Kembali kuhempaskan tubuhku ke atas kasur, berusaha memejamkan kedua mataku tetapi di luar terdengar suara keresek-keresek panjang seperti plastik besar yang diseret seseorang.
Aku berusaha menajamkan pendengaranku.
“Srrreeeekkkhh”
Suara keresek seperti plastik yang diseret semakin tampak jelas di telingaku. Suara kemeresek itu terdengar mendekat ke arah pintu depan kontrakan kami. Malam semakin pekat dalam keheningan. Senyap selain suara plastik yang terseret panjang. Di kejauhan terdengar lolong anjing yang terasa menyayat telingaku.
Aku mendekat ke arah pintu depan, dan menunggu suara keresek itu kembali terdengar. Seperti dugaanku, suara itu kembali terdengar. Kutarik gerendel hingga pintu terbuka lebar.
“Raniii…” “Rannniii”
Terdengar suara panjang dan memilukan seolah menahan beban duka dan tangis. Suara itu jelas memanggil-manggil namaku.
“Siapa itu?” aku berusaha mencari-cari suara itu, tak ada siapa-siapa. Tetapi saat kepalaku menoleh ke kiri di dekat gerumbul pohon pisang, tampak bayangan putih yang berdiri kaku.
“Jangan takut, akuuuhhh akuhh Ratno…”
Suara itu begitu serak dan terdengar nafasnya yang tersengal-sengal. Aku tercekat oleh pemandangan nyata di depan mataku, bayangan putih tinggi besar dengan kedua mata yang berbalut kapas. Kedua pipinya teramat pucat seolah dilapis bedak tebal. Di antara kulit dan kain putih yang bertali di kedua ujungnya tampak selembar plastik bening membungkus kulit.
Aku tak kuasa untuk memalingkan wajahku. Kedua mataku seolah terpatri oleh perwujudan mayat berbungkus kain kafan itu. Mayat berbungkus yang terlapis plastik di dalamnya. Pocong!