Hari ini aku membawa murid-murid Paudku ke Taman Wisata Wendit di Mangliawan Kabupaten Malang. Â Tempat wisata yang masih asri dengan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi. Â
Menurut cerita, Wendit berasal dari kata "wendito" yang berarti pendito/pendeta. Jaman dahulu ada pergeseran Gunung Widodaren yang merupakan salah satu gunung dalam gugusan Pegunungan Bromo. Â
Pergeseran itu membuat masyarakat Suku Tengger mengalami kesulitan mengambil air suci yang berada di mata air Widodaren disebabkan lerengnya menjadi curam.Â
Para Pendito Suku Tengger mendapatkan wahyu bahwa percikan air Widodaren mengarah ke Malang. Karena Malang sangat luas para pendito itu bersemedi lagi di bukit Mangliawan lalu keluarlah mata air yang dinamakan Wendito atau Wendit sampai sekarang.Â
Beberapa orang masih mempercayai bahwa Mata Air wendit sama sucinya  dan berkhasiat magis seperti mata air Widodaren di Bromo dan Mata Air di Pulau Sempu Malang Selatan.Â
Mangliawan sendiri adalah nama tempat perkemahan Anoman dalam cerita Ramayana. Uniknya di Taman Wisata Air Wendit ini juga terdapat beberapa monyet yang mendiaminya.Â
Monyet-monyet ini dipercaya sebagai punggawa Kerajaan Tengger yang menjaga mata air tersebut. Monyet-monyet tersebut adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang sekarang menjadi icon Taman wisata Wendit. Â Jumlah monyet itu sekarang lebih dari 100 ekor.
Begitu kami masuk langsung disambut para monyet itu. Â Monyet itu ada yang bergelayutan di pepohonan, ada yang bercanda dengan sesame monyet, ada yang bengong sambil menggendong bayinya ada juga yang berani mendekati kami dan menggoda muridku. Muridku ada yang histeris takut, ada yang malah gemes mendekat, ada yang diam saja tapi tangannya menggenggam erat ibu gurunya.Â
Kami tetap berjalan turun ke bawah sampai ke tempat pemandian khusus anak-anak. Muridku gembira,  mereka langsung berlarian  bermain air.  Orangtua yang ikut mengantar pun ikut bergembira menemani anaknya bermain air. Â
Melihat semua sudah dalam kendali yang baik, aku memilih survei obyek yang lainnya, supaya ketika anak-anak selesai bermain air, ada pilihan kegiatan lainnya.
Suasana yang asri, pohon-pohon besar yang menjulang tinggi seperti membuatku de ja vu. Aku melihat di depan ada pohon yang sangat besar dibandingkan pohon yang kutemui sebelumnya. Â
Batang pohon itu beralur tidak teratur, percabangannya merunduk, daunnya kaku menyerupai kulit, lonjong, dan daun muda berwarna pink. Aku mendongak ke atas memperhatikan buah pohon itu bulat seperti ginjal. Ah benar ini adalah pohon gayam. Pohon sebesar ini umurnya sudah berapa tahun ya.
Rasa penasaran yang tinggi membuatku berani mendekati pohon besar itu, ternyata di bawah pohon itu mengalir air yang cukup deras. Â Melihat air yang bergolak itu tiba-tiba hatiku ikut bergolak dan sesak. Â Sesosok bayangan laki-laki kecil yang sangat kukenal melompat ke dalam air di bawah pohon itu.
"Tir..... Tirta" aku memanggilnya dengan gemetar dan bayangan itu tetap saja tidak mendengar panggilanku. Â Dia masih asyik berlompatan di dalam air.
"Tirta.....ini aku Nira" aku memanggilnya semakin keras dan mencoba semakin mendekat.Â
Dia menoleh dan tersenyum melambaikan tangannya seakan menyuruhku mendekat. Â Oh senyumnya masih sama seperti dulu. Â Hatiku seperti meluap karena bahagia. Setengah berlari aku mendekatinya.....ketika tanganku hamper menyentuh tangannya, tiba-tiba aku merasa semuanya menjadi gelap.
"Bu, Bu Nira ....sadar Bu"
Aku membuka mata dan terlihat beberapa pasang mata memandangku kuatir. Â Beberapa wali murid dan teman guru bahkan sudah menangis.
"Syukurlah" kata Bu Iis, sahabat dekatku " Bu Nira tadi pingsan dipinggir mata air itu, untungnya ada penjaga yang menolong"
"Ke mana Tirta?" tanyaku lemah
"Siapa Tirta Bu?"
"Anak kecil yang bermain di mata air itu" jelasku
 Bu Iis seperti kebingungan dan matanya menoleh  ke penjaga
"Dari tadi tidak ada yang bermain di mata air itu Bu karena memang dilarang" jelas penjaga
"Tapi tadi saya melihatnya Pak, dia teman saya Pak"
"Percayalah Bu, tidak ada siapa pun di mata air itu"
"Ayolah Bu Nira, kita pulang. Â Itu anak-anak sudah menunggu di atas."kata bu Iis meredakan keinginanku untuk mencari tahu lebih lanjut. Â Lalu dia merengkuh pundakku menuntun menuju ke atas, ke arah pintu keluar.
Aku menengok ke belakang, ke arah pohon Gayam itu dan mencari sesosok bayangan laki-laki kecil. Kosong....
 Ah Tirta kenapa engkau menghilang lagi.  Kemana aku akan mencarimu.  Apakah kepedihan hatimu belum juga pulih selama 15 tahun ini. Kenapa engkau masih anak-anak sedangkan aku sudah dewasa?
Aku semakin bingung.....
"Bu Nira tadi belum sarapan ya" tanya Bu Iis
"Belum" jawabku lemah
"Nah, kekurangan asupan gizi bisa menyebabkan otak berhalusinasi, ayo kita makan dulu di kantin dekat tempat parker, nanti kalo pingsan lagi saya ndak kuat nggendong lho" goda bu Iis dan aku tidak pernah bisa menolak ajakannya.
Teman-teman guru sudah  memesankan  semangkok mie ayam hangat dan segelas es teh untukku.  Akupun memaksa menelan mie ayam itu, karena diawasi 2 temanku.  Jika tidak dimakan pasti mereka akan menceramahiku sampai esok harinya lagi.  Bisa gawat...
"Gimana Bu Nira sudah mendingan"
"Hmmmm" aku menghela nafas panjang sambil mengangguk
"Oke....sekarang Bu Nira wajib menceritakan kepada kita, siapa Tirta yang menyebabkan Bu Nira pingsan?" tanya Bu Iis. Â Â
 Limabelas tahun yang lalu usiaku masih 6 tahun.  Aku tinggal di desa yang terletak di Kabupaten Ngawi.  Desaku itu tanah terdiri dari campuran lempung, batu padas dan kapur.  Desa kami dilewati sungai kecil yang tidak pernah kering airnya.  Tepi sungai itu banyak ditumbuhi berbagai macam pohon-pohon besar, aren,  juga bambu.
Sebagai keturunan petani, sejak kecil aku sudah dikenalkan dengan dunia pertanian. Â Sering sekali kakek dan nenekku mengajak ke sawah dengan berjalan kaki. Â Walaupun jaraknya agak jauh aku selalu menikmati perjalanan itu. Â Banyak hal yang bisa aku lakukan sepanjang perjalanan, memetik bunga , mengejar kupu-kupu dan capung, mengumpulkan watu lintang, mencari jamur barat juga mencari telur burung gemek.
Sebelum sampai sawah kami harus menyeberangi sungai kecil. Â Jika tidak sedang hujan deras, kami menyeberangi sungai kecil itu dengan berjalan kaki dan mengangkat rok tinggi-tinggi. Â Tapi jika airnya sedang tinggi kami memilih jalan memutar melewati jembatan kayu.Â
Pagi itu aku diajak nenek melewati rute yang berbeda dari biasanya. Jalannya lebih curam karena melewati batu cadas. Â Kata nenek rute ini lebih menantang sekaligus menyenangkan. Â
Jalan sebelum melewati sungai lebih terjal tetapi ternyata dasar sungainya tidak terlalu dalam dan agak landai sehingga aku tidak perlu mengangkat rok tinggi-tinggi.
Begitu sampai ke seberang, aku takjub oleh pemandangan yang indah luar biasa. Hamparan tanah berumput yang dinaungi 2 pohon yang sangat besar dan menjulang tinggi. Â
Pohon tersebut seperti pintu gerbang masuk ke lapangan/alun-alun di depan istana. Lalu sayup-sayup aku mendengar suara gemericik air yang bukan berasal dari sungai.  Aku berlari mendekati pohon besar itu  dan ternyata di bawah pohon itu ada mata air yang sangat jernih yang membentuk kolam, orang menyebutnya dengan sendang.
Byur.....tiba-tiba ada benda jatuh dari atas dan airnya terpercik ke tanganku. Â Aku terkejut dan mundur beberapa langkah ke belakang.Â
"Hahahaha.....hahahaha....kaget ya " dari atas ada suara anak laki-laki tergelak. Â Lalu anak itu melompat terjun ke air. Aku semakin kaget karena dia tiba-tiba keluar dari air sambil mengeluarkan buah berwarna hijau bulat gepeng.
"Ini buatmu" katanya sambil mengulurkan buah itu kepadaku
"Apa itu"tanyaku bingung
"Ini buah gayam, rasanya enak" katanya sambil nyengir dan berbalik nyemplung lagi ke kolam mata air itu.
Aku memegangi buah itu dengan ragu
"Ini namanya buah gayam nduk dari pohon yang besar menjulang itu. Â Di dalamnya ada daging buah yang berwarna putih dan sangat enak jika dibakar atau dikukus dulu. Â Rasanya seperti kacang. Â Nanti kita bakar di sawah ya.
Lalu nenek menggandengku berjalan menuju ke sawah dan anak laki-laki itu melambaikan tangannya kepadaku dengan senyum cerianya.
Sepulang dari sawah, matahari sudah berada di atas kepala. Rasanya panas sekali dan haus. Aku meminta kepada nenek melewati rute yang tadi. Aku berlari mendahului nenek karena ingin segera sampai ke pohon gayam itu. Â Aku ingin segera beristirahat di bawah pohon itu.
Ternyata anak laki-laki itu masih ada di bawah pohon gayam itu. Â Dia masih berada di dalam air. Â Begitu melihat kedatanganku dia langsung keluar dari air dan berlari menuju ke arahku.
"Kamu masih mau buah gayam, itu aku petikkan10 biji lagi"
"Emmmm, aku tidak kuat membawa sebanyak itu" jawabku
"Biar dibawakan sama mbah putrimu saja.... kamu haus ya, itu minum air sendang. Â Aku biasa minum airnya ndak papa khok" sepertinya dia tahu apa yang sedang kupikirkan
Dia menggandengku dan mengambilkan air dengan daun gayam yang dibuat seperti corong. Â Aku segera meminumnya karena memang kehausan. Â Ah alangkah segarnya tenggorokanku.
"Siapa namamu?" tanyaku
"Tirta" jawabnya cepat " kalo kamu"
"Nira" jawabku "Rumahmu di mana?" tanyaku lagi
"Di barat situ" katanya sambil menunjuk kearah barat, aku tidak melihat ada rumah, mungkin tidak terlihat karena tertutup rumpun bambu. Â "Setiap hari aku main di sini, aku menganggap pohon gayam dan sendang ini rumahku yang sebenarnya. Â Di sini aku ketemu orang yang lewat dan orang yang mengambil air, sedangkan di rumah aku sering sendirian" wajahnya terlihat agak sedih.
"Trus kalo kamu lapar gimana?" tanyaku keheranan
"Aku makan buah gayam dong....ehmmmm enaaaakkk?" aku ikut mengangguk membenarkan, karena memang buahnya rasanya gurih seperti kacang mede.
Setelah itu nenek sampai ketempatku berdiri. Â Nenek juga beristirahat sebentar untuk mencuci muka di sendang itu. Â Nenek setuju membawa buah gayam yang diambilkan Tirta.
Selanjutnya setiap aku diajak nenek ke sawah, aku selalu memilih  melewati pohon Gayam itu.  Nenek tahu kalo aku dan Tirta sudah berteman. Kadang nenek sengaja menunggu aku yang sedang asyik bermain bersama Tirta.  Nenek juga memperbolehkan aku mandi di sendang itu sepulang dari sawah.
Kadang kami bermain petak umpet, membuat kipas dari daun gayam, membuat perahu-perahuan, kadang Tirta mengajariku memanjat pohon, kadang cuma duduk-duduk bercerita tentang peri penunggu mata air yang katanya cantik dan baik hati. Â Anak gadis mana yang tidak suka diceritakan tentang peri. Â Tirta semakin antusias bercerita kalo aku banyak bertanya, walaupun kadang kalau dia bingung hanya menjawab dengan tertawa ngakak saja.
Sampai suatu ketika musim kemarau panjang terjadi. Â Warga desa mulai kesulitan air. Â Sumur warga banyak yang kering. Â Tapi sumber mata air di bawah pohon gayam itu tetap mengalir deras. Â
Berdasarkan musyawarah dengan pemerintah desa ditetapkan air dari sendang itu akan disalurkan ke warga desa dengan pipa. Â Rencananya keliling sendang itu akan dipondasi sehingga airnya akan naik sehingga airnya bias disalurkan ke rumah warga. Â Sayangnya pohon gayam itu dianggap sebagai penghalang pembuatan pondasi tendon air sehingga pohon itu harus ditebang.
Pada waktu itu aku dan Tirta yang sedang bermain di bawah pohon gayam  sedang bermain memanjat pohon.  Kami terkejut melihat beberapa lelaki dewasa membawa gergagi panjang, kampak dan parang.  Tirta segera berlari menemui orang-orang itu.
"Lik, mau kemana?" Â Tanya Tirta, orang itu belum menjawab "Lik buat apa gerjaji itu" Tanya tirta lagi
"Mau dipakai menebang pohon gayam itu Le" jawab orang yang paling besar badannya
"Pohon gayam yang mana Lik"
"Ya 2 pohon gayam yang besar itu, jadi kamu jangan main disini dulu ya" jawab orang yang badannya lebih kecil dan berkumis
"Tapi Lik, pohon gayam itu khan rumahku Lik, jadi jangan ditebang Lik. Â Kalo di tebang aku tinggal di mana?" Tirta yang biasanya selalu ceria tiba-tiba wajahnya tampak gusar.
"Kamu khan punya rumah sendiri to Le" jawab orang yang memakai baju safari.
"Tidak...ini rumahku, jangan ditebang pohon ini" Tirta berteriak dan berusaha menghalang-halangi dengan tangan kecilnya.
"Le, ojo ngeyel yo" salah satu orang tersebut mulai tidak sabar dengan tingkah Tirta. Â Segera Tirta didekap dan orang-orang mulai menggergaji pohon gayam itu
Tirta semakin histeris, sekarang kemarahannya bertambah dengan air matanya bercucuran. Â Aku ikut menangis. Â Lalu nenekku datang tergopoh-gopoh dan memelukku.Â
"Tidak......jangan ditebang pohonnya....nanti Peri Penunngu Sendang marah dan pergi" teriak Tirta mulai putus asa ".Lik jangan lik, Niraaaaa......ayo bantu aku, kita jaga pohon ini Nira" Tirta menoleh kepada dengan pandangan memohon. Â Aku semakin takut bersembunyi dibelakang nenekku.
Gergaji itu semakin dalam memotong pohon itu dan suara Tirtapun semakin habis hanya tinggal tangisannya saja. Â Lalu pohon pertama roboh dan Tirtapun pingsan.Â
Lalu nenek menggendongku pulang ke rumah, tidak jadi pergi ke sawah.
Seminggu kemudian nenek mengajakku ke sawah dan menawariku lewat jalan lain, tapi aku menolaknya.  Aku memilih melewati sendang itu.  Aku ingin bertemu dengan Tirta.  Namun begitu sampai ke tempat itu ternyata suasananya sudah berubah, tempat yang  biasanya teduh menjadi terang benderang karena dua pohon gayam yang menaungi sudah ditebang.Â
Orang-orang sudah mulai membuat pondasi di sekeliling sendang. Â Pondasi itu berbentuk piramida terpotong.
Aku memanggil-manggil Tirta, namun tidak ada jawaban
"Lik, apa lihat Tirta " tanyaku kepada Pak Tukang
"Ndak Nak, sudah seminngu ini Tirta tidak terlihat main kemari"
Esoknya aku minta lewat jalan yang sama, sambil tetap berharap bisa bertemu Tirta, ternyata sampai aku masuk sekolah SD aku tidak pernah bertemu lagi dengan Tirta. Â Tirta seperti hilang ditelan Bumi.
Setelah pondasi itu selesai, harapan warga desa air  ternyata meleset. Mata air itu sekarang mengeringdan mati. Beberapa orang saling menyalahkan karena  pohon gayam tempat bernaungnya sendang itu ditebang. Â
Mereka mulai menyebut nama Tirta sang penunggu pohon gayam yang ikut menghilang. Program desa untuk pengadaan sumber air bersih gagal. Â Bangunan berbentuk piramida terpotong itu tinggal menjadi bangunan tanpa fungsi. Air yang dulu mengalir deras sekarang tidak setetespun keluar. Â Tempat itu seperti kehilangan kewibawaan
"Orang-orang kehilangan tempat berteduh, tempat bermain dan sumber air, Â sementara aku kehilangan seorang sahabat" Â aku mengakhiri cerita.
Tiga  Bulan Kemudian
Hari ini lembaga kami mendapat undangan untuk menjadi peserta seminar dengan tema "Pemuda yang Menginspirasi".  Karena yang punya  waktu leluasa aku, maka diutuslah aku untuk berangkat. Sebenarnya aku malas datang  ke acara seminar itu karena mengikuti berbagai seminar kadang isinya hanya begitu-begitu saja. Â
Ketika seminar saja rasanya semangat untuk melakukan perubahan tapi begitu selesai dan disibukkan aktifitas di sekolah rasanya lupa semua dengan hasil seminar. Â Tetapi karena ini undangan gratis dengan peserta terbatas dan tempatnya di hotel rasanya sayang untuk dilewatkan, anggap saja perbaikan gizi.
Begitu sampai tempat seminar ternyata sudah dimulai. Â Aku berlarian dan mencari tempat duduk. Â Ternyata tempat duduk yang tersedia tinggal yang didepan...duhhh gimana nih.Â
"Mbak yang baru datang silahkan duduk di kursi paling depan" kata moderator "Kalo di luar negeri orang berebut duduk paling depan, kalo di Indonesia orang berebut duduk paling belakang, jadi bagaimana bangsa Indonesia akan memimpin  dunia kalo generasi mudanya seperti ini? " lanjutnya
"Duh belum apa-apa sudah disindir".
Akhirnya aku mendapat tempat duduk di depan, persis di depan salah satu dari 4 pembicara.  Moderator memperkenalkan keempat pembicara yang pertama adalah pemuda yang menginspirasi dalam bidang pendidikan, lingkungan hidup, wirauasaha dan  sosial.
Pembicara yang pertama adalah seorang perempuan muda yang mengajar anak-anak suku pedalaman. Â Dia menceritakan tentang perjuangan dan dedikasinya kepada peserta didiknya. Mengajar tanpa fasilitas memadai dan gaji, serta halangan lainnya tapi semua itu tidak menyurutkan langkahnya untuk mengabdi.Â
Pembicara kedua adalah seorang laki-laki muda yang penuh percaya diri yang duduknya persis di depanku. Â Pemuda ini mendapat penghargaan Kalpataru dari pemerintah karena usahanya menanami hutan yang gundul di daerah Kediri.
"Adakah yang tahu ini buah apa? Nanti saya beri hadiah"tanyanya sambil menunjukkan buah berwarna hijau bulat seperti ginjal.
"Gayam" tanpa berfikir aku langsung berdiri dan menjawab
"Betul sekali, ayo kasih tepuk tangan buat mbak yang satu ini" seluruh ruangan bergemuruh dengan tepuk tangan "Oh ya siapa namanya Mbak?, trus bisa diceritakan darimana Mbak tahu buah gayam ini"
"Nama saya Nira, saya tahu buah gayam ini dari sahabat kecil saya yang namanya Tirta"
Pembicara itu tiba-tiba mukanya memerah
"Nira, Nira yang dulu kecil itu.... yang suka minum air dari sendang? " tanyanya seperti berbisik. Â Aku mengangguk dan heran. Â Pembicara itu tersenyum simpul
"Luar biasa.... benar-benar luar biasa, saya menanami hutan-hutan gundul yang kering dengan pohon gayam ini, akhirnya daerah yang kering itu sekarang menjadi seperti surga yang dipenuhi dengan mata air. Â Pohon gayam selain mampu menarik air , buahnya juga punya nilai ekonomis yang tinggi bagi warga" dia melanjutkan bicaranya "Luar biasanya pohon gayam ini mengantarkan saya mendapat penghargaan Kalpataru, dan yang tidak terduga sama sekali akhirnya saya menemukan sahabat saya masa kecil dulu yaitu Nira"
Semua orang di ruangan ini langsung menatap ke arahku, aduh rasanya seperti  mau pingsan..........malu dan gembira bercampur aduk.
"Dahulu semasa kecil saya dipanggil dengan Tirta karena dari kecil saya  suka dengan air dan setiap hari main air, betulkan Nira" katanya sambil menatapku, akupun seperti dihipnotis ikut mengangguk.
Tirta berdiri dengan gagahnya dan melanjutkan pembicaraanya" Disadari atau tidak, Â air adalah kebutuhan paling utama bagi manusia, tanpa air maka tidak ada kehidupan. Begitu juga kebutuhan akan oksigen. Â
Sebagai generasi muda yang berpendidikan kita harus turut melestarikan air dan oksigen, bukan sekedar sebagai pengikut tapi harus bisa menjadi inovator dan penggerak bagi kelangsungan hidup manusia. Â Salah satunya dengan menanam pohon. Â Sudahkah hari ini anda menanam pohon? Jika belum mulailah esok hari ketika mata anda terbangun dari tidur. Â Apakah anda siap!!!"
Seluruh ruangan seperti terbakar, semua orang berdiri dan berkata siap.
Aku ikut berdiri tanpa mampu berbicara, rasa bangga dan haru menyelimuti. Â "Kamu selalu saja menjadi orang hebat Tirta "
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H