Bentuk evangelisasi dan inkulturasi ini menggunakan pengertian Asia, di mana agama-agama kosmis bertahan dalam bentuk aslinya dan tidak dapat dijinakka oleh agama-agama metakosmis. Agama metakosmis yang telah diinkulturasikan, bagaimanapun juga tidak mudah dicabut oleh agama metakosmis lain, kecuali lewat pemaksaan.[50]
      Mengenai misi Kristiani dalam agama-agama metakosmis, Pieris menekankan suatu inkulturasi yang baru dalam empat cara, yakni:
Pertama, umat Kristen harus melihat bahwa agama-agama non-Kristiani sudah membuka soteriology kosmik mereka menuju dimensi metakosmis. Dua dimensi soteriology ini merupakan kerangka acuan yang telah jadi bagi spiritualitas, liturgi, keterlibatan sosial, dan perumusan teologi kristiani.
Kedua, teologi Asia harus lebih sebagai penyingkapan kritis dan bukan perjuangan interpretasi Kristiani bagi pemerdekaan.
Ketiga, prosedur yang diambil bukanlah 'memperalat' skema non-Kristiani, tetapi mengasimilasikan lewat partisipasi dalam etos non-Kristiani.
Akhirnya, dengan suatu pendekatan pneumatologis,[51] akan sangat penting untuk mendengarkan Roh yang menyatakan Sabda dalam Logos, Hodos, Tao, Dhama sebagai kenyataan penyelamatan. Bagi Pieris, pada akhirnya inkulturasi mengarah kepada kemampuan Gereja untuk mengakui suara Roh dalam tubuh Kristus Asia, yakni dalam diri orang-orang Asia yang sangat menderita dan yang tetap menjawab panggilan-Nya dalam ketaatannya.[52]
 4.3. Partisipasi dalam Spiritualitas Non-Kristiani
 Inti pemerdekaan dari agama-agama Asia adalah Pengajaran dasar yang konsisten sebagai Kebenaran yang membuat kita bebas dari keterikatan, yaitu pada sesuatu yang tidak dapat memberi kita kebebasan. Ini merupakan arti variragya dalam Hinduisme atau Alpecchata dalam Budhisme, dan itu hendak mengatakan secara tidak langsung tentang kepemilikan tanah dan kemiskinan sebagai anjuran dalam religiositas kosmis kesukuan dan klan kultur, yang menggunakan organisasi sosial dalam Buku Hakim-hakim atau dalam "Komunitas" Kristiani perdana yang digambarkan dalam Kisah Para Rasul. [53]
Spiritualitas bersama ini akan menolong agama-agama untuk tidak mengkonkretkan pengajaran dalam dialog mereka, tetapi terutama dalam pemerdekaan dari kekuasaan mamon. Bagi Pieris, inkarnasi tidak hanya hipotesa yang unik antara yang ilahi dan yang insani, tetapi juga identifikasi perjanjian Allah dengan hamba atau kaum miskin di dunia ini. Hal ini berarti bahwa Gereja harus belajar kepada kaum miskin; ajaran ini merupakan magisterium bagi kaum miskin: Gereja perlu kembali menuju pertobatan kepada kemuridan. Pieris menamakannya "evangeliasasi integral."[54] Pewartaan ini terdiri dari kesadaran kaum miskin akan panggilan evangelisasi mereka berhadapan dengan kekuasaan Allah. [55]
Menurut Pieris, kesadaran tersebut merupakan suatu spiritualitas "evangelisasi integral." Prinsip yang harus dipegan adalah: pertama, partisipasi dalam kesetiaan Yesus kepada Allah dan dalam penolakan-Nya terhadap mamon. Kedua, persahabatan Yahwe dengan orang yang lemah di dunia ini; yang serentak menggambarkan misi Yesus dan misi para murid-Nya.[56]
Spiritualitas kemuridan mendorong Gereja untuk membangun sikap solidaritas antar-agama. Sikap solidaritas ini akan melahirkan kerjasama antar-agama. Dengan demikian, evangelisasi integral di Asia akan terwujud. Pieris sangat menekankan aspek tersebut, karena evangelisasi dalam Gereja (khususnya Gereja Roma) merupakan serangan halus atas peranan evangelisasi dari agama-agama lain.[57]