Mohon tunggu...
Pijar88 Hd
Pijar88 Hd Mohon Tunggu... lainnya -

tinggal di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Nyata Gadis Dua Jiwa

4 Oktober 2014   20:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:23 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Rani namaku. Sebuah nama yang indah pemberian kedua orang tuaku. Tapi orang-orang di sekitar lebih mengenalku sebagai Rano. Nama laki-laki yang kadang membuatku jengkel. Tapi apa mau dikata, nama itu kini melekat padaku seolah Rano adalah namaku yang sebenarnya. Aku tak bisa berbuat banyak untuk mencegah orang-orang memanggilku demikian.

Mungkin karena tingkah dan tindak-tandukku yang tomboy, membuat nama itu semakin dilekatkan orang kepadaku. Siapa yang belum mengenalku pasti akan menyangka kalau aku ini seorang laki-laki. Kata orang, wajahku ngganteng. Tapi sebutan ngganteng itu lebih cocok bila aku sedang tak sadarkan diri. Dengan kegantenganku, aku serasa bukan lagi perempuan meskipun sejujurnya aku adalah perempuan normal. Masalah uang, dengan mudah dapat kuperoleh. Banyak orang yang dengan sukarela memberikan berlembar-lembar uang merah kepadaku. Kenapa bisa begitu? Mereka berterimakasih karena merasa tertolong olehku meskipun pada awalnya aku tak tahu akan apa yang sebenarnya terjadi.

Seperti yang kuterima sore tadi, uang dalam jumlah cukup besar pemberian Pak Markus.

Stop! Jangan engkau menuduh aku seorang perayu. Tidak. Jangan salah sangka. Uang itu diberikan Pak Markus karena dia merasa terbantu olehku. Aku sendiri tak tahu apa yang telah kukerjakan kepadanya. Hanya sebentar saja kami berbicara, kemudian aku merasa melayang dan tertidur lalu terbangun di belantara kelam yang sepi dan susah dijangkau oleh manusia.

“Ini dik, sekedar tanda terimakasih saya,” ucap pak Markus ketika menyodorkan lembar-lembar uang itu tadi.

Seperti biasa, aku tak kuasa menolak pemberian laki-laki setengah baya itu. Mungkin memang benar seperti ucapannya, bahwa dia merasa terbantu dengan keanehanku.

Keanehan?

Iya. Setidaknya itulah yang kurasakan. Keanehan yang kini semakin bertubi-tubi dan membuatku jadi bahan pembicaraan sebagian orang.

Dengan kondisiku sebagai pendatang di kota ini, memiliki orang-orang yang begitu menyayangi adalah sebuah anugrah terindah bagiku. Termasuk mbak Andri yang dulu menyayangiku. Mbak Andrilah orang yang pertama kali kukenal sebelum langkahku sampai di kota ini. Tapi semenjak orang-orang menganggapku penting di sini, sikap mbak Andri malah berubah. Ada saja yang membuatnya marah dan memancing keributan denganku. Puncaknya, kami berpisah setelah sekian lama tinggal serumah. Tiga tahun sudah kami tinggal bersama di kota Bogor. Dan kini, telah hampir sebulan aku mengontrak rumah bersama Mbak Wati.

Sore merangkak senja. Kulangkahkan kakiku keluar dari Minimarket. Lega sudah, susu formula khusus untuk keponakanku sudah kubeli. Susu untuk bayi mbak Wati memang tak bisa dipilih sembarangan karena salah-salah dengan susu merk lain, keponakanku enggan meminumnya. Wati adalah teman baik yang kuanggap sebagai kakakku sendiri, dan kami memang telah sepakat untuk saling mengangkat saudara. Wati hadir pada saat yang tepat. Sosoknya seolah menggantikan Mbak Andri yang telah nyata-nyata memusuhiku.

Langkah kakiku terasa ringan menyusuri jalanan kota yang sepi. Wajah mbak Andri tiba-tiba melintas dalam benakku. Wajah yang minggu-minggu terakhir kemarin tampak nyinyir dan tidak senang padaku.

“Kamu orang aneh, aku sudah tak nyaman lagi tinggal serumah denganmu.”

Kata-kata itu terdengar sangat menyakitkan bagiku. Mbak Andri yang membawaku ke sini, mbak andri pulalah yang kini memusuhiku. Mbak Andri yang kini jauh berbeda dari mbak Andri yang kukenal beberapa tahun lalu;

Ketika itu aku baru saja istirahat setelah seharian ngamen bersama temanku, di sebuah kota kecil di Bandung. Aku sengaja berteduh di emperan sebuah toko. Temanku ada urusan lain hingga ditinggalkannya aku sendiri di depan toko yang sedang sepi pengunjung itu. Tak jauh dariku, beberapa orang pejalan kaki tampak sedang berteduh juga.

“Suaramu bagus dik,” kata seseorang di belakangku. Perempuan dengan mantel hujan. Aku tak begitu memperhatikannya, kulempar senyum sekilas kepadanya. Sudah banyak yang mengatakan kalau suaraku bagus hingga aku tak begitu peduli akan pujian yang seperti itu.

Orang itu mendekatkan dirinya kepadaku. Dia lalu membuka kerudung mantel hujannya. Tampaklah rambutnya yang hitam dengan potongan pendek. Wajahnya tampak putih. Bibirnya menyunggingkan senyum manis. Kukira usianya jauh di atasku.

“Hujan tak henti-henti,” gumamku.

“Wajahmu cantik dan kulitmu bersih. Kenapa kamu ngamen dik?” perempuan itu kembali berbicara.

Aku menjawab sekenanya. Seperti ada kecocokan diantara kami hingga tak terasa kami terlibat obrolan panjang. Perempuan itu mengenalkan dirinya, dia baru saja melakukan Wawancara untuk pekerjaan baru. Pembicaraan kami selesai ketika hujan berhenti mengguyur. Langit kembali cerah dan kamipun berpisah.

Dua hari setelah pertemuan itu, kami kembali bertemu. Mbak Andri mengajakku makan di sebuah warung padang. Aku bisa merasakan baiknya sifat mbak Andri dari cara bicaranya yang lembut tetapi tegas.

“Kalau mau, ikut saja denganku ke kota Bogor. Nanti kamu bisa cari kerja di sana,” mbak Andri menawariku”

“Aku hanya lulusan SMA mbak, lagi pula aku tak punya keahlian lain.”

“Tak mengapa. Kemampuan orang tak harus diukur dari sekolahnya,”

Entah mengapa aku tak ragu menyambut niat baiknya. Mbak Andri berjanji mencarikanku pekerjaan yang lebih cocok untukku asal tinggal bersamanya di Bogor.

Aku senang sekali, bersyukur dipertemukan dengan orang baik seperti mbak Andri, hingga tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Dua bulan sudah kami tinggal serumah di Kota hujan itu.

Mbak Andri seorang penyiar radio. Aku begitu kagum padanya. Seringkali aku diajak ke tempat siarannya. Aku jadi suka mengamati dia siaran, kemudian saat di rumah aku iseng menirukan cara dia membawakan acara.

Aku pun mulai tertarik dengan dunia radio, apalagi kemudian mbak Andri mendukungku. hingga suatu hari aku diterima kerja di perusahaan tempat mbak Andri bekerja, sebagai penyiar seperti dia. Kulihat mbak Andri begitu senang dengan kemajuanku. Akupun merasa sangat beruntung, menjadi penyiar radio yang bebas mengembara dengan suaraku. Suaraku yang khas dan kata orang terdengar merdu, membuat aku cepat dikenal dan memiliki orang-orang yang setia mengagumiku saat siaran. Banyak yang fanatik dan menungguku siaran. Dari sinilah benih perselisihan itu. Aku mulai dihujani dengan beban pekerjaan rumah tangga yang seolah tak ada hentinya, seperti memasak dan mencuci. Jika biasanya kami bahu-membahu melakukan perkerjaan rumah, praktis kini semua perkerjaan rumah itu menjadi tugasku saja. Tapi aku tetap mensyukurinya, sudah lebih baik aku tinggal bersama mbak Andri meskipun semakin lama kurasakan sikap mbak Andri semakin tak bersahabat.

Hingga pada suatu ketika, sebuah peristiwa aneh membawaku jadi orang yang sering dicari. Kini bukan sekedar dari suara merduku, tapi oleh sebab lain yang aku sendiri tak mengetahui sebelumnya. Hal itu berawal saat aku selesai siaran sore, dan giliran mbak Andri yang siaran malam. Mas Irfan, salah satu karyawan di perusahaan tempat kami bekerja mengajakku pergi untuk menengok keponakannya yang sakit tifus.

“Panasnya tinggi, sudah hampir seminggu kondisinya tidak stabil.” Kata mas Irfan ketika kutanyakan tentang sakit keponakannya.

Tak sampai satu jam kami sampai di sebuah rumah sakit yang cukup besar. Kedatangan kami disambut oleh keluarga Mas Irfan, tiga orang yang tampak cemas di ruangan bercat putih.

“Syukurlah kamu segera datang dik, keponakanmu sering mengigau, hampir seminggu panasnya tidak stabil.” Ucap laki-laki yang hampir sebaya dengan mas Irfan.

Mas Irfan mendengarkan kata-kata kakaknya. Wajahnya juga terlihat cemas.

“Setengah jam lalu dokter telah memberinya injeksi, tapi sekarang panas anakku tinggi lagi. Aku takut Raya Step.”

“Tenang mas, berdoa saja mudah-mudahan obat dari dokter dapat membantu Raya.” sahut mas Irfan.

Kami duduk di dekat pembaringan Raya, sementara istri mas Banu sibuk mengompres kepala Raya yang seolah membara.

Entah mengapa udara dingin di ruangan itu begitu melenakan diriku hingga aku terkantuk-kantuk di tempat dudukku. Aku merasakan tubuhku terasa begitu segar ketika seseorang berdiri di depanku dengan membawa segelas air putih. Perempuan itu istri mas Banu.

“Ini airnya dik,” kata-katanya meluncur begitu saja sambil menatapku.

Aku hanya memperhatikan mimik mukanya, tak mengerti. Perempuan itu tampak panik. Aku mengira dia memberikan air segelas itu untukku. Aku tak mengerti maksud kata-kata istri mas Banu, tapi seperti terdorong oleh gerakan refleks, kuterima saja gelas itu dan kemudian seolah ada yang menuntunku untuk menghampiri si sakit. Sekejap aku merasa begitu dekat dengan si sakit. Gelas di tanganku tampak bergolak hingga aku merasa gemetar memegangnya. Aku kembali diserang kantuk yang tiba-tiba. Seperti mimpi, kupercikkan sebagian air putih itu ke kapala Raya yang terbaring lemah. beberapa saat pandangan mataku mengabur, Sekejap kemudian aku kembali tersadar.

Kudapati diriku terduduk di kursi panjang, sementara kulihat Mas Irfan dan kedua saudaranya tampak mengangguk-anggukan kepala. Mereka sedang ngobrol dengan Raya. Gadis kecil yang tadi seolah membara sekujur tubuhnya itu kini duduk di tempat tidurnya.

“Terimakasih dik Rani, aku tak menyangka kamu bisa mengobati anakku…”

Kata-kata itu meluncur dari mulut mas Banu, sementara mas Irfan menatapku dengan terkesima. Aku Lagi-lagi tak mengerti dengan apa yang sesungguhnya terjadi.

Di sepanjang perjalanan pulang, mas Irfan tak henti-hentinya memujiku. Sedangkan aku hanya mengangguk saja. Mengangguk yang sesungguhnya bukan kemauanku. Seolah ada sesuatu dari dalam tubuhku yang membuatku mengikuti saja gerakan tangan dan seluruh persendian tubuhku. Akhirnya kuiyakan saja persangkaan mereka bahwa akulah yang mengobati keponakan mas Irfan. Tapi sejujurnya, aku tak tahu apa-apa. Aku tak tahu apa yang telah terjadi denganku karena peristiwa itu terjadi begitu saja. Terlebih ketika esok paginya Raya berkeras melepas infus dan meminta pulang. Dokter yang kemudian memeriksa Rayapun mengijinkan Raya pulang pada sore harinya, karena berdasarkan pemeriksaan terbaru, Raya dinyatakan sembuh. Hemoglobinnya sudah normal dan suhu tubuhnya juga sudah stabil. Raya sama sekali tak menampakan tanda-tanda orang yang habis sakit.

Semenjak itulah cerita tentangku mulai menyebar dari mulut ke mulut, dan sedikit demi sedikit aku belajar memahami apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Dan semenjak itu pulalah sikap mbak Andri semakin berbeda, semakin menampakkan rasa tak senangnya kepadaku.

Hari sudah senja, langkah kakiku terasa berat saat melewati kelokan jalan yang selalu membuat perutku mual, lebih kepada bau anyir yang selalu membayang dalam hidungku. Anyir seperti bau mayat. Kelokan itu memang bercabang, salah satunya mengarah dan semakin dekat ke pemakaman besar di kota ini. Tapi entah kenapa bau-bauan aneh itu selalu saja menyerangku beberapa hari ini, membuatku merasa dibuntuti oleh sesuatu. Sepanjang yang kutahu, di mana-mana komplek pemakaman memang terasa seram, tapi tak seperti ini seharusnya. Memang, ada orang yang meninggal dan belum 40 hari, bahkan belum seminggu. Tepatnya baru lima hari lalu. Tapi apakah jenasahnya dikuburkan tak terlalu dalam hingga bau mayat tercium sampai sejauh ini?

Aku menahan nafasku agar bau-bauan itu tak lagi mengganggu.

Suara azan magrib terdengar meliuk-liuk dari masjid besar, kupercepat langkah kakiku agar segera sampai ke rumah kontrakan baruku. Sebuah rumah petak sederhana yang kutempati bersama mbak Wati kakak angkatku.

Rintik gerimis meninggalkan hawa dingin yang basah di jalanan depanku. Aku harus buru-buru untuk segera ketemu dengan Wati, kakak angkatku. Aku ingin segera memberikan sekotak susu formula untuk bayinya. Kasihan, susunya tinggal tiga kali minum saja saat pagi tadi aku berangkat kerja.

Langkah kakiku telah sampai di jalanan ujung areal pemakaman. Beberapa saat kemudian tampak bangunan-bangunan kecil rumah petak, bangunan berderet-deret yang sengaja dikontrakkan oleh yang empunya rumah. Kulihat salah satu rumah petak itu tampak mengerikan dengan sebuah garis kuning polisi yang melilitnya di sekelilingnya. Rumah itu seolah melambaikan tangan dan menyeringai kepadaku.

Kembali kupercepat langkahku. Aku menarik nafas lega. Setidaknya telah kulewati satu tempat yang membuatku selalu menggidikkan bulu tengkuk.

“Ranii…,” “Rani…” Suara laki-laki terdengar serak dan berat.

Aku menoleh ke belakang, tak ada siapa-siapa. Tapi di kejauhan tampak tiga orang yang berjalan menuju ke sebuah gang. Sementara beberapa mobil menderum di jalanan besar. Suara itu…  Suara itu begitu jelas memanggil namaku. Mustahil jika itu suara orang yang berada jauh di belakangku sedangkan desisnya menghantam telinga seolah beberapa meter saja dari langkah kakiku.

Tak kupedulikan suara itu, toh begitu aku menoleh suara itu tak lagi terdengar. Aku berhenti sejenak karena sebuah mobil lewat menyalip langkahku.

Gerimis berhenti tapi di langit tampak awan yang bergumpal-gumpal. Bau tanah basah menyergap hidungku berbaur dengan bau kamboja yang terbawa angin.

Kulanjutkan kembali langkah kakiku. Tak sabar rasanya ingin secepatnya sampai ke kontrakan tapi langkah kakiku terasa berat.

“Ranniii…”

Kembali suara itu menggema di telingaku. Kutinggalkan saja sambil kubaca doa-doa pendek untuk mengusir rasa takutku. Aku harus segera sampai ke rumah untuk sholat dan mendoakan seseorang. Selain itu, kakak angkatku pasti cemas menunggu.

***

Benar saja. Sampai di rumah kulihat mbak Wati sibuk menenangkan bayinya yang meronta meminta susu. Kasihan bayi itu, semenjak lahir belum sempat melihat bagaimana rupa ayahnya. Segera kuberikan susu formula kepada mbak Wati. Perempuan cantik itu kini masih menganggur dan aku merasa bertanggungjawab atas kehidupannya. Benar-benar aku merasa harus bertanggungjawab atas dirinya. Kenapa aku harus bertanggungjawab? Kau akan mengetahuinya nanti.

Wati menerima susu itu tanpa ekspresi. Segera dibuatnya susu untuk anaknya sementara aku bergegas mengambil air wudlu kemudian sholat di kamarku.

Kupasrahkan diriku atas apa-apa yang telah dan akan terjadi, kulepaskan semua beban di atas sajadah. Hening.

Selesai sholat magrib, Wati telah menungguku di depan kamar dengan wajah pucat sementara bayinya tampak tenang di atas gendongannya. Mulut mungil bayi itu tampak lahap menyedot-nyedot puting dotnya.

“Ran…!” Seru Wati.

“Ada apa?”

“Itu, ayuk… ikut aku.” Wati tampak begitu cemas.

Di luar petir menyambar-nyambar, hujan turun dengan derasnya

Kami melangkahkan kaki ke kamar mandi.

“Sumpah Ran, kran air itu…”

Aku melangkah dan memutar tangkai kran, sekejap kemudian tampak cairan mengalir dari lubang kran tapi tak seperti biasanya. Warnanya merah gelap menyerupai darah kental.

Aku terpaku sementara Wati tampak berdiri gemetar sambil memegangi lenganku.

“Darah..?” Ucapku

“Iya, itu sepertinya darah!”

Aku mendekatkan ujung hidungku berusaha membaui cairan yang terus mengalir dari lubang kran. Tidak berbau apa-apa.

“Mungkin ada pewarna yang sengaja ditaburkan ke penampungan air di atas??” ucapku berharap.

“Siapa?” bisik Wati ketakutan.

“Besok pagi coba kita lihat.”

Kuberanikan diri menutup kran itu. Mataku tertumbuk ke air di lantai yang tadi tampak menggenang berwarna merah. Kini cairan merah itu tak lagi berbekas. Lantai kamar mandi benar-benar tampak bersih seolah tak pernah ada cairan berwarna merah yang mengguyur di atasnya.

Wati membuka kran itu dan air kembali mengalir dari mulut kran, warnanya bening!

Kami saling berpandangan.

Suara gemericik air yang jatuh memecah ketegangan kami.

“Tadi kita hanya salah lihat Ran, mungkin fikiran kita sendiri yang mengkondisikan sesuatu dan akhirnya terlihat di depan kita” Aku mencoba menghibur Wati.

Wati terlihat lebih tenang.

Hujan di luar semakin deras. Suara titik-titik hujan terdengar keras menimpa atap asbes.

***

Hari beranjak malam, Hujan baru saja berhenti. Wati dan bayinya telah tertidur pulas. Aku sudah berbaring lama di ranjang tetapi mataku tak juga dapat kupicingkan. Radio kecil sudah kumatikan tetapi suara angin yang menderu malah mengganggu pendengaranku. Kubuka jendela kamar untuk melihat suasana di jalanan luar, Gerimis masih menyisakan titik-titik di bias lampu jalan yang remang. Kulihat beberapa pedagang mendorong gerobak. Langkah-langkah mereka tampak terburu-buru. Aku keluar rumah untuk memesan makanan kepada salah satu pedagang itu.

Hujan telah benar-benar berhenti.

“Bang, abaaang….!” Teriakku kepada para pedagang itu, “Nasi goreeeng…!!”

Tak satupun para pedagang itu yang menghentikan langkahnya, mereka tetap terburu-buru mendorong gerobaknya. Kesal, aku kembali masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu kamarku rapat-rapat. Pupus sudah keinginanku untuk makan nasi goreng malam-malam begini. Tak biasanya para pedagang itu bersikap sombong seperti tadi. Ataukah mereka tak mendengar suaraku?

Aku hanya bisa merutuk dalam hati.

Kembali kuhempaskan tubuhku ke atas kasur, berusaha memejamkan kedua mataku tetapi di luar terdengar suara keresek-keresek panjang seperti plastik besar yang diseret seseorang.

Aku berusaha menajamkan pendengaranku.

“Srrreeeekkkhh”

Suara keresek seperti plastik yang diseret semakin tampak jelas di telingaku. Suara kemeresek itu terdengar mendekat ke arah pintu depan kontrakan kami. Malam semakin pekat dalam keheningan. Senyap selain suara plastik yang terseret panjang. Di kejauhan terdengar lolong anjing yang terasa menyayat telingaku.

Aku mendekat ke arah pintu depan, dan menunggu suara keresek itu kembali terdengar. Seperti dugaanku, suara itu kembali terdengar. Kutarik gerendel hingga pintu terbuka lebar.

“Raniii…” “Rannniii”

Terdengar suara panjang dan memilukan seolah menahan beban duka dan tangis. Suara itu jelas memanggil-manggil namaku.

“Siapa itu?” aku berusaha mencari-cari suara itu, tak ada siapa-siapa. Tetapi saat kepalaku menoleh ke kiri di dekat gerumbul pohon pisang, tampak bayangan putih yang berdiri kaku.

“Jangan takut, akuuuhhh  akuhh Ratno…”

Suara itu begitu serak dan terdengar nafasnya yang tersengal-sengal. Aku tercekat oleh pemandangan nyata di depan mataku, bayangan putih tinggi besar dengan kedua mata yang berbalut kapas. Kedua pipinya teramat pucat seolah dilapis bedak tebal. Di antara kulit dan kain putih yang bertali di kedua ujungnya tampak selembar plastik bening membungkus kulit.

Aku tak kuasa untuk memalingkan wajahku. Kedua mataku seolah terpatri oleh perwujudan mayat berbungkus kain kafan itu. Mayat berbungkus yang terlapis plastik di dalamnya. Pocong!

“Kamu mas…?” Ucapku lirih.

“Ya, aku Ratno sahabatmu. Tolong aku Rann, cuma kamu yang bisa mendengar keluh kesahku,”

“Ap, apa yang bisa kulakukan?”

“Tolong aku…  Aku tersiksa. Panaaass….”

Kucoba memejamkan kedua mataku tapi tak bisa. Bau harum bunga setaman bercampur bau busuk tiba-tiba mengaduk-aduk isi perutku. KIni aku bisa menggerakkan kembali persendianku yang sejurus lamanya terasa terkunci. Seketika aku memuntahkan cairan dari mulutku. Aku muntah begitu banyak.

“Bukakan plastik dari tubuhku, bukakan plastik dari tubuhku…”

“Hah.., bagaimana caranya?”

“Kamu bisa Rani, kamu bisa melakukannya…”

Sekejab setelah mengucapkan kata-kata itu, sosok putih itupun menghilang. Sosok menyeramkan yang membuatku teringat kepada seseorang.

Hidungku mendengus-dengus oleh bau wangi bercampur busuk yang tertinggal di tempatku berdiri. Kembali aku muntah-muntah, begitu banyak.

Tergesa-gesa aku masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. Jendela kamarpun langsung kututup. Aku tak ingin hidungku kembali membaui percampuran bau yang membuat perutku terasa mual.

***

Aku tak bisa tidur. Wajah mas Ranto yang begitu mengerikan masih membayang di pelupuk mataku. Kubuka smartphone ku, langsung brows ke galeri.

Klik.

Sebuah wajah tampan. Seorang laki-laki gagah. Wajah mas Ratno, Direktur PT Tugu Muda yang baru lima hari lalu mati bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri.

“Ya Allah, lapangkan jalan mas Ratno…” doaku.

Fikiranku membayangkan wajah tampan itu. Dulu, laki-laki perlente itu datang kepadaku dengan setumpuk masalah yang membuatnya depresi. Tiga bulan lalu hampir selalu dia curahkan segala kepedihan dan luka hati karena tak tahan akan beban derita karena kekasihnya.


BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun