Syukurlah…. Dia pasti akan segera melepaskan penghalang kaki dan tanganku.
“Tenang, Anna. Mereka sudah pergi. Tapi…. seperti yang selalu paman bilang, kamu harus belajar menguasai diri,” sahut paman Chenkov. Dia benar-benar bisa membaca kegundahanku.
Selain mama, paman Chenkov-lah orang dewasa yang selama ini aku anggap bisa dipercaya. Aku suka memandangi mata birunya saat bercerita tentang peri-peri yang mengambil gigi susu di malam hari, tentang pria yang memanjat pohon kacang raksasa dan cerita pengantar tidur lainnya. Aku juga suka mendengar cerita paman tentang mama yang sudah jadi malaikat dan selalu memandangiku dari bintang-bintang di langit malam.
Tapi entah, sebagian diriku yang lain jadi mendadak membencinya saat mata birunya berubah menjadi seperti sumur dalam, dingin dan menakutkan. Saat itu terjadi biasanya tangan kekarnya juga mulai menggerayang dan menjamah bagian-bagian tubuh, juga mungkin sebagian jiwaku.
“Mungkin setelah menyelesaikan tahun ajaran ini, paman akan membawamu meninggalkan Moskow, ke tempat yang lebih tenang di pedesaan… Atau kita bisa kembali ke Jakarta. ”
Ketakutanku terbukti, sesaat sebelum tangannya menyentuh pasunganku. Mata birunya yang hangat dalam sekejab menjadi seperti sumur dalam, dingin dan menakutkan.
Jangan sekarang, paman……
***
Bulan mati sedang mengikat kesunyian malam.
Aku berlari menyusuri basement yang digunakan untuk parkiran mobil. Namun kali ini parkiran sepi senyap, sehampa langit malam ini. Gema high heels-ku bertalu-talu memenuhi dinding-dinding basement.
Suara-suara kosmis seperti sedang membisikkan barisan mantra hitam ke telingaku. Semesta memang baru saja memaksa malam melakukan upacara pengorbanan yang memilukan.