Berbagai bantuan tersebut membuat orang Asmat semakin tergantung pada berbagai tawaran produk instan. Kebiasaan makan dan minum dari alam perlahan tergerus.Â
Mereka mengharapkan bantuan ketimbang pergi mengambil makanan sehat di dusun. Atau mereka mengambil makanan di dusun seperti sagu dan ikan, tetapi mereka menjualnya dan membeli beras, supermi dan ikan kaleng.
Selain itu, situasi yang paling sering dijumpai adalah meskipun di dusun tersedia berbagai sayuran, tetapi mereka jarang makan sayur. Mereka lebih memilih makan sagu dan ikan asar atau nasi dan supermi tanpa sayur.
Pola makan sangat menentukan kondisi gizi seseorang. Demikian halnya, saat ini anak-anak Asmat masih banyak mengalami gizi buruk karena minimnya kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi makanan sehat dan bergizi.Â
Orang lebih suka mengejar kenikmatan di mulut, makanan enak sesaat tetapi tidak ada unsur gizi apa pun ketimbang mengonsumsi makanan bergizi. Karena itu, di masa depan perlu ada gerakan mengonsumsi makanan lokal yang sehat dan bergizi.
Tingkat Pendidikan
Perjumpaan orang Asmat dengan dunia luar, khususnya para misionaris Katolik baru terjadi pada 3 Februari 1953. Saat itu, Pastor Zegward membaptis satu perempuan di Suwruw. Artinya, orang Asmat berjumpa dengan "peradaban baru" itu baru 66 tahun silam.
Sejak para misionaris Katolik membuka wilayah Asmat, mereka memulai dengan pendidikan. Peserta didik pada masa awal misi Katolik itu masih hidup sampai saat ini. Kita sebut saja, Bapak Yuven Biakai (Diakon permanen dalam Gereja Katolik Keuskupan Agats dan mantan Bupati Asmat). Ada pula Bapak Amatus Ndatipits yang sekarang menjadi anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) di Jayapura.
Dunia pendidikan berkembang pesat pada masa misionaris Katolik berkarya di tanah lumpur Asmat. Tetapi, setelah mulai diambil alih oleh pemerintah, pendidikan di Asmat merosot. Banyak anak Asmat tidak bersekolah karena berbagai alasan. Misalnya, guru tidak masuk mengajar dan lain sebagainya.
Rata-rata orang Asmat di kampung-kampung pernah mengikuti pendidikan Sekolah Dasar (SD) tetapi tidak tamat. Ada sebagian tidak pernah sekolah. Sebagiannya lagi mengenyam pendidikan sampai SMP dan SMA. Dan sebagian kecil menempuh pendidikan hingga Sarjana.
Rata-rata yang berpendidikan SMA dan Sarjana, tinggal dan bekerja di kota Agats atau di luar Asmat. Sedangkan masyarakat yang tinggal di kampung-kampung memiliki pendidikan terbatas. Minimnya pendidikan berdampak besar dan luas terhadap kesehatan masyarakat. Minimnya pendidikan membuat masyarakat tidak bisa keluar jauh dari konsep budaya yang telah diwariskan turun-temurun.
Masyarkat kampung, keluarga-keluarga yang tinggal di kampung-kampung menjalani rutinitas harian mencari makanan di dusun. Mereka memasak dan makan apa adanya. Mereka tidak terlalu pusing dengan unsur gizi yang terkandung di dalam makanan yang dikonsumsi. Bagi mereka makan sampai kenyang itu sudah cukup.