Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber] Mr. J

23 November 2015   06:25 Diperbarui: 23 November 2015   07:43 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pical Gadi No. 11

 

Seingatku ini gudang bawah tanah tempatku biasa menemukan album foto berdebu atau mainan-mainan tua, termasuk Pow, panggilanku pada boneka beruang yang biji matanya hilang entah kemana. Juga tempatku bersembunyi dari amarah paman Chenkov. Juga tempatku menumpahkan cerita pada Pow saat aku rindu mama.

Tapi saat mencoba berdiri dari lantai, aku terkejut. Lengan dan kaki mungilku terpatri lekat-lekat pada semacam pasungan. Aku tak bisa bergerak.

Aku mulai ketakutan lagi. Nafasku memburu. Hidungku memanas. Mungkin karena debu-debu yang beterbangan memenuhi rongga hidungku.

Mama…?! Dimana Mama..!?

Sayup-sayup, dalam ketakutan, aku mendengar potongan ucapan mama,

…….jadi anak mama yang kuat…,

……kamu akan menemukan orang-orang yang menerima dan menyayangimu sepenuh hati….,

Hempasan keras terdengar bersamaan dengan pintu gudang terbuka. Dari sudut mata aku bisa melihat paman Chenkov masuk ke dalam gudang. Sendiri.

Syukurlah…. Dia pasti akan segera melepaskan penghalang kaki dan tanganku.

“Tenang, Anna. Mereka sudah pergi. Tapi…. seperti yang selalu paman bilang, kamu harus belajar menguasai diri,” sahut paman Chenkov. Dia benar-benar bisa membaca kegundahanku.

Selain mama, paman Chenkov-lah orang dewasa yang selama ini aku anggap bisa dipercaya. Aku suka memandangi mata birunya saat bercerita tentang peri-peri yang mengambil gigi susu di malam hari, tentang pria yang memanjat pohon kacang raksasa dan cerita pengantar tidur lainnya. Aku juga suka mendengar cerita paman tentang mama yang sudah jadi malaikat dan selalu memandangiku dari  bintang-bintang di langit malam.

Tapi entah, sebagian diriku yang lain jadi mendadak membencinya saat mata birunya berubah menjadi seperti sumur dalam, dingin dan menakutkan. Saat itu terjadi biasanya tangan kekarnya juga mulai menggerayang dan menjamah bagian-bagian tubuh, juga mungkin sebagian jiwaku.     

“Mungkin setelah menyelesaikan tahun ajaran ini, paman akan membawamu meninggalkan Moskow, ke tempat yang lebih tenang di pedesaan… Atau kita bisa kembali ke Jakarta. ”

Ketakutanku terbukti, sesaat sebelum tangannya menyentuh pasunganku. Mata birunya yang hangat dalam sekejab menjadi seperti sumur dalam, dingin dan menakutkan.

Jangan sekarang, paman……

*** 

Bulan mati sedang mengikat kesunyian malam.

Aku berlari menyusuri basement yang digunakan untuk parkiran mobil. Namun kali ini parkiran sepi senyap, sehampa langit malam ini. Gema high heels-ku bertalu-talu memenuhi dinding-dinding basement.  

Suara-suara kosmis seperti sedang membisikkan barisan mantra hitam ke telingaku. Semesta memang baru saja memaksa malam melakukan upacara pengorbanan yang memilukan.

Nina…

Aku berharap dia masih hidup, kendati aku sendiri tidak percaya pada pengharapanku. Tiga menit lalu, peluru itu menghantam telak jantungnya, menorehkan darah merah segar ke pintu mobil dan lantai basement. Aku masih sempat berteriak histeris dan mengguncang-guncang tubuhnya di pangkuanku, sebelum wajah pucat pasi muncul dari balik tiang basement, dengan sebuah pistol di genggamannya.    

Lalu aku merasakan hawa maut menyengat sehingga pikiranku hanya berisi satu kata,

berlari!

Setelah bermenit-menit berlalu, aku masih terus berlari dengan tangan berlumur darah. Napas terengah. Keringat deras mengalir. Sepelemparan penglihatan, aku melihat tong sampah besi di sudut basement. Aku pun menanggalkan dan melempar sepatu high heels-ku ke dalamnya.

Setelah itu aku kembali berlari sekuatnya, menjauhi sosok kekar yang mengejarku dari belakang. Sosok yang pernah mengisi kekosongan hati ini sekarang mengejarku dengan senjata pembunuh di tangannya.

“Rheinaraa…!!!,”

Suara Ran menggelegar dari kejauhan. Jantungku hampir copot.

Sejak kapan dia mengenaliku?

Tapi pandanganku tetap tertuju pada pintu lift di ujung basement. Mudah-mudahan lift itu masih berfungsi. Aku hampir kehabisan nafas. Mungkin bisa benar-benar modar jika masih harus berlari menaiki tangga lagi.

Gema ketukan sepatu Ran yang sedang berlari juga mulai memenuhi basement, pertanda dia semakin dekat. Saat aku memencet tombol lift, dia berteriak memanggilku lagi. Kali ini seperti terdengar getar putus asa dari suaranya.

Pintu lift terbuka, aku segera masuk dan memencet tombol lima lantai ke atas. Darah Nina yang mulai mengering meninggalkan noda merah kehitaman pada papan tombol lift.

Masih dengan nafas tersengal aku berusaha mengumpulkan semua memori yang tercecer sepanjang basement tadi. Rentetan tragedi dimulai dari ajakan Nina untuk mengunjungi gedung ini guna bertemu seseorang, lalu ketika aku turun dari mobil, terdengar sebuah letusan keras menggetarkan gendang telinga dan jantungku. Nina tahu-tahu sudah berdiri menghalangi tubuhku dari terjangan peluru, entah dia sengaja atau itu adalah kecelakaan. Lalu semuanya campur baur, tubuh Nina yang bergelimang darah, mata Ran, koridor basement dan lift ini.

Aku baru menyadari derasnya keringatku telah menembus kaos dan merembes membasahi jaket jeans-ku. Aku harus bergerak cepat, maka jaket itu aku lepaskan juga. Tapi sebelum aku menghempaskannya ke lantai lift, ringtone smartphone-ku berbunyi nyaring. Ah, aku baru ingat, aku menyimpannya di salah satu saku jaketku.

Smarphone-ku memiliki dua SIM card. Panggilan itu berasal dari nomor baru, tapi ditujukan untuk SIM card kedua. Tidak banyak orang yang tahu nomor SIM card itu.

“Hallo, Anna…..,” suara berat dari ujung sana terdengar begitu aku menjawab panggilannya. Suara itu terdengar asing dan familiar sekaligus.

“J…?!”

“Ah, syukurlah kamu masih mengenaliku.”

Dia tidak memanggilku dengan namaku di masa lalu. Kehidupan memang gemar berteka-teki. Ran memanggilku dengan nama masa laluku padahal aku telah beralih rupa menjadi Anna, dan Mr. J memanggilku dengan nama yang aku gunakan saat ini, bukan nama yang dikenalnya pada masa lalu.

“Sesuatu yang mengerikan terjadi, J….,” aku menangis dan berusaha menceritakan keadaanku saat ini. Mr. J berusaha menenangkanku,

“Sekarang kamu harus fokus, Anna. Jangan tutup telepon ini. Ikuti semua yang akan aku katakan, kamu akan selamat. Aku janji.”

Pintu lift terbuka. Aku kembali berlari. Ini lantai sebuah department store raksasa yang menawarkan aneka busana dan pernak-perniknya. Tapi lagi-lagi kosong melompong. Kemana semua orang malam ini?

“….terus saja sampai di bagian pakaian anak, lalu belok kiri ke arah kasir.”

Aku terus mengikuti petunjuk Mr. J. Memang aku panik, namun suara Mr. J yang teduh bisa sedikit menetralkan debaran jantungku. Entah bagaimana dia bisa hafal lekuk, koridor dan bagian demi bagian gedung ini. Pertanyaan itu menambah daftar misteri dalam benakku. Tapi sudahlah, sejauh ini semua kelihatan terkendali. Ran sepertinya sudah cukup jauh tertinggal di belakang.

Mr. J terus mengarahkanku melewati gerai demi gerai, sejumlah selasar dan koridor gedung.

“Berhenti, Anna!,”

Berhenti? Bukankah aku mesti tetap berlari?

“Berhenti sekarang, Anna!”

“Baik, baik, aku berhenti sekarang,” sahutku di antara helaan napas yang terbata-bata.

“Mestinya kamu sekarang ada di dalam sebuah bookstore yang cukup besar…”

Mr. J benar. Di sekelilingku, sejauh mata memandang, yang ada hanya rak-rak dan etalase berisi deretan dan tumpukan buku beraneka jenis. Aku sepertinya memang berada persis di pusat sebuah bookstore.

“Anna,…. Kamu masih disana?”

“Ya…”

“Tolong dengarkan kata-kata berikut dengan baik, karena yang akan aku katakan adalah bagian yang paling penting….”

Mr. J meneruskan ucapannya. Aku berusaha mencerna kata demi kata, suku kata demi suku kata sesuai permintaannya. Aku lalu mengernyitkan kening.

“….Ran tetap akan menemukanku?”

“…Ya, Anna. Tapi sekali lagi, aku mohon, tetaplah fokus untuk keselamatanmu. Dia memang harus menemukanmu….”

“…aku, aku tidak mengerti, J…,” ucapku gamang.

Belum lagi hilang suaraku, suara seseorang menabrak rak buku dengan keras terdengar menggema di langit-langit bookstore.

“Rheinaraaa….!! Tolong, berhentilah berlari!”

Jantungku seperti berhenti berdetak.

“Anna, ini saatnya. Mulailah berlari……!!,” seru Mr. J.

Aku akan tetap berlari. Bukan karena Mr. J, tapi karena hawa maut yang sama terasa begitu menyengat. Aku merasa bahaya besar sedang mengintai dari balik punggungku. Smartphone aku biarkan saja terhempas deras ke lantai bookstore. Aku tak peduli. Aku tak tahu mesti percaya kepada siapa lagi saat ini.

Tapi di antara impuls-impuls kepanikan yang mendera otakku, entah mengapa aku tetap membiarkan kedua kakiku berlari mengikuti arahan Mr. J barusan.

Aku berlari ke arah utara, melewati deretan majalah dan koran, menembus ruang karyawan, mengikuti koridor kanan dan kiri dan…. sekali lagi Mr. J benar. Ruangan gudang bookstore itu kini menyambutku.

Aku segera masuk, dan mengunci pintu gudang dari dalam. Mr. J juga benar tentang lemari-lemari raksana berisi puluhan dos buku, dan buku-buku lainnya yang terserak di lantai gudang. Penerangan gudang agak minim, sehingga aku harus beradaptasi sejenak. Aku bersimpuh ke lantai, dan membiarkan tanganku menari-nari  di antara tumpukan buku, mencari benda yang disebutkan Mr. J. Setelah pandanganku mulai beradaptasi dengan pencahayaan ruangan, aku menemui pemandangan lain yang membuatku tercekat.

Seluruh buku yang terserak di lantai memiliki cover yang sama, gambar pemandangan bulan mati dan kerlap-kerlip lampu kota yang diambil dari sisi sebuah balkon. Memandangi cover buku-buku ini, seperti memanggil kepingan-kepingan kelam masa lalu saja rasanya. Ada bagian dalam diriku yang seketika tenggelam dalam kesedihan.

Dooorrrr…..!!!!

Sekali lagi suara letusan maut itu menggetarkan telinga dan hatiku. Pintu gudang terbuka lebar. Sosok Ran muncul disitu. Matanya menatapku tajam.

Aku gemetar. Pasrah. Saat ini aku telah berada pada sudut mati, tidak ada lagi tempat untuk berlari meloloskan diri.

“Rheinara….  Anna…..,” ucap Ran dingin. Tapi dari sorot matanya aku bisa menangkap ada binar-binar kehangatan yang mencoba melesak keluar. “Mengapa harus berakhir seperti ini?”

“Apa yang kamu inginkan, Ran? Mengapa kamu membunuh Nina?”

“Itu kecelakaan. Aku tidak bermaksud seperti itu.”

Aku terdiam sejenak.

“Lalu mengapa kamu ingin membunuhku…??”

“Bukan aku, Anna. Bukan aku. Sejak mengetahui siapa kamu sebenarnya, Nugie semakin… semakin gila. Dia masih mencintaimu. Tapi di saat yang sama dia juga ingin segera menyingkirkanmu, satu-satunya penghalang atas obsesi besarnya.”

Ran meletakkan senjata revolver-nya perlahan di atas salah satu rak di sisi kananya, lalu mengusap wajahnya seolah ingin membuang semua masalah dari situ jauh-jauh. Mengapa Ran jadi terlihat melankolis begini?

“Obsesinya atau obsesi kalian berdua?” tanyaku ketus.

Ran memicingkan mata,

“Aku tahu cepat atau lambat kamu akan mengetahuinya… Sepertinya aku memang harus melakukan tugasku sekarang…,”

Hatiku berdesir

“Mengapa bukan Nugie yang langsung berhadapan denganku?”

Ran tersenyum “Dia terlalu rapuh untuk melakukannya. Kamu tahu, bagaimanapun juga, dia mencintaimu, Anna. Sebenarnya…….. kamu juga pernah jadi orang yang mengisi ruang hati ini. Tapi aku jauh lebih tegar dari Nugie. ”

Aku ikut tersenyum. Sinis.

“…Aku tidak percaya cinta lagi saat ini. Juga mungkin, tidak akan percaya pada siapapun lagi.”

“Benar. Bahkan kamu juga jangan percaya Mr. J.”

Aku melotot kaget.

“Dia-lah yang membocorkan identitasmu pada kami, juga mengatur….. ‘pertemuan’ kita ini,”

Aku tiba-tiba ingin berteriak sekerasnya, melampiaskan semua amarah dan kesedihan kepada dunia.  Tapi yang terjadi adalah lidahkku mengelu, dan tenggorokanku tercekat. lalu aku merasa bulir bening hangat mengucur dari sudut mataku. Yah, mungkin hanya air mata yang bisa aku gunakan untuk mengungkapkan emosi yang aku rasakan saat ini.

“Sepertinya kita harus menuntaskan percakapan kita sekarang.”

Tangan kanan Ran bergerak menggapai rak buku di sisinya. Saat itu aku melihat kilau samar logam hitam tergeletak di lantai dekatku bersimpuh. Keberanianku membuncah tiba-tiba.

“Jangan coba-coba, Ran…”

Ran nampak terkejut dengan pemandangan yang aku ciptakan. Di depannya, seorang wanita lemah dengan emosi yang tidak stabil sedang menodongkan pistol dengan kedua tangan ke arahnya. Wanita ini memang bukan ahlinya, tapi tidak butuh keahlian menembak untuk membunuh pada jarak sedekat ini.

“Anna…..,” ucapnya ragu. Lalu secepat kilat tangan kanannya di arahkan kepadaku.

Letusan keras dua senjata berbunyi hampir bersamaan. Aku masih mengepal kencang senjata “pemberian” Mr. J itu. Sedangkan Ran ambruk seketika. Darah segara merembes membasahi kemeja biru yang digunakannya. Tanganku bergetar hebat. Lalu seluruh dunia menjadi gelap gulita.

 ***** 

Suara saksofon Kenny G, menyelusup hangat ke dalam gendang pendengaranku. Rasanya begitu damai. Dengan segenap kekuatan, aku membuka pelupuk mataku, lalu menyapukan pandangan ke seluruh ruangan. Sebuah kamar yang bersih dan rapi, dengan nuansa putih. Ah, aku kembali terbangun dengan kaki dan tangan terikat.

Tapi entah mengapa kali ini aku merasa cukup nyaman dengan perlakuan para perawat. Waktu pada jam dinding yang tergantung di sudut kamar telah menunjukkan pukul 03.30. Dari pencahayaan kuat yang muncul di balik jendela teralis, aku yakin saat ini hari menjelang petang.

Pintu kamar terbuka, dan wajah hangat seorang pria hadir disitu.

“Anna, kamu sudah sadar?”

Ada dorongan yang membuatku menyunggingkan senyum. Tergopoh-gopoh dia mendekat dan menggenggam tanganku.

“Kamu baik-baik saja?”

Aku mengangguk lemah.

 “Oh ya. Aku tinggal sebentar, ya. Dr. Jalal berpesan aku harus segera memanggilnya begitu kamu siuman… Hari ini kamu telah melewati sesi terapi yang panjang dan melelahkan, Anna. Tapi…. dr. Jalal bilang progress hari ini cukup bagus….”

Tanpa menunggu jawabanku lagi, pria itu bergegas keluar kamar.

Suara saksofon Kenny G kembali mengusik perhatianku. Sepertinya musik favoritku itu hadir dari handphone yang diletakkan di atas meja.

Aku memejamkan kembali kedua mataku. Memang rasanya aku benar-benar kelelahan saat ini. Pria berwajah hangat itu….. Baiklah, aku akan mencoba menyusun puzzle kecil di pikiranku, puzzle berisi nama pria berwajah hangat itu.

___________________________________

 

ilustrasi gambar dari: www.wired.com

 

Untuk membaca Fikber selengkapnya silahkan menuju akun Fiksiana Community | Mari bergabung di grup FB Fiksiana Community

 

Daftar episod sebelumnya:

1. Malam Bulan Mati, Balkon dan Ciuman

2. Bulan Mati di Hati Rheinara

3. Pesan Cinta dari Masa Lalu

4. Benang Merah

5. Derita Cinta Membara

6. Hujan dan Cemburu

7. Dua Mata Angin

8. Nugha

9. Antara Khayalan dan Kenyataan

10. Anna Kalashnikov

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun