Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Narasi Gizi Anak-anak Asmat

18 Februari 2019   13:34 Diperbarui: 18 Februari 2019   16:44 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bapa Paskalis dan anaknya di kampung Yepem, Distrik Agats. Dokpri.

"Saya bawa pil KB dua papan ini. Saya kasih minum ada dua ibu di kampung yang anak sudah 12 orang, tetapi suaminya tidak mau istrinya ikut KB. Jadi, saya kasih sembunyi-sembunyi. Biasa sore-sore mereka datang ke saya, lalu saya kasih minum. Kalau saya ke Agats, ada satu Ibu yang saya sudah siapkan untuk dia kasih mereka dua minum pil KB ini," tutur Maria Goreti Yonathan, pada Jumat, 8 Februari 2019.

Awal Januari 2018 silam, Asmat menjadi pusat perhatian karena Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan gizi buruk. Data dari tim penanggulangan KLB memperlihatkan bahwa lebih dari tujuh puluh anak meninggal karena campak dan gizi buruk. Sementara ratusan anak lainnya mendapatkan perawatan intensif karena kasus tersebut.

Secara umum gizi berkaitan dengan pola makan. Tubuh manusia membutuhkan asupan gizi seimbang. Apa lagi ibu hamil dan anak-anak balita membutuhkan gizi yang memadai untuk pertumbuhannya. Apabila gizi tidak terpenuhi, maka anak-anak mengalami kekurangan gizi yang berdampak pada terjadinya gizi buruk.

Berbicara tentang gizi dalam konteks Asmat selalu menarik perhatian untuk masuk  ke dalam hidup orang Asmat. "Cem a...!" Kita bisa terjemahkan secara bebas, "Mari, masuk ke dalam rumah." Jangan hanya berdiri di luar dan berbicara tentang orang Asmat. Kita harus masuk ke dalam hidup orang Asmat. Di sanalah kita akan mengetahui cara hidup orang Asmat.

Orang-orang di luar Asmat selalu mengajukan pertanyaan. Misalnya, "Mengapa Asmat kaya akan ikan, kepiting, udang, sagu dan sayur-sayuran yang tumbuh di hutan, tetapi anak-anak mengalami gizi buruk? Apakah orangtua tidak memperhatikan anak-anak punya makan dan minum?"

Seringkali kita hanya melihat di permukaan yaitu anak-anak Asmat kekurangan gizi. Indikator sederhana yang menjadi patokan, lingkar lengan tidak sesuai usia, kulit bungkus tulang, perut besar, dan lain-lain. Kita menggunakan ilmu kesehatan semata untuk melihat permasalahan gizi anak-anak di Asmat.

Permasalahan gizi anak-anak di Asmat merupakan permasalahan kemanusiaan yang serius. Anak-anak Asmat seharusnya mendapatkan asupan gizi memadai sehingga mereka dapat bertumbuh sehat, tetapi kenyataan memperlihatkan bahwa sebagian anak-anak Asmat terkapar tidak berdaya karena kekurangan gizi. Apa saja faktor yang berpengaruh pada permasalahan gizi anak-anak di Asmat?  

Budaya
Dalam konteks Asmat, ilmu kesehatan formal menjadi nomor kesekian dalam memahami orang Asmat. Ketika orang Asmat sakit, mereka tidak lekas pergi ke Pustu, Puskesmas atau Rumah Sakit.  

Mereka akan mengambil obat-obat alam (berbagai jenis tanaman yang dipercaya bisa menyembuhkan penyakit yang diderita). Pada saat bersamaan, mereka akan mencari penyebabnya, apakah ada relasi dengan roh-roh leluhur dan sesama kurang baik?

Apabila kondisi kesehatan semakin memburuk, barulah pasien dibawa ke Puskesmas Pembantu (Pustu) yang ada di kampung, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang ada di pusat Distrik atau Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Agats. 

Seringkali, nyawa tidak tertolong karena pada saat dibawa ke Rumah Sakit, pasien sudah dalam kondisi kritis. Tampak bahwa pertolongan medis menjadi jalan terakhir tatkala segala daya upaya penyembuhan secara alamiah (menggunakan pendekatan/metode alam, adat) sudah tidak bisa lagi.

Selanjutnya, kita boleh mengajukan pertanyaan, "Apakah anak-anak Asmat menderita gizi buruk?" Orang Asmat tidak mengenal gizi buruk. Mereka hidup di dalam kelimpahan makanan. Mereka tidak susah makanan. Semua makanan tersedia di alam. Mereka mengambilnya dari alam dan mengonsumsinya.

Pada saat KLB campak dan gizi buruk, tim Satgas membawa anak-anak ke Agats. Sebagian anak-anak ditampung di aula gereja Pniel Agats karena RSUD Agats sudah penuh dengan pasien anak-anak campak dan gizi buruk. 

Ketika saya mengunjungi dan bercerita dengan beberapa Bapa dari anak-anak yang mengalami  gizi buruk itu, mereka berkata, "Kenapa pemerintah jemput kami punya anak-anak dan bawa ke sini? Kami punya anak-anak tidak sakit. Mereka di kampung sehat-sehat saja, justru mereka dibawa ke sini yang bikin mereka sakit," tutur salah satu Bapa ketika saya bercerita dengannya.

Demikian halnya, pada kesempatan lain, Pastor Vesto Maing, Pr harus berhadapan dengan salah satu orangtua yang anaknya menderita gizi buruk. Anak tersebut dalam kondisi lemah dan dirawat di RSUD Agats. 

Saya memanggil Pastor Vesto datang membujuk orangtua dari anak tersebut supaya si anak mendapatkan perawatan. Tetapi, dua hari kemudian, orangtuanya membawa anak itu pulang ke rumah. Nyawanya anak itu tidak terselamatkan.

Kondisi serupa terjadi pada saat tim Bappenas dan Kedutaan Australia mengunjungi RSUD Agats, pada 23 September 2018. Setelah bertemu dengan PLH Direktur RSUD Agats, Waluyo, tim pergi ke ruang perawatan anak. Di sana, ada satu anak menderita gizi buruk. Kondisi anak tersebut sangat memprihatinkan.

"Anak ini dia sakit begini karena ada gangguan dari roh," tutur ibu anak itu. Padahal, si anak menderita gizi buruk karena minim asupan gizi. Anak tersebut harus berhenti menyusu dari ibunya, karena si ibu sudah hamil lagi.

Kisah tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa aspek budaya masih memegang peran penting dalam seluruh hidup orang Asmat. 

Orang Asmat selalu melihat sakit pertama-tama bukan karena faktor medis, melainkan faktor non-medis yaitu relasi dengan roh leluhur, alam semesta dan sesama. Karena itu, berbicara tentang kesehatan dalam konteks Asmat, terutama gizi anak-anak Asmat harus memperhatikan aspek kebudayaan Asmat.

Jarak Kelahiran Anak
Selain faktor budaya, jarak kelahiran yang sangat dekat (sebelum anak berumur satu tahun, ibu sudah hamil lagi) turut menyumbang terjadinya gizi buruk pada anak-anak Asmat. 

Di kampung-kampung, kita menyaksikan ibu-ibu muda, yang anaknya belum berusia satu tahun sudah hamil lagi. Akibatnya, anak yang belum genap berusia satu tahun, yang seharusnya masih minum susu, terpaksa harus berhenti minum susu karena ibunya sudah hamil lagi.

Anak-anak sudah berhenti minum susu sebelum waktunya tiba. Selain itu, anak-anak tersebut juga di usia belia tidak mendapatkan asupan gizi memadai. Bahkan ada anak-anak yang harus mengalami kelaparan karena kurang mendapatkan perhatian dari ibunya yang sedang hamil lagi. Akibatnya, anak-anak mengalami kelaparan dan menderita gizi buruk. 

Sebagaimana yang dituturkan oleh Maria Goreti Yonathan bahwa para suami tidak mengizinkan istri mereka untuk mengikuti program KB. Alasannya, mereka kawin untuk punya keturunan (anak). Meskipun sudah memiliki beberapa anak, para suami tetap tidak mengijinkan istri mereka mengikuti program KB.

"Saya lihat dua Mama, masing-masing mereka sudah punya anak 12 orang, tetapi suaminya tidak mau mereka ikut KB sehingga saya kasih pil KB sembunyi-sembunyi. Saya kasih pil karena mereka dua tidak cocok dengan KB suntik," tutur Ibu Maria Goreti Yonathan.

Lingkungan Tempat Tinggal
Orang Asmat tinggal di rumah-rumah sederhana. Mereka membangun rumah dari kayu bulat. Atap daun sagu. Rumah tersebut berdiri dia atas tanah berlumpur (rawa).

Pada saat mereka mencari makan di dusun, di sana mereka mendirikan bevak (rumah tinggal sementara selama mencari makan). 

Bevak biasa dibangun di tepi sungai, daerah mereka mencari makan. Bevak mirip dengan pondok berteduh. Kayu bulat ditancap di atas tanah lumpur. Atap dan dinding dari daun sagu. Sedangkan lantai dibuat dari kayu bulat. Di atas kayu bulat itu, mereka alas dengan tikar daun pandan (tapin). Di tempat itulah mereka tinggal selama mencari makanan di dusun.

Anak-anak balita ikut serta saat orangtua ke dusun. Bapa-bapa mencari makan. Sedangkan ibu yang masih menyusui biasa tinggal di Bevak. Apabila anak sudah tidur, si ibu bisa beraktivitas seperti menyiapkan makan untuk Bapa-bapa dan keluarga lainnya yang sedang mencari makan.

Bilamana ada anak-anak yang sudah lebih besar ikut, maka anak balita dijaga oleh kakaknya yang dianggap sudah bisa menjadi si adik. Kemudian, Mama dari Balita tersebut turut mencari makan, seperti memangkur sagu atau mencari sayur-sayuran.  

Tempat tinggal, baik di kampung maupun di bevak rentan terhadap berbagai penyakit. Misalnya, diare, malaria, atau penyakit kulit lainnya. Apa lagi masyarakat tidak terbiasa menggunakan kelambu pada waktu tidur sehingga mudah terserang malaria.

Mereka juga sewaktu-waktu bisa terserang diare karena minum air bersih. Apa lagi di dusun, mereka hanya mengandalkan air kali dan rawa. Sebagian kecil menadah air hujan pakai ember-ember kecil yang dibawa dari kampung.

Umumnya, masyarakat tidak memiliki jamban atau WC. Mereka buang air di hutan atau di pinggir kali. Bahkan ada pula yang buang air di sekitar rumah.

Kondisi rumah sederhana, tanpa faslitas air bersih dan jamban turut menyumbang rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Mereka sangat rentan terserang diare dan malaria. Kelompok paling rentan adalah anak-anak Balita.

Pola Makan
Orang Asmat hidup dalam kelimpahanan makanan. Di dusun tersedia sagu, sayur, ikan, kepiting, udang, babi hutan, kasuari dan lain sebagainya. Orang Asmat tidak susah makanan. Apabila persediaan makanan di rumah habis, mereka mendayung perahu atau saat ini lebih sering pakai fiber long boat pergi ke dusun untuk mengambil makanan.

Mereka tidak mengambil makanan dalam jumlah banyak. Mereka mengambil secukupnya untuk memenuhi kebutuhan hidup beberapa hari atau minggu. Makanan yang diambil dari dusun dan dibawa ke rumah di kampung pun tidak dikonsumsi sendiri. Mereka membagikannya dengan keluarga-keluarga semarga, yang memiliki dusun yang sama.

Pada saat persediaan makanan sudah habis, mereka akan kembali lagi ke dusun untuk mencari makanan. Begitulah aktivitas orang Asmat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Seiring kemajuan terknologi komunikasi, informasi dan transportasi, saat ini orang Asmat tidak hanya mengonsumsi sagu, sayur-sayuran, ikan, kepiting yang diambil dari dusun. Kini, mereka makan nasi, supermi, ikan kaleng. Mereka minum teh dan kopi dengan kadar gula tinggi (sampai benar-benar terasa manis).

Misalnya, di Agats, kita sering menjumpai Mama-mama menjual ikan, udang, kepiting. Mereka mendapatkan uang. Kemudian, uang yang diperoleh dipakai untuk belanja beras, ikan kaleng, supermi, kopi, gula, rokok, pinang dan berbagai keperluan lainnya.

Mama-mama dan anak-anak Asmat suka makan pinang. Mereka makan pinang kering dan kapur. Bahkan Mama-mama yang sedang hamil atau yang sedang menyusui pun makan pinang. Akibatnya, nafsu makan menurun sehingga Mama-mama tampak kurus.  

Pola makan orang Asmat berubah seiring perjumpaan mereka dengan dunia luar yang menawarkan berbagai makanan instan dan terasa enak di mulut. Orang selalu bertanya, "Mengapa Mama-mama jual ikan dan beli ikan kaleng dan supermi?" Kita tahu jawabannya. "Ikan kaleng masak campur dengan supermi terasa sedap di mulut."

Selain itu, berbagai program pemerintah yang memberikan berbagai bantuan telah mendorong orang Asmat perlahan meninggalkan makanan pokok mereka yaitu sagu. 

Saat ini, mereka mendapatkan jatah beras orang miskin (Raskin). Ada sebagian warga mendapatkan bantuan dari Kementerian Sosial berupa Program Keluarga Harapan (PKH). Ada Dana Desa (DD) dari APBN dan Alokasi Dana Desa (ADD) dari APBD. 

Setiap kampung di Asmat menerima Dana Desa di atas satu miliar per tahun. Terakhir ada dana BANGGA Papua yang peruntukannya untuk anak-anak usia 0-4 tahun.

Berbagai bantuan tersebut membuat orang Asmat semakin tergantung pada berbagai tawaran produk instan. Kebiasaan makan dan minum dari alam perlahan tergerus. 

Mereka mengharapkan bantuan ketimbang pergi mengambil makanan sehat di dusun. Atau mereka mengambil makanan di dusun seperti sagu dan ikan, tetapi mereka menjualnya dan membeli beras, supermi dan ikan kaleng.

Selain itu, situasi yang paling sering dijumpai adalah meskipun di dusun tersedia berbagai sayuran, tetapi mereka jarang makan sayur. Mereka lebih memilih makan sagu dan ikan asar atau nasi dan supermi tanpa sayur.

Pola makan sangat menentukan kondisi gizi seseorang. Demikian halnya, saat ini anak-anak Asmat masih banyak mengalami gizi buruk karena minimnya kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi makanan sehat dan bergizi. 

Orang lebih suka mengejar kenikmatan di mulut, makanan enak sesaat tetapi tidak ada unsur gizi apa pun ketimbang mengonsumsi makanan bergizi. Karena itu, di masa depan perlu ada gerakan mengonsumsi makanan lokal yang sehat dan bergizi.

Tingkat Pendidikan
Perjumpaan orang Asmat dengan dunia luar, khususnya para misionaris Katolik baru terjadi pada 3 Februari 1953. Saat itu, Pastor Zegward membaptis satu perempuan di Suwruw. Artinya, orang Asmat berjumpa dengan "peradaban baru" itu baru 66 tahun silam.

Sejak para misionaris Katolik membuka wilayah Asmat, mereka memulai dengan pendidikan. Peserta didik pada masa awal misi Katolik itu masih hidup sampai saat ini. Kita sebut saja, Bapak Yuven Biakai (Diakon permanen dalam Gereja Katolik Keuskupan Agats dan mantan Bupati Asmat). Ada pula Bapak Amatus Ndatipits yang sekarang menjadi anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) di Jayapura.

Dunia pendidikan berkembang pesat pada masa misionaris Katolik berkarya di tanah lumpur Asmat. Tetapi, setelah mulai diambil alih oleh pemerintah, pendidikan di Asmat merosot. Banyak anak Asmat tidak bersekolah karena berbagai alasan. Misalnya, guru tidak masuk mengajar dan lain sebagainya.

Rata-rata orang Asmat di kampung-kampung pernah mengikuti pendidikan Sekolah Dasar (SD) tetapi tidak tamat. Ada sebagian tidak pernah sekolah. Sebagiannya lagi mengenyam pendidikan sampai SMP dan SMA. Dan sebagian kecil menempuh pendidikan hingga Sarjana.

Rata-rata yang berpendidikan SMA dan Sarjana, tinggal dan bekerja di kota Agats atau di luar Asmat. Sedangkan masyarakat yang tinggal di kampung-kampung memiliki pendidikan terbatas. Minimnya pendidikan berdampak besar dan luas terhadap kesehatan masyarakat. Minimnya pendidikan membuat masyarakat tidak bisa keluar jauh dari konsep budaya yang telah diwariskan turun-temurun.

Masyarkat kampung, keluarga-keluarga yang tinggal di kampung-kampung menjalani rutinitas harian mencari makanan di dusun. Mereka memasak dan makan apa adanya. Mereka tidak terlalu pusing dengan unsur gizi yang terkandung di dalam makanan yang dikonsumsi. Bagi mereka makan sampai kenyang itu sudah cukup.

Kondisi demikian tidak akan terjadi kalau mereka memiliki pendidikan memadai. Apabila mereka memiliki pendidikan, pengetahuan dan keterampilan hidup, mereka akan mengelola hidup keluarga mereka berdasarkan konsep kesehatan formal. 

Mereka juga akan mempraktekkan perilaku hidup bersih dan sehat. Minimnya tingkat pendidikan pada masyarkat kampung telah menyumbang hampir seluruh permasalahan kesehatan yang dialami masyarakat, termasuk gizi buruk pada anak Balita di Asmat.

Untuk memutus mata rantai gizi buruk anak Balita di Asmat, termasuk berbagai penyakit lainnya, sejak saat ini, harus ada kebijakan kampung wajib sekolah. 

Semua anak di kampung harus bersekolah. Harapannya, sepuluh sampai lima belas tahun ke depan, generasi baru Asmat yang berpendidikan bisa melahirkan dan merawat anak-anak berdasarkan standar kesehatan formal sehingga kasus-kasus gizi buruk pada Balita tidak terulang lagi seperti yang terjadi pada saat ini. 

***

Berhadapan dengan kompleksitas tantangan dalam mengatasi permasalahan gizi anak-anak Asmat apa yang bisa dilakukan? Berdasarkan observasi dan pengalaman perjumpaan dengan orang Asmat di kampung-kampung, saya menemukan tiga hal yang mendesak untuk dilakukan yaitu 1) Perkuat Kader Posyandu di setiap kampung; 2) Mendorong pemerintahan kampung untuk memperhatikan gizi ibu hamil dan anak Balita; 3) Melibatkan tokoh Adat dan Gereja (Pastor/Pendeta) dalam usaha perbaikan gizi ibu hamil dan anak Balita.

Perkuat Kader Posyandu
Di Asmat, Puskesmas menyelenggarakan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) kesehatan ke setiap kampung. Posyandu dilaksanakan satu kali setiap bulan. 

Pada setiap kesempatan Posyandu, petugas kesehatan dari Puskesmas bekerja sama dengan petugas kesehatan kampung, termasuk kader Posyandu melayani masyarakat yang sedang sakit atau yang hendak memeriksakan kesehatannya.

Kepala Puskesmas, berdasarkan rekomendasi kepala kampung telah mengangkat kader Posyandu. Para kader Posyandu mendapatkan honor dari Puskesmas. 

Kehadiran kader Posyandu diharapkan membantu petugas kesehatan Puskesmas, baik bidan maupun perawat yang ditempatkan di kampung dalam pelayanan kesehatan. Kader Posyandu menjadi rekan kerja petugas kesehatan di kampung.

Dalam konteks Asmat, kader Posyandu menjadi juru kunci sukses pelayanan kesehatan di kampung. Alasannya, kader  Posyandu adalah orang kampung. Dia berbicara pakai bahasa lokal. Masyarakat mengerti apa yang disampaikannya.

Tetapi, apakah kader Posyandu sudah menyampaikan kepada masyarakat secara benar dan tepat tentang pentingnya memelihara hidup sehat? Apakah kader Posyandu sudah berbicara dengan benar tentang perilaku hidup bersih dan sehat kepada masyarakat kampung?

Untuk mengatasi bias informasi tentang pentingnya gizi ibu hamil dan gizi anak Balita, kader Posyandu perlu mendapatkan pelatihan dan pendampingan. 

Selama ini, kader Posyandu hanya menjadi pembantu petugas kesehatan di kampung. Para kader Posyandu belum terlibat lebih jauh. Padahal, kader Posyandu memiliki potensi besar dalam menggerakkan usaha kesehatan kampung. Karena itu, ke depan kader Posyandu perlu mendapatkan kesempatan lebih luas dalam usaha promosi kesehatan di kampung dengan fokus pemenuhan gizi ibu hamil dan anak Balita.

Pemerintahan Kampung Yang Peduli pada Gizi Anak
Anak-anak merupakan aset kampung. Setiap anak yang lahir, bukan hanya menjadi milik keluarga dan marga (fam), suku, tetapi menjadi aset kampung. Karena itu, pemerintahan kampung wajib menjaga ibu hamil dan anak-anak Balita sehingga ibu hamil dapat melahirkan anak-anak yang sehat dan bertumbuh menjadi anak-anak yang cerdas intelektual dan spiritual.                                                            

Saat ini, di setiap kampung, pemerintahan kampung mengalokasikan anggaran untuk makanan ibu hamil dan anak-anak Balita sebesar 20 juta rupiah. Dana tersebut dikelola oleh kader Posyandu. Bilamana Dana Desa cair, ibu-ibu hamil dan anak-anak Balita mendapatkan asupan gizi yang memadai. Tetapi, kalau tidak ada dana desa, ibu hamil mencari makan sendiri. Anak-anak Balita pun mendapatkan makanan seadanya dari ibunya.

Selain itu, pemerintah Kabupaten Asmat juga sedang bergiat melaksanakan program seribu hari kehidupan pertama (HPK). Ibu hamil mendapatkan makanan bergizi. Makanan disiapkan oleh Puskesmas dan Pustu yang telah dipilih oleh pemerintah. 

Dana program seribu hari kehidupan pertama (HPK)  dikelola oleh Puskesmas setempat. Kita berharap Puskesmas bisa mengelolanya secara terbuka sehingga ibu-ibu hamil dan anak-anak Balita bisa mendapatkan makanan bergizi yang memadai.

Program pemberian makan untuk ibu hamil dan anak Balita ini dicanangkan oleh Bupati Asmat untuk mengatasi gizi buruk pada anak. Selain itu, melalui program ini diharapkan lahirlah generasi Asmat yang sehat dan cerdas.

Berbagai program yang dilasanakan oleh pemerintah erat kaitannya dengan anggaran (dana, uang). Pemerintah menyiapkan dana (uang). Puskesmas mengelola dan memberikan makan ibu hamil dan anak Balita. 

Sejauh ini, tidak ada program edukasi, pendidikan, penyuluhan dan penguatan kepada pemerintahan kampung tentang pentingnya memelihara kesehatan dan gizi ibu hamil dan anak-anak yang dilakukan berkelanjutan.

Keterlibatan pemerintah dalam menyediakan makanan bagi ibu hamil dan anak Balita di satu sisi berdampak positif pada peningkatan gizi ibu hamil dan anak Balita. Tetapi, di sisi lain, telah menciptakan ketergantungan yang tinggi kepada pemerintah. 

Ketika pemerintah mengambilalih peran-peran keluarga semacam ini, di manakah daya juang suami sebagai kepala keluarga? Apakah laki-laki Asmat sudah tidak bisa mencari makanan bergizi untuk istri dan anak-anak Balitanya?

Mengingat anak-anak merupakan generasi penerus masa depan kampung, pemerintahan kampung harus terlibat dalam setiap usaha pemberdayaan warganya, termasuk memperhatikan gizi ibu hamil dan anak-anak. 

Pemerintahan kampung harus mendapatkan pelatihan dan pendampingan khusus terkait gizi ibu hamil dan anak Balita supaya mereka memberikan perhatian, baik melalui pendanaan maupun pembinaan berkelanjutan.

Di setiap kampung juga ada ibu-ibu PKK. Keberadaan ibu-ibu PKK harus menjadi tonggak gerakan pro-gizi ibu hamil dan anak-anak Balita. Mama-Mama di kampung sendiri harus mengorganisir diri mereka untuk kesehatan diri mereka dan anak-anak mereka. Pada titik ini, mereka membutuhkan pendampingan, bukan sekedar memberikan makanan saja.

Usaha perbaikan gizi ibu hamil dan anak Balita tanpa melibatkan pemerintahan kampung merupakan suatu kesia-siaan belaka. Sebab, pemerintahan kampunglah yang mempunyai warga. 

Pemerintahan kampung memiliki tanggung jawab terdepan terhadap generasinya. Karena itu, setiap pihak yang hendak melaksanakan program gizi untuk ibu hamil dan anak Balita harus melibatkan pemerintahan kampung sejak awal perencanaan sampai dengan pelaksanaannya sehingga  pemerintahan kampung tidak hanya menjadi penonton saja, tetapi ikut terlibat penuh dalam seluruh proses tersebut.

Peran Adat dan Gereja dalam Perbaikan Gizi 
Orang Asmat masih memegang teguh adat. Mereka juga anggota Gereja, baik Katolik maupun Protestan yang masih percaya dan mendengarkan seruan Pastor dan Pendeta. Karena itu, berbagai program perbaikan gizi untuk ibu hamil dan anak-anak di Asmat harus melibatkan tua-tua adat dan Gereja (Pastor dan Pendeta).

Secara spesifik, masyarakat di kampung-kampung berada dalam marga (fam). Di setiap marga (fam) ada tua-tua adat yang duduk di dalam rumah adat Jew sebagai wayir. 

Para tua adat ini bertanggung jawab penuh atas kelangsungan hidup marga (fam). Karena itu, tua-tua adat harus terlibat dalam berbagai usaha demi kelangsungan marga (fam) melalui perbaikan gizi ibu hamil dan anak-anak Asmat.

Selain itu, warga kampung yang terbagi atas berbagai marga (fam) tersebut merupakan anggota Gereja, baik Katolik maupun Protestan. Mereka telah dibaptis oleh Pastor atau Pendeta. 

Mereka adalah warga Gereja, yang digembalakan oleh para Pastor dan Pendeta. Karena itu, Pastor dan Pendeta bertanggung jawab atas masa depan jemaatnya sehingga harus terlibat dalam setiap usaha perbaikan gizi bagi ibu hamil dan anak-anak Asmat.  

Apakah selama ini berbagai program perbaikan gizi bagi ibu hamil dan anak di Asmat, baik program seribu hari pertama kehidupan (HPK), Pemberian Makan Anak Sekolah (PMAS) sudah melibatkan tua-tua adat, Pastor dan Pendeta? Apabila mereka terlibat, sejauh mana keterlibatan mereka berpengaruh pada perbaikan gizi ibu hamil dan anak-anak di Asmat?

Tua-tua adat, Pastor dan Pendeta harus memastikan bahwa ibu hamil dan anak-anak mendapatkan asupan gizi yang memadai bukan hanya dari bantuan pemerintah, melainkan juga dalam kehidupan mereka sehari-hari di rumah masing-masing. 

Bantuan pemerintah, yang dikelola oleh Puskesmas dan Sekolah, baik TK maupun SD merupakan stimulus supaya masyarakat sendiri bisa mengusahakannya untuk keluarga mereka, bukan kemudian menciptakan ketergantungan pada mereka. Di sinilah, peran tua-tua adat, Pastor dan Pendeta untuk selalu memberikan pendampingan kepada masyarakat.

Di Ayam, Pastor Vesto Maing, Pr terlibat pada saat pemberian makan bagi ibu hamil dan anak-anak usia Balita. Pastor Vesto memimpin doa sebelum makanan dibagikan kepada ibu dan anak-anak yang berkumpul di balai di samping Puskesmas Ayam. 

Kehadiran Pastor Vesto memberikan dukungan moril bagi petugas Puskesmas Ayam, tetapi juga mendorong ibu-ibu hamil dan orangtua untuk membawa anak-anak ke Puskesmas Ayam.

Apakah di tempat lain di Asmat, Pastor atau Pendeta hadir pada saat pemberian makan kepada ibu hamil dan anak-anak Balita? Di manakah tua-tua adat? Mengapa mereka belum hadir dan memberikan dukungan? Sejauh mana Puskesmas berkoordinasi dengan tua-tua adat untuk mengawal proses pemberian makan kepada ibu hamil dan anak-anak?

Di masa depan, para pihak yang hendak melakukan intervensi perbaikan gizi ibu hamil dan anak-anak Asmat harus membangun komunikasi dan koordinasi dengan tua-tua adat, Pastor dan Pendeta sehingga program yang dilaksanakan menjadi tanggung jawab bersama. 

Program perbaikan gizi ibu hamil dan anak-anak Asmat tidak lagi menjadi proyek dari pihak luar, melainkan menjadi bagian dari tanggung jawab masyarakat kampung, tua-tua adat, Pastor dan Pendeta untuk generasi masa depan Asmat dan Gereja. 

[Agats, 16-02-2019; 22.16 WIT_Petrus Pit Supardi]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun