Apakah calon Presiden dan Wakil Presiden bersedia untuk tunduk pada proses evaluasi independen terkait dengan kepatuhan mereka terhadap prinsip-prinsip integritas dan etika, sebagai bentuk akuntabilitas kepada rakyat yang mereka layani?
Empat, Mengutamakan Kepentingan Nasional di atas Kepentingan Pribadi atau Golongan (Anti Nepotisme dan Politik Dinasti)
Pernyataan bahwa seorang pemimpin harus mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi atau golongan, serta menolak praktik nepotisme, menyoroti pentingnya keadilan dan pemerintahan yang bersih dalam kepemimpinan. Jika ada agenda tersembunyi di balik penolakan terhadap nepotisme selama kampanye, hal tersebut dapat dianggap sebagai pembohongan publik terstruktur yang merugikan integritas kepemimpinan. Pemimpin yang terbukti melakukan pembohongan semacam itu seharusnya secara jujur membatalkan pencalonannya, dan masyarakat seharusnya menolak untuk memilihnya. Secara filosofis, anti nepotisme dan politik dinasti mencerminkan prinsip kesetaraan dan keadilan dalam pembagian kekuasaan dan kesempatan.
Dalam pandangan filosofis, anti nepotisme dan politik dinasti dapat dilihat sebagai wujud dari prinsip keadilan yang dianut oleh berbagai aliran pemikiran, termasuk utilitarianisme dan teori kontrak sosial. John Rawls, seorang filsuf moral dan politik, mengemukakan dalam konsepnya tentang keadilan bahwa setiap tindakan dan kebijakan pemerintah harus meratakan kesempatan bagi semua warga negara, tanpa memihak kelompok atau individu tertentu.
Dalam konteks hukum, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN menegaskan larangan nepotisme di tingkat pemerintahan. Pasal 8 UU tersebut menyatakan, "Setiap penyelenggara negara dilarang melakukan KKN, termasuk menyalahgunakan jabatan dan wewenang, korupsi, kolusi, dan nepotisme."
Seiring dengan prinsip-prinsip internasional, Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal PBB Pasal 21 Ayat (2) menegaskan, "Setiap orang memiliki hak untuk mengakses posisi publik dalam negara, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilihnya." Nepotisme dan politik dinasti dapat menjadi penghalang bagi masyarakat untuk mengakses posisi publik dengan cara yang adil dan setara.
Pemimpin yang secara konsisten menolak nepotisme dan politik dinasti menunjukkan komitmen terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kepentingan nasional. Pembohongan publik terstruktur terkait dengan penolakan terhadap nepotisme dan politik dinasti adalah pelanggaran serius terhadap prinsip kejujuran dan transparansi dalam kepemimpinan. Oleh karena itu, membatalkan pencalonan merupakan langkah yang sesuai dan harus diambil oleh pemimpin yang terbukti melakukan pembohongan semacam itu. Masyarakat, sebagai pemegang kekuasaan suara, harus mengutamakan pemimpin yang benar-benar berkomitmen untuk mengutamakan kepentingan nasional dan menolak praktik nepotisme.
Pertanyaan kritis yang perlu diajukan: