Mohon tunggu...
P Joko Purwanto
P Joko Purwanto Mohon Tunggu... Guru - Teacher

Becoming added value for individual and institute, deeply having awareness of personal branding, being healthy in learning and growth, internal, external perspective in order to reach my vision in life, and increasingly becoming enthusiastic (passion), empathy, creative, innovative, and highly-motivated.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Sapta Perspektif Calon Pemimpin Bangsa

5 Januari 2024   23:28 Diperbarui: 5 Januari 2024   23:28 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sapta Perspektif Calon Pemimpin Bangsa/Dokumen Pribadi)

Dalam perjalanan membentuk pemimpin yang berintegritas dan berdaya, kita merangkum esensi kepemimpinan yang holistik melalui Sapta Perspektif. Dari memegang teguh nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, hingga penghormatan terhadap keberagaman lokal dan global, serta nilai-nilai kemanusiaan dalam menjaga integritas dan martabat manusia sebagai citra Allah. Melalui pandangan ini, kita mengeksplorasi komitmen untuk mengutamakan kepentingan nasional tanpa ruang bagi nepotisme dan politik dinasti. Tidak hanya itu, juga bagaimana seorang pemimpin harus memiliki keberpihakan kepada mereka yang lemah, tersingkir, dan memiliki rekam jejak terpuji. Tak lupa, kita mengamati urgensi menjaga keutuhan alam sebagai rumah bersama. Mari bersama-sama memahami dan menerapkan Sapta Perspektif sebagai fondasi kepemimpinan yang inspiratif dan berdaya.

Satu, Memegang Teguh Pancasila dan UUD 1945

Pernyataan bahwa seorang pemimpin harus memegang teguh Pancasila dan UUD 1945 tanpa agenda tersembunyi di balik pencalonannya sebagai presiden atau wakil presiden merupakan dasar yang kuat untuk mendukung integritas dan kejujuran seorang pemimpin dalam memimpin bangsa. Pemimpin yang memiliki tekad kuat terhadap nilai-nilai dasar tersebut akan mampu membangun fondasi kepemimpinan yang kokoh dan dapat diandalkan. Namun, jika terdapat agenda tersembunyi di balik pernyataan tersebut, hal tersebut dapat dianggap sebagai pembohongan publik terstruktur yang merugikan kepercayaan masyarakat.

Penting untuk mencermati bahwa pemilihan pemimpin adalah suatu proses yang sangat vital dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, setiap calon pemimpin wajib menghormati dan mematuhi prinsip-prinsip yang diatur dalam hukum, termasuk perundangan yang berlaku. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional negara harus dijunjung tinggi sebagai pedoman utama dalam menjalankan tugas kepemimpinan. Setiap pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum dan kepercayaan rakyat.

Dalam konteks ini, Pemimpin yang terbukti memiliki agenda tersembunyi di balik komitmennya terhadap Pancasila dan UUD 1945 seharusnya secara jujur membatalkan pencalonannya. Tindakan ini bukan hanya sebagai bentuk tanggung jawab moral, tetapi juga sebagai tindakan yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pencalonan seorang pemimpin seharusnya didasarkan pada niat tulus untuk melayani dan memajukan kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu yang bersifat tersembunyi.

Oleh karena itu, pemerintah dan lembaga terkait harus turut bertanggung jawab dalam mengawasi integritas calon pemimpin. Proses seleksi dan verifikasi calon pemimpin harus dilakukan secara transparan dan teliti guna mencegah terjadinya pembohongan publik terstruktur. Langkah-langkah hukum yang tegas perlu diterapkan apabila ada bukti yang menunjukkan adanya agenda tersembunyi yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Dalam kesimpulan, memegang teguh Pancasila dan UUD 1945 tanpa adanya agenda tersembunyi seharusnya menjadi komitmen tulus dari setiap calon pemimpin. Pembohongan publik terstruktur adalah pelanggaran serius terhadap integritas kepemimpinan dan kepercayaan rakyat. Oleh karena itu, tindakan yang jujur dan sesuai dengan hukum, termasuk pembatalan pencalonan, harus diambil sebagai respons terhadap pelanggaran tersebut.

Pertanyaan kritis yang perlu diajukan:

  1. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden mengartikan dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kebijakan dan tindakan konkret mereka?

  2. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden mampu menyelaraskan komitmen mereka terhadap UUD 1945 dengan visi kepemimpinan yang diusungnya?

  3. Apakah calon Presiden dan Wakil Presiden memiliki strategi konkret untuk memperkuat keberlakuan dan pemahaman terhadap Pancasila di tengah masyarakat?

  4. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden melibatkan dan menghargai keragaman budaya serta agama di Indonesia sesuai dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika?

  5. Apakah calon Presiden dan Wakil Presiden memiliki rencana untuk mempromosikan persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila?

  6. Sejauh mana pemahaman calon Presiden dan Wakil Presiden terhadap konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bagaimana mereka merencanakan untuk memperkuat persatuan tersebut?

  7. Apakah calon Presiden dan Wakil Presiden memiliki inisiatif khusus untuk mengatasi ketidaksetaraan sosial dan ekonomi di masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip universal yang menganjurkan keadilan?

  8. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk melindungi hak asasi manusia dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan sosial dalam kebijakan mereka?

  9. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden akan melibatkan masyarakat sipil dan elemen-elemen agama dalam proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan?

  10. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden berencana mengatasi permasalahan korupsi dan memastikan keadilan dan transparansi dalam pemerintahan, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan prinsip-prinsip universal yang menentang segala bentuk kecurangan?

Dua, Menghormati Kebhinekaan Tunggal Ika dan Kebhinekaan Global 

Pernyataan bahwa seorang pemimpin harus menghormati kebhinekaan, baik dalam konteks Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia maupun kebhinekaan global, merupakan fondasi penting dalam membangun hubungan yang harmonis dan inklusif di tingkat nasional dan internasional. Pemimpin yang memiliki pemahaman mendalam tentang nilai-nilai kebhinekaan akan mampu menciptakan lingkungan yang ramah dan adil bagi semua warga negara dan juga di dunia internasional. Namun, jika terdapat eklusivitas tersembunyi di balik pernyataan tersebut, hal tersebut dapat dianggap sebagai pembohongan publik terstruktur yang merugikan prinsip-prinsip demokrasi dan persatuan.

Dalam konteks kebhinekaan nasional, Bhinneka Tunggal Ika menjadi semboyan yang mencerminkan keberagaman suku, budaya, agama, dan ras di Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 menggariskan prinsip-prinsip yang melindungi keberagaman ini. Sebagai contoh, Pasal 29 UUD 1945 menyatakan, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan berasaskan demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan." Prinsip ini menunjukkan pentingnya menghormati keberagaman agama dan kepercayaan masyarakat Indonesia.

Tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat internasional, kebhinekaan menjadi prinsip utama dalam hubungan antarbangsa. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dalam Pasal 18 menegaskan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan agama; termasuk kebebasan berubah agama atau kepercayaan." Prinsip ini mencerminkan pentingnya menghargai keberagaman agama dan keyakinan di seluruh dunia.

Pemimpin yang terbukti memiliki eklusivitas tersembunyi di balik komitmennya terhadap kebhinekaan seharusnya secara jujur membatalkan pencalonannya. Ini tidak hanya sebagai tanggung jawab moral, tetapi juga sebagai respons yang sesuai dengan ketentuan hukum. Pencalonan seorang pemimpin seharusnya didasarkan pada niat tulus untuk melayani dan memajukan kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu yang bersifat tersembunyi.

Oleh karena itu, lembaga-lembaga terkait, baik di tingkat nasional maupun internasional, harus memainkan peran penting dalam memastikan integritas calon pemimpin terkait dengan kebhinekaan. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses seleksi pemimpin menjadi kunci untuk mencegah terjadinya pembohongan publik terstruktur yang merugikan prinsip-prinsip kebhinekaan.

Pertanyaan kritis yang perlu diajukan:

  1. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden berencana untuk memastikan keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia dihormati dan diakui dalam kebijakan dan program-program pemerintahan mereka?

  2. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden memiliki strategi konkret untuk mengatasi potensi konflik antaragama dan mempromosikan toleransi di tengah masyarakat Indonesia yang multikultural?

  3. Apakah calon Presiden dan Wakil Presiden memiliki komitmen untuk melindungi hak-hak minoritas agama dan kelompok etnis, sesuai dengan nilai-nilai universal yang menekankan perlindungan terhadap yang lemah dan rentan?

  4. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden berencana untuk memajukan dialog antaragama dan menggalang kerja sama antarlembaga keagamaan guna memperkuat persatuan nasional?

  5. Apakah calon Presiden dan Wakil Presiden memiliki rencana konkret untuk mempromosikan perdamaian dan keadilan di tingkat internasional, dengan menghormati kebhinekaan global dan prinsip-prinsip keadilan sosial universal?

  6. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden akan melibatkan organisasi-organisasi keagamaan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan, sebagai bentuk menghormati kebhinekaan dan mendengarkan suara berbagai kelompok masyarakat?

  7. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden berencana untuk melibatkan pemuka agama dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan penanganan masalah sosial di masyarakat?

  8. Apakah calon Presiden dan Wakil Presiden memiliki rencana untuk memastikan bahwa semua warga negara, tanpa memandang agama atau kepercayaan, dapat merasakan manfaat dari program-program pembangunan dan kesejahteraan?

  9. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk menghadapi dan mengatasi isu-isu diskriminasi, terutama yang terkait dengan agama, dengan merujuk pada prinsip-prinsip keadilan dan solidaritas universal?

  10. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden merespon tantangan global, seperti perubahan iklim dan konflik internasional, dengan mengedepankan kerja sama lintas agama dan menghormati kebhinekaan global untuk mencapai tujuan kemanusiaan yang bersama?

Tiga, Memiliki Integritas

Pernyataan bahwa seorang pemimpin harus memiliki integritas menyoroti pentingnya moralitas dan kejujuran dalam kepemimpinan. Integritas pemimpin bukan sekadar janji-janji politik semata, tetapi merupakan fondasi yang kokoh bagi kepercayaan masyarakat. Jika ada agenda tersembunyi di balik pengakuan tentang integritas pada saat kampanye, hal tersebut dapat dianggap sebagai pembohongan publik terstruktur yang menciderai integritas itu sendiri. Pemimpin yang terbukti melakukan pembohongan semacam itu seharusnya secara jujur membatalkan pencalonannya sebagai bentuk tanggung jawab moral. Dalam konteks filosofis, integritas pemimpin mengandung makna yang dalam, mencakup konsistensi moral dan kejujuran dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil.

Dalam pandangan filosofis, integritas pemimpin mencerminkan kesatuan antara nilai-nilai moral yang dianutnya dengan tindakan dan kebijakan yang diterapkannya. Integritas mengimplikasikan konsistensi moral yang tulus dan kohesif, di mana pemimpin tidak hanya berbicara tentang nilai-nilai moral, tetapi juga menghidupkannya dalam tindakan sehari-hari. Sebagaimana disampaikan oleh filosof Amerika Serikat, C.S. Lewis, "Integrity is doing the right thing, even when no one is watching." Integritas tidak hanya berkaitan dengan tindakan yang terlihat oleh publik, tetapi juga dengan integritas diri yang menggerakkan pemimpin untuk tetap konsisten dengan nilai-nilai yang diyakininya.

Dalam konteks hukum, Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Pasal 31 Ayat (1), menegaskan bahwa "Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum atas dirinya dan hartanya." Ini menandakan pentingnya integritas dalam melindungi hak-hak warga negara, dan pemimpin memiliki tanggung jawab khusus dalam memastikan perlindungan tersebut. Di tingkat internasional, Mahatma Gandhi, tokoh pemimpin dan filosof asal India, menekankan, "Integrity is the most valuable and respected quality of leadership. Always keep your word."

Pemimpin yang memiliki integritas diakui sebagai figur yang dapat diandalkan dan dihormati oleh masyarakat. Oleh karena itu, jika ada indikasi pembohongan publik terstruktur terkait dengan integritas seorang pemimpin, tindakan membatalkan pencalonan menjadi langkah yang tidak hanya bermoral tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai hukum dan filosofis yang mengedepankan kejujuran dan konsistensi moral dalam kepemimpinan. Dalam hal ini, pemimpin tidak hanya berbicara tentang integritas, tetapi juga mengambil tindakan nyata untuk mempertahankannya demi kepentingan bersama.

Pertanyaan kritis yang perlu diajukan:

  1. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden merinci rencana konkrit mereka untuk memastikan keberadaan integritas dalam pikiran dan perbuatan, tidak hanya dihadapan publik tetapi juga dalam ruang pribadi?

  2. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk memperkuat sistem pengawasan dan akuntabilitas guna mencegah dan menindak tindakan korupsi atau pelanggaran etika di pemerintahan?

  3. Apakah calon Presiden dan Wakil Presiden memiliki strategi untuk memperkuat independensi lembaga-lembaga pengawas, sehingga dapat menjaga integritas dalam pelaksanaan tugas mereka tanpa adanya intervensi politik?

  4. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden berencana untuk melibatkan masyarakat sipil dan media dalam pengawasan terhadap tindakan pemerintah, sebagai langkah untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas?

  5. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk memenuhi janji-janji kampanye mereka, sebagai bentuk konsistensi dalam berpikir dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut?

  6. Apakah calon Presiden dan Wakil Presiden bersedia secara terbuka mengungkapkan laporan keuangan dan aset pribadi mereka, sebagai langkah untuk menghindari konflik kepentingan dan menjaga integritas pribadi?

  7. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden merespon isu-isu etika yang mungkin timbul selama masa pemerintahan mereka, dan apakah mereka memiliki mekanisme tertentu untuk menanggapi dengan cepat dan tegas?

  8. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk menjaga kebebasan berpendapat dan berpendapat di masyarakat, tanpa menggunakan kekuasaan mereka untuk menekan atau membatasi opini yang berbeda?

  9. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden merencanakan untuk memperkuat pendidikan etika dan integritas di tingkat nasional, sebagai upaya preventif untuk membentuk generasi yang memiliki nilai-nilai moral yang kuat?

  10. Apakah calon Presiden dan Wakil Presiden bersedia untuk tunduk pada proses evaluasi independen terkait dengan kepatuhan mereka terhadap prinsip-prinsip integritas dan etika, sebagai bentuk akuntabilitas kepada rakyat yang mereka layani?

Empat, Mengutamakan Kepentingan Nasional di atas Kepentingan Pribadi atau Golongan (Anti Nepotisme dan Politik Dinasti)

Pernyataan bahwa seorang pemimpin harus mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi atau golongan, serta menolak praktik nepotisme, menyoroti pentingnya keadilan dan pemerintahan yang bersih dalam kepemimpinan. Jika ada agenda tersembunyi di balik penolakan terhadap nepotisme selama kampanye, hal tersebut dapat dianggap sebagai pembohongan publik terstruktur yang merugikan integritas kepemimpinan. Pemimpin yang terbukti melakukan pembohongan semacam itu seharusnya secara jujur membatalkan pencalonannya, dan masyarakat seharusnya menolak untuk memilihnya. Secara filosofis, anti nepotisme dan politik dinasti mencerminkan prinsip kesetaraan dan keadilan dalam pembagian kekuasaan dan kesempatan.

Dalam pandangan filosofis, anti nepotisme dan politik dinasti dapat dilihat sebagai wujud dari prinsip keadilan yang dianut oleh berbagai aliran pemikiran, termasuk utilitarianisme dan teori kontrak sosial. John Rawls, seorang filsuf moral dan politik, mengemukakan dalam konsepnya tentang keadilan bahwa setiap tindakan dan kebijakan pemerintah harus meratakan kesempatan bagi semua warga negara, tanpa memihak kelompok atau individu tertentu.

Dalam konteks hukum, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN menegaskan larangan nepotisme di tingkat pemerintahan. Pasal 8 UU tersebut menyatakan, "Setiap penyelenggara negara dilarang melakukan KKN, termasuk menyalahgunakan jabatan dan wewenang, korupsi, kolusi, dan nepotisme."

Seiring dengan prinsip-prinsip internasional, Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal PBB Pasal 21 Ayat (2) menegaskan, "Setiap orang memiliki hak untuk mengakses posisi publik dalam negara, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilihnya." Nepotisme dan politik dinasti dapat menjadi penghalang bagi masyarakat untuk mengakses posisi publik dengan cara yang adil dan setara.

Pemimpin yang secara konsisten menolak nepotisme dan politik dinasti menunjukkan komitmen terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kepentingan nasional. Pembohongan publik terstruktur terkait dengan penolakan terhadap nepotisme dan politik dinasti adalah pelanggaran serius terhadap prinsip kejujuran dan transparansi dalam kepemimpinan. Oleh karena itu, membatalkan pencalonan merupakan langkah yang sesuai dan harus diambil oleh pemimpin yang terbukti melakukan pembohongan semacam itu. Masyarakat, sebagai pemegang kekuasaan suara, harus mengutamakan pemimpin yang benar-benar berkomitmen untuk mengutamakan kepentingan nasional dan menolak praktik nepotisme.

Pertanyaan kritis yang perlu diajukan:

  1. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden berencana untuk memastikan bahwa kebijakan-kebijakan mereka selalu mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi atau kelompok tertentu?

  2. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk melibatkan berbagai unsur masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sebagai bentuk pencegahan praktik nepotisme dan memastikan representasi yang adil?

  3. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden berencana untuk memperkuat lembaga-lembaga pengawas dan anti-korupsi, sehingga dapat mencegah terjadinya nepotisme dan melindungi integritas pemerintahan?

  4. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden akan memastikan transparansi dalam proses seleksi dan penempatan pejabat publik, agar terhindar dari praktik-praktik nepotisme yang dapat merugikan kepentingan nasional?

  5. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden merespon isu-isu terkait konflik kepentingan, terutama yang berkaitan dengan keluarga atau golongan tertentu, dan apakah mereka memiliki langkah-langkah khusus untuk mengatasi hal tersebut?

  6. Apakah calon Presiden dan Wakil Presiden memiliki rencana untuk memperkenalkan atau memperkuat kebijakan-kebijakan yang mencegah penempatan keluarga atau kerabat dekat di dalam pemerintahan, sebagai tindakan preventif terhadap nepotisme?

  7. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden merencanakan untuk memastikan bahwa setiap pejabat publik ditunjuk berdasarkan kualifikasi dan meritokrasi, bukan karena hubungan keluarga atau kedekatan pribadi?

  8. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk mengedepankan profesionalisme dalam proses pengangkatan pejabat pemerintahan, tanpa memandang latar belakang keluarga atau hubungan pribadi?

  9. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden merespons isu-isu terkait perlindungan hak-hak minoritas dan keberagaman, serta apakah mereka memiliki strategi khusus untuk mencegah diskriminasi dan ketidaksetaraan?

  10. Apakah calon Presiden dan Wakil Presiden memiliki rencana konkret untuk melibatkan masyarakat sipil dan media dalam pengawasan terhadap potensi nepotisme dan konflik kepentingan di dalam pemerintahan, sehingga memastikan akuntabilitas dan transparansi yang optimal?

Lima, Mempunyai Keberpihakan kepada Kaum Kecil-lemah-miskin-tersingkir-difabel, serta Memiliki Rekam Jejak yang Terpuji

Pernyataan bahwa seorang pemimpin harus memiliki keberpihakan kepada kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel (option for the poor), serta memiliki rekam jejak yang terpuji, menekankan pentingnya kepemimpinan yang berfokus pada kesejahteraan dan keadilan sosial. Jika terdapat agenda tersembunyi di balik pengakuan tentang rekam jejak yang tidak terpuji, seperti penculikan aktivis, penghilangan paksa, atau pelanggaran hak asasi manusia yang mencederai kemanusiaan, hal tersebut dapat dianggap sebagai pembohongan publik terstruktur yang merugikan integritas kepemimpinan. Pemimpin yang terbukti melakukan pembohongan semacam itu seharusnya secara jujur membatalkan pencalonannya, dan masyarakat seharusnya menolak untuk memilihnya. Secara filosofis, rekam jejak yang terpuji mencerminkan konsistensi dan dedikasi pemimpin dalam menjalankan tugasnya dengan integritas, baik dalam ranah digital maupun non-digital.

Rekam jejak yang terpuji dalam konteks filosofis dapat didefinisikan sebagai jejak langkah dan tindakan yang mencerminkan kesetiaan dan komitmen pemimpin terhadap nilai-nilai moral dan etika. Ini mencakup konsistensi dalam mendukung keberpihakan kepada kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel, serta penegakan hak asasi manusia. Sebagaimana diungkapkan oleh Mahatma Gandhi, "The best way to find yourself is to lose yourself in the service of others." Rekam jejak yang terpuji mencakup dedikasi terhadap pelayanan kepada masyarakat, terutama yang membutuhkan dukungan ekstra.

Di tingkat hukum, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan berbagai instrumen hak asasi manusia internasional menggarisbawahi pentingnya perlindungan hak-hak kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel. Pasal 4 UU tersebut, misalnya, menegaskan bahwa "Setiap orang berhak atas perlindungan dan kepastian hukum atas hak asasi manusianya." Ini menunjukkan bahwa pemimpin dengan rekam jejak terpuji harus memiliki dedikasi untuk memastikan perlindungan hak-hak tersebut.

Dalam era digital, rekam jejak terpuji mencakup integritas dalam penggunaan teknologi dan media sosial. Pemimpin yang bijaksana dalam pemanfaatan platform digital dapat menciptakan transparansi dan kepercayaan di antara masyarakat. Sebaliknya, pemimpin yang memanfaatkan digitalisasi untuk menyebarkan informasi palsu atau merugikan individu atau kelompok tertentu mencoreng rekam jejaknya.

Dalam konteks global, Deklarasi Millennium Development Goals PBB menegaskan pentingnya mengatasi ketidaksetaraan dan memperjuangkan keberpihakan kepada mereka yang paling membutuhkan. Pemimpin dengan rekam jejak terpuji akan selaras dengan prinsip-prinsip ini, memastikan keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.

Pemimpin yang memiliki rekam jejak terpuji, baik secara digital maupun non-digital, adalah mereka yang memprioritaskan kepentingan rakyat dan menunjukkan komitmen yang kokoh terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Pembohongan publik terstruktur terkait dengan rekam jejak yang tidak terpuji harus direspons dengan langkah jujur, yaitu membatalkan pencalonan, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan integritas kepemimpinan. Masyarakat, sebagai penentu pilihan, memiliki hak untuk menolak pemimpin yang tidak dapat menunjukkan rekam jejak terpuji dalam pelayanan kepada kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel.

Pertanyaan kritis yang perlu diajukan:

  1. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden merencanakan kebijakan-kebijakan konkrit untuk memastikan keberpihakan kepada kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel dalam setiap aspek pembangunan dan pemerintahan?

  2. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk melibatkan kelompok-kelompok tersebut dalam proses pengambilan keputusan, guna memastikan bahwa suara mereka didengar dan kepentingan mereka diakomodasi?

  3. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden berencana untuk mengatasi ketidaksetaraan sosial dan ekonomi yang mungkin dialami oleh kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel, serta memastikan distribusi sumber daya yang lebih adil?

  4. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden akan mendorong inklusivitas dalam kebijakan pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan untuk memastikan bahwa tidak ada golongan yang terpinggirkan?

  5. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden merespons isu-isu hak asasi manusia yang mungkin dihadapi oleh kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel, dan apakah mereka memiliki rencana konkret untuk melindungi hak-hak tersebut?

  6. Apakah calon Presiden dan Wakil Presiden memiliki strategi khusus untuk mengatasi tantangan kesehatan yang dihadapi oleh kelompok rentan, termasuk kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel?

  7. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden berencana untuk memanfaatkan teknologi dan inovasi untuk meningkatkan aksesibilitas dan kesempatan bagi kelompok-kelompok yang mungkin tertinggal?

  8. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden akan memastikan bahwa kebijakan ekonomi yang diimplementasikan tidak hanya menguntungkan golongan tertentu, tetapi juga memberikan dampak positif kepada kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel?

  9. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden berencana untuk melibatkan dan mendukung organisasi masyarakat sipil dan lembaga nirlaba yang fokus pada keberpihakan kepada kelompok rentan, untuk memastikan adanya kontrol sosial yang efektif?

  10. Apakah calon Presiden dan Wakil Presiden memiliki komitmen untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal keberpihakan kepada kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel, dan bagaimana mereka akan memastikan implementasi prinsip-prinsip ini di tingkat nasional?

Enam, Menjunjung Tinggi Martabat Manusia sebagai Citra Allah

Pernyataan bahwa seorang pemimpin harus menjunjung tinggi martabat manusia mencerminkan komitmen terhadap prinsip-prinsip moral dan etika dalam kepemimpinan. Jika ada agenda tersembunyi di balik kebohongan terkait pencederaan terhadap martabat manusia pada masa lalu, hal tersebut merupakan bentuk pembohongan publik terstruktur yang menciderai prinsip-prinsip universal tentang pentingnya menghormati martabat setiap individu. Pemimpin yang terbukti melakukan pembohongan semacam itu seharusnya secara jujur membatalkan pencalonannya, sebagai bentuk tanggung jawab moral. Dalam konteks hukum dan filosofis, menjunjung tinggi martabat manusia adalah landasan untuk mencapai keadilan dan perdamaian di tingkat nasional dan internasional.

Dalam filsafat, menjunjung tinggi martabat manusia mencerminkan pandangan bahwa setiap individu memiliki nilai intrinsik dan hak-hak yang tidak dapat diabaikan. Dalam perspektif agama, konsep ini dapat dikaitkan dengan ajaran bahwa manusia diciptakan sebagai citra Allah. Sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Kejadian 1:27, "Dan Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya; menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka." Ini menegaskan nilai dan martabat setiap individu sebagai refleksi dari kehadiran Ilahi.

Dalam konteks hukum, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB menjadi fondasi untuk memastikan perlindungan martabat manusia. Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan, "Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan."

Pemimpin yang terlibat dalam pembohongan terkait pencederaan martabat manusia pada masa lalu seharusnya menyadari dampak moral dan etika dari tindakan tersebut. Memiliki rekam jejak yang jujur dan konsisten dengan nilai-nilai hak asasi manusia adalah kunci untuk membangun kepercayaan masyarakat dan menciptakan fondasi kepemimpinan yang kuat.

Pentingnya menjunjung tinggi martabat manusia tidak hanya bersifat lokal, tetapi juga global. Keberlanjutan perdamaian dan harmoni antarbangsa sangat tergantung pada penghormatan terhadap martabat manusia. Oleh karena itu, pemimpin yang mengabaikan nilai-nilai ini tidak hanya merugikan masyarakat di tingkat nasional, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang diakui secara universal.

Secara keseluruhan pada pint ini, pemimpin harus bertanggung jawab atas kejujuran dan integritasnya terkait dengan penghormatan terhadap martabat manusia. Pembohongan terstruktur terkait dengan pencederaan martabat manusia pada masa lalu adalah pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip universal, dan pemimpin yang terlibat seharusnya secara jujur membatalkan pencalonannya sebagai langkah pertama menuju tanggung jawab moral yang lebih besar.

Pertanyaan kritis yang perlu diajukan:

  1. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden merencanakan kebijakan-kebijakan konkret yang akan memastikan penghormatan dan peningkatan martabat manusia sebagai citra Allah di setiap aspek kebijakan pemerintahan?

  2. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk melibatkan masyarakat sipil, kelompok agama, dan lembaga-lembaga keagamaan dalam pembentukan kebijakan yang berkaitan dengan penghormatan martabat manusia?

  3. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden berencana untuk memastikan bahwa hak-hak asasi manusia, yang diakui sebagai prinsip universal, akan dijunjung tinggi dan dilindungi di seluruh wilayah negara?

  4. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden akan melibatkan kelompok-kelompok masyarakat yang rentan, seperti kaum minoritas dan kelompok berpendapatan rendah, dalam proses pembuatan kebijakan untuk memastikan representasi dan perlindungan yang adil?

  5. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden merespon tantangan hak asasi manusia yang mungkin muncul dalam konteks teknologi dan digitalisasi, dan apakah mereka memiliki strategi untuk melindungi martabat manusia di era modern ini?

  6. Apakah calon Presiden dan Wakil Presiden memiliki rencana konkrit untuk mendukung pendidikan tentang martabat manusia dan nilai-nilai keberpihakan kepada sesama sebagai citra Allah di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan?

  7. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk mengatasi ketidaksetaraan sosial dan ekonomi, yang seringkali menjadi penghalang utama dalam mencapai penghormatan terhadap martabat manusia?

  8. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden berencana untuk memastikan keberpihakan kepada dan penghormatan terhadap martabat manusia tidak hanya bersifat retorika, tetapi juga terintegrasi dalam kebijakan pembangunan dan ekonomi?

  9. Apakah calon Presiden dan Wakil Presiden memiliki rencana untuk memperkuat lembaga-lembaga penegak hukum dan perlindungan hak asasi manusia guna memastikan akuntabilitas bagi pelanggaran martabat manusia?

  10. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk berkolaborasi dengan komunitas internasional dalam upaya menjunjung tinggi martabat manusia sebagai nilai universal, dan bagaimana mereka akan mempromosikan kerjasama global dalam hal ini?

Tujuh, Menjaga Keutuhan Alam Ciptaan sebagai Rumah Kita Bersama

Pernyataan bahwa seorang pemimpin harus menjaga keutuhan alam ciptaan sebagai rumah bersama mencerminkan tanggung jawab etis dan moral dalam pembangunan berkelanjutan. Jika terdapat agenda tersembunyi terkait kelalaian masa lalu terhadap kerusakan alam, hal tersebut merupakan bentuk pembohongan publik terstruktur yang merugikan integritas kepemimpinan. Pemimpin yang terbukti terlibat seharusnya secara jujur membatalkan pencalonannya sebagai langkah pertama menuju tanggung jawab moral yang lebih besar. Beberapa bukti konkret kerusakan lingkungan hidup di Indonesia dapat ditunjukkan dalam bentuk deforestasi, pencemaran air, dan degradasi lahan yang bertentangan dengan anjuran Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si' dan Surat Apostolic Laudate Deum.

Bukti pertama dari kerusakan lingkungan hidup di Indonesia adalah deforestasi yang masif. Hutan-hutan yang merupakan sumber keanekaragaman hayati dan penyimpan karbon penting telah mengalami penurunan signifikan akibat penebangan liar dan konversi lahan untuk kepentingan industri. Menurut data Badan Pusat Statistik Indonesia, luas hutan Indonesia berkurang sekitar 2,8 juta hektar antara 2000 dan 2020, mengakibatkan hilangnya habitat flora dan fauna yang unik.

Pencemaran air juga menjadi masalah serius. Limbah industri dan domestik yang tidak dielola dengan baik mengakibatkan kerusakan ekosistem air. Beberapa sungai dan danau di Indonesia mengalami tingkat pencemaran yang tinggi, membahayakan kehidupan akuatik dan kesehatan masyarakat yang bergantung pada air tersebut.

Degradasi lahan juga terjadi akibat praktik-praktik pertanian yang tidak berkelanjutan. Penggunaan pestisida dan pupuk kimia secara berlebihan merusak kesuburan tanah dan menciptakan lahan-lahan yang tidak produktif. Fenomena ini menciptakan ketidakseimbangan ekologis dan mengancam ketahanan pangan nasional.

Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si' dan Surat Apostolic Laudate Deum menekankan pentingnya menjaga keutuhan ciptaan sebagai ekspresi cinta kasih terhadap Tuhan. Prinsip-prinsip universal yang diusung oleh ensiklik dan surat apostolic tersebut mengajarkan perlunya menjaga ekosistem sebagai rumah bersama, meresapi keindahan alam, dan memandang lingkungan hidup sebagai kehidupan bersama yang perlu dilestarikan.

Dalam konteks hukum, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi payung hukum yang harus ditegakkan. Pasal 1 UU tersebut menyatakan, "Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan hidup, kelestarian, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain."

Pemimpin yang terbukti terlibat dalam kelalaian terhadap kebijakan pelestarian lingkungan di masa lalu seharusnya bertanggung jawab secara jujur dengan membatalkan pencalonannya. Masyarakat, sebagai pemegang kekuasaan suara, perlu mengevaluasi kredibilitas pemimpin dalam konteks prinsip-prinsip universal pelestarian alam sebagai rumah bersama.

Pertanyaan kritis yang perlu diajukan:

  1. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden merencanakan kebijakan konkret untuk menjaga keutuhan alam ciptaan sebagai rumah bersama, sejalan dengan prinsip-prinsip universal pelestarian lingkungan dan keberlanjutan?

  2. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk mengurangi dampak negatif terhadap alam ciptaan, termasuk melalui kebijakan perlindungan hutan, pengelolaan limbah, dan pengurangan emisi gas rumah kaca?

  3. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden berencana untuk melibatkan masyarakat sipil, organisasi lingkungan, dan ilmuwan dalam proses pembuatan kebijakan lingkungan untuk memastikan representasi yang adil dan kebijakan yang berbasis ilmiah?

  4. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden akan melibatkan sektor swasta dalam upaya pelestarian alam, misalnya melalui insentif bagi perusahaan yang menerapkan praktik berkelanjutan dan ramah lingkungan?

  5. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden merencanakan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosil sebagai langkah menuju keberlanjutan energi?

  6. Apakah calon Presiden dan Wakil Presiden memiliki rencana untuk memitigasi dampak perubahan iklim, termasuk langkah-langkah konkret untuk menghadapi bencana alam yang dapat dipicu oleh perubahan iklim?

  7. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden akan melibatkan Indonesia dalam kerjasama internasional untuk menjaga keutuhan alam ciptaan sebagai rumah bersama, misalnya melalui partisipasi dalam perjanjian iklim global dan perlindungan biodiversitas?

  8. Bagaimana calon Presiden dan Wakil Presiden berencana untuk mempromosikan kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat, terutama di sektor pendidikan dan media, sebagai langkah preventif untuk perlindungan alam?

  9. Apakah calon Presiden dan Wakil Presiden memiliki rencana konkrit untuk mengatasi konflik kepentingan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian alam, dan bagaimana mereka akan menemukan keseimbangan yang tepat?

  10. Sejauh mana calon Presiden dan Wakil Presiden akan memprioritaskan perlindungan ekosistem air, tanah, dan udara sebagai upaya menjaga keberlanjutan alam ciptaan, dan apakah mereka memiliki strategi untuk mencegah pencemaran dan degradasi lingkungan?

Dalam perjalanan merangkai Sapta Perspektif bagi seorang pemimpin yang ideal, kita telah menyaksikan esensi nilai-nilai yang mengakar dalam kebijaksanaan dan tanggung jawab kepemimpinan. Dari ketaatan terhadap Pancasila dan UUD 1945 sebagai fondasi negara, hingga keterbukaan terhadap keberagaman lokal dan global sebagai bentuk hormat kepada kehidupan bersama. Melalui nilai integritas yang kokoh, pemimpin mampu mengemban tugasnya tanpa berniat merugikan pihak lain. Kesadaran untuk mengutamakan kepentingan nasional tanpa ruang bagi nepotisme dan politik dinasti membawa kita ke arah keadilan dan kesetaraan. Dengan keberpihakan kepada mereka yang lemah, tersingkir, dan rekam jejak terpuji, sebuah kepemimpinan yang inklusif dan peduli terwujud. Puncaknya, menjunjung tinggi martabat manusia sebagai citra Allah dan menjaga keutuhan alam sebagai rumah bersama, mendorong kita untuk menerapkan Sapta Perspektif sebagai fondasi utama dalam menciptakan masa depan yang berdaya, berkeadilan, dan berkelanjutan. 

Seiring kita menyelesaikan eksplorasi kita terhadap Sapta Perspektif, biarkan kata-kata Socrates membimbing kita: "The only true wisdom is in knowing you know nothing." Dalam ranah spiritual discernment, kerendahan hati adalah obor yang menerangi jalan menuju pemahaman yang tulus. Semoga perjalanan kepemimpinan kita diberkahi dengan kebijaksanaan untuk membedakan, keberanian untuk bertindak, dan kerendahan hati untuk belajar.

Selamat ber-discerment. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun