Mohon tunggu...
Peri Nijuar
Peri Nijuar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Profi pribadi

Akun ini pribadi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Maqhosid Syari'ah

23 Agustus 2022   15:10 Diperbarui: 4 Februari 2023   05:51 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

MAKALAH

MAQASHID SYARIAH

Disusun Oleh  :

Feri Nijuar

MANAGEMEN BISNIS SYARIAH

TAHUN PELAJARAN 2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt yang sudah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-nya sehingga kami bisa menyusun makalah dengan dengan judul "Maqashid Syariah" ini dengan baik serta tepat waktu. Tidak lupa juga kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. 

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi nilai tugas dalam mata kuliah Pengantar Studi Islam (PSI). Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan agar menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca. 

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman maka kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempuraan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.

Depok, 6 April 2022

Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDULi

KATA PENGANTARii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN1

A.LATAR BELAKANG1

B.RUMUSAN MASALAH1

C.TUJUAN1

D.METODE PENELITIAN1

BAB II ISI2

A.SUBSTANSI MAQASID SYARIAH2

B.RAGAM MAQASID SYARIAH3

C.RAGAM FIQIH TERKAIT FIQIH MAQASID4

BAB III KESIMPULAN10

DAFTAR PUSTAKA11

BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Maqashid syariah merupakan suatu tujuan menuju syariah atau jalan menuju sumber pokok kehidupan yaitu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

 Menurut Al-Syatibi, sesungguhnya maqashid syariah itu merupakan sebuah konsep dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan bersama bagi semua manusia baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan yang dimaksud yaitu dalam segala aspek kegiatan yang dijalankan oleh manusia itu sendiri. 

Penerapan maqashid syariah dapat dilihat dari keterkaitan maqashid syariah dalam kehidupan masyarakat terutama dalam kegiatan perdagangan atau sering dikenal dengan jual beli.

B.RUMUSAN MASALAH

Permasalahan yang akan kami bahas yaitu :

1.Apa Substansi Maqashid Syariah ?

2.Apa saja ragam Maqashid Syariah?

3.Apa saja ragam fikih yang terkait dengan maqashid terdapat fiqih al-waqi',fiqih at-taisir,fiqih muwazanah,dan fiqih Dakwah?

4.Apa saja batasan-batasan Maslahat ?

C.TUJUAN

Tujuan penulisan laporan observasi ini adalah untuk mengetahui :

1.Mengetahui dan memahami Substansi Maqashid Syariah

2.Mengetahui dan memahami ragam Maqashid Syariah

3.Mengetahui dan memahami ragam fikih yang terkait dengan maqashid bisnis terdapat fiqih al-waqi',fiqih at-taisir,fiqih muwazanah,dan fiqih Dakwah

4.Mengetahui dan memahami batasan-batasan Maslahat

D.METODE PENELITIAN

-Teknik mengunjungi situs situs web

-Buku Maqasid

BAB II

ISI

A.SUBTANSI MAQASHID SYARIAH

Dalam kamus bahasa Arab, maqshad dan maqashid berasal dari akar kata qashd . Maqashid adalah kata yang menunjukkan banyak (jama'), mufradnya adalah maqshad yang berarti tujuan atau target. Selain bermakna tujuan atau target, maqshad dan maqashid juga memiliki beberapa makna yang ditentukan oleh siyaq al-kalam. Makna-makna tersebut adalah:

1. Pertengahan atau moderat, seperti dalam ungkapan (dia selalu bersikap moderat dalam segala hal) () ()

2. Matang, seperti dalam ungkapan : () (dia berkepribadian matang)

3. Mudah, seperti dalam ungkapan () (jalan yang mudah)

Sedangkan menurut istilah, tercatat hanya Imam ath-Thahir ibnu 'Asyur dan al-'Allamah 'Ilal al-Fasi yang pertama-tama menjelaskan definisi maqashid syariah.

Menurut Ibnu 'Asyur, maqashid syariah adalah:

"Makna atau hikmah yang bersumber dari Allah Swt. yang terjadi pada seluruh atau mayoritas ketentuan-Nya (bukan pada hukum tertentu)".

Menurut al-Fasi, maqashid syariah adalah:


"Tujuan atau rahasia Allah Swt. dalam setiap hukum syariat-Nya".

Ar-Risuni memberikan definisi maqashid syariah yang lebih jelas lagi, yaitu:

"Tujuan yang ingin dicapai oleh syariat ini untuk merealisasikan kemashlahatan hamba"?"

Menurut penulis, walaupun definisi-definisi di atas berbeda ungkapannya, tetapi substansinya sama. Dan bisa disimpulkan dengan definisi yang lebih singkat, bahwa maqashid syariah adalah:

"Memenuhi hajat manusia dengan cara merealisasikan mashlahatnya dan menghindarkan mafsadah dari mereka".

Untuk memperjelas makna maqashid syariah, perlu di jelaskan istilah-istilah terkait dalam ushul fikih sebagaimana dijelaskan oleh asy-Syatibi dan Ibnu 'Asyur, yaitu:

1. Hikmah adalah tujuan ditetapkan atau ditiadakannya suatu hukum, seperti Ifthor (berbuka) sebagai hikmah dari adanya masyaqqoh (kesulitan).

2. Mashlahat adalah setiap perkara yang memberikan kemmanfaatan dan menghapus kemadharatan.

3. 'Illat adalah sifat yang dzohir (jelas), mundhobith (bisa - diterapkan dalam setiap kondisi), yang menjadi manath (acuan) setiap hukum, seperti safar menjadi 'illat di syariatkannya ghasr."

Dari definisi-definisi di atas juga, penulis bisa menyimpulkan dua hal penting:

1. Setiap maqashid (tujuan) dalam maqashid syariah adalah setiap mashlahat baik berupa manfaat yang dicapai atau madharat yang dihindarkan, jadi substansi maqashid syariah adalah mashlahat.

2. Maqashid syariah sering dikenal juga dengan istilah hikmah.

3. Jika maqashid syariah berfungsi menguatkan isi hukum, maka illat berfungsi menentukan ada dan tidaknya sebuah hukum. Dalam Maqashid Syariah terdapat Maqashid 'Ammah, yaitu tujuan-tujuan yang terkandung dalam setiap bab syariah seperti kulliyatu al khomsah dan Maqashid khassah yakni tujuan-tujuan yang terkandung dalam setiap hukum-hukum syariah.

Sesuai dengan definisi ini, maka maqashid adalah mashlahat dan mashlahat adalah maqashid, maka pembahasan penting pertama adalah batasan mashlahat. Maqashid syariah: Merealisasikan mashlahat setiap manusia dan menghindarkan mafsadah dari mereka. Maqashid syariah adalah Mashlahat dan mashlahat adalah maqashid syariah.

B.RAGAM MAQASHID SYARIAH

Imam asy-Syatibi menjelaskan ada 5 (lima) bentuk maqashid syariah atau yang biasa disebut kulliyat al-khamsah (lima prinsip umum). Kelima maqashid tersebut, yaitu:

1. melindungi agama,

2. melindungi jiwa,

3. melindungi pikiran,

4 melindungi harta,

5. melindungi keturunan;

Kelima maqashid tersebut di atas bertingkat-tingkat sesual dengan tingkat mashlahat dan kepentingannya. Tingkatan urgensi dan kepentingan tersebut ada 3 (tiga), yaitu:

 Dharuriyat, yaitu kebutuhan yang harus dipenuhi, yang jika tidak dipenuhi akan membuat kehidupan menjadi rusak.

 Hajiyat, yaitu kebutuhan yang seyogianya dipenuhi, yang jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan kesulitan.

Tahsinat, kebutuhan pelengkap: yang jika tidak dipenuhi akan membuat kehidupan menjadi kurang nyaman.

" Dalam kebutuhan manusia terhadap harta itu ada yang berisfat dharuri (primer), ada yang bersifat haji (sekunder) dan ada juga yang bersifat tahsini (pelengkap). Begitu pula hajat dan kebutuhan lainnya itu berbeda-beda tingkat kepentingannya".

"Mashlahat adalah memenuhi tujuan Allah Swt. yang ingin dicapai pada setiap makhluknya. Tujuan tersebut ada 5 (lima), yaitu melindungi agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan hartanya. Standarnya; setiap usaha yang merealisasikan lima maqashid tersebut, maka itu termasuk mashlahat. Dan sebaliknya, setiap usaha yang menghilangkan lima magashid tersebut, maka termasuk madharat"

C.RAGAM FIQIH YANG TERKAIT DENGAN FIQIH MAQASHID

Sesungguhnya makna fikih yang dimaksud di sini bukan makna fikih yang bermakna mengetahui hukum-hukum syara' yang bersumber dari dalil-dalil tafshili. Seperti berwudhu itu wajib sebelum shalat, melakukan praktik riba itu haram, Thawaf Ifadhah itu wajib.

Fikih yang dimaksud di sini lebih luas dari makna fikih di atas, yakni: Menguasai, memahami atau dikenal dalam istilah Al-Qur'an ('ala Bashiroh). Makna inilah yang dimaksud dalam lafadz-lafadz fikih dalam Al-Qur'an dan Al-Hadis. Di antara contohnya:

-

Katakanlah "Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadam deri atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan golongan (yang saling bertentangan) dan merasa kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami (nya)".

"

 dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui. (QS Al-An'am [6]: 98)

Lafadz fikih dalam dua ayat di atas bermakna memahami setiap ketentuan Allah, termasuk ketentuan Allah terhadap orang orang yang menyimpang dari ajarannya. Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang menyebutkan lafadz fikih dengan makna tersebut.

Jika ditelaah, ayat-ayat di atas termasuk surat makkiyah (surat-surat yang turun di Makkah), ayat-ayat tersebut turun sebelum disyariatkannya hukum fikih. Hal ini menguatkan kesimpulan bahwa makna fikih dalam ayat di atas bukan bermakna fikih (baca fikih ahkam).

Dalam hadis Rasulullah Saw., di antaranya:

"Jika Allah menginginkan kebaikan terhadap seseorang, maka Allah akan membuatnya faham akan agama" Maknanya, Jika Allah menginginkan kebaikan terhadap seseorang, Allah memudahkannya untuk memahami agama secara utuh termasuk di antaranya rahasia dan maqashid dan tidak hanya memahami lafadznya saja. Jadi, makna fikih yang dimaksud Al-Qur'an dan Al-Hadis adalah ala bashirah (memahami agama secara utuh).

Makna fikih inilah yang terpresentasikan pada fikih wasathiyah, fikih waqi', fikih taisir, fikih maqashid, fikih muwazanah dan fikih dakwah :

1. Fikih al-Waqi'

fikih waqi' adalah mengetahui ihwal yang ditanyakan dan memahami substansi permasalahannya secara detail dan benar. Dan jika diperlukan, bisa menanyakan lebih mendalam kepada pihak yang bertanya (mustafti), melakukan hearing dengan pihak-pihak terkait, melakukan hearing dengan para pakar yang memahami substansi permasalahannya dan pihak yang mengetahui tradisi dan kondisi waktu itu.

Fiqh al-waqi' ini adalah langkah pertama yang penting dilakukan oleh seorang mufti dan ahli fikih untuk berfatwa dalam setiap permasalahan.

 Khususnya dalam masalah-masalah muamalah karena masalah muamalah berhubungan dengan kegiatan masyarakat pada umumnya dan menjadi masalah yang selalu berkembang Dinamika bab muamalah ini harus disertai dengan pahan yang dinamis (al-figh al mutajaddid) sesuai dengan tempat dan kondisi masyarakat. 

Fiqih waqi' menjadi penting karena menentukan status belumnya, jika takyif (identifikasinya) fighnya benar mata hukumnya benar pula, dan sebaliknya jika takyif fiqhnya tida benar maka hukumnya menjadi tidak benar pula.

Fiqih waqi' inilah yang menjadi tradisi ijtihad para sahabat, khulafa ar-rasyidin, dan para imam-imam mujtahid dalam berijtihad dan mencari hukum, khususnya hukum yang terkait dengan mathlahat dan tradisi yang bisa berubah-ubah. Hal ini pula yang mendorong Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata :

()

"Bicaralah kepada manusia tentang permasalahan (hukum) sesuai dengan tingkat kemaksiatannya".

Salah satunya dengan bisa kita lihat pada proses ifta yang dilakukan di DSN (Dewan Syariah Nasional), di mana setiap pertanyaan akan dikaji oleh tim yang ditunjuk, selanjutnya diadakan pertemuan dengan mustafti untuk memperdalam substansi masalah yang ditanyakan, sehingga memahami dengan benar masalah yang ditanyakan (fiqih al-waqi'ah). 

Salah satu contoh fiqh al-waqi' adalah transaksi giro di bank syariah. Dalam form akad, disepakati akad yang digunakan antara bank dan nasabah pemilik giro adalah akad wadiah (yad Dhaman), 

Tetapi jika ditelaah secara mendalam, akad yang terjadi adalah akad qardh karena objek akad adalah uang yang digunakan oleh bank tanpa seizin nasabah, maka bank dhamin bertanggung jawab terhadap uang nasabah. Ini adalah ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam akad qardh.

:

 As-Samarkandi berkata: "Setiap barang yang dimanfaatkan dengan cara dikonsumsi (istihlak), maka itu hakikatnya qardh, dan dinamakan 'ariah secara majaz",

2. Fikih At-Taisir

Fikih Taisir adalah berijtihad atas dasar prinsip taisir. Misalnya jika ada beberapa pendapat fuqaha, maka pendapat yang dianggap rajih adalah pendapat yang mudah dilaksanakan selama memiliki dalil yang bisa dijadikan hujjah.

Fikih taisir inilah yang dijadikan salah satu pertimbangan hukum dalam syariat Islam ini, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Al-Hadis sebagai berikut:

Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS Al-Hajj [22]: 78)

"berikanlah kabar gembira dan jangan menakut-nakuti, dan permudahlah dan jangan mempersulit".

Di antara kaidah fiqh at-taisir adalah jika ada dalil yang memiliki derajat sama atau ada dua pilihan yang hukumnya boleh, maka seyogianya memilih pendapat yang lebih memudahkan, Jika salah satu pendapat tersebut mengakibatkan mashlahat dan pendapat lain yang mengakibatkan mafsadah, maka seyogianya menutup pintu mafsadah tersebut (sad adz-dzariah), dan memberikan alternatif lain yang halal.

Beberapa prinsip fikih taisir sebagai berikut:

 a. Memerhatikan aspek rukhsah

 b. Mendahulukan pendapat yang lebih mudah daripada pendapa yang ahwath (lebih hati-hati)

 c. Mempersempit wilayah wajib dan haram

 d. Memudahkan hal-hal yang sudah menjadi 'umum al-balwa (sesuatu yang tidak bisa dihindarkan).

Di antara contoh praktik fiqh at-taisir adalah fatwa DSN tentang jual beli emas. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat, sebagian ulama salaf melarangnya karena termasuk riba nasi'ah, sedangkan sebagian ulama kontemporer membolehkannya karena 'illat emas sebagai harta ribawi adalah tsamaniyah; maksudnya emas yang menjadi harta ribawi adalah emas yang menjadi mata uang. 

Tetapi saat ini, emas yang diperjualbelikan itu telah menjadi komoditi dan bukan mata uang, maka bukan termasuk harta ribawi, maknanya boleh membeli emas dengan tempo. Pendapat inilah yang sesuai dengan kaidah fiqih taisir.

3. Fikih Muwazanah dan Aulawiyat

Fikih Aulawiyat (fikih taisir) Prioritas adalah meletakkan setiap urusan (baik hukum, nilai atau perbuatan) secara adil dan proporsional; dengan mendahulukan yang lebih penting dari yang penting berdasarkan standar-standar syar'i.

Berdasarkan definisi ini, fikih prioritas berarti mendahulukan yang lebih penting dari yang penting, mendahulukan yang lebih utama dari yang utama, memprioritaskan yang lebih mendesak daripada yang kurang mendesak, kecil atau dengan bahasa lain, mendahulukan yang harus didahulukan dan menunda yang seharusnya diakhirkan.

Di antara dalil yang menunjukkan tentang fikih prioritas ini adalah:

Pertama, Firman Allah Swt.:

 Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah? mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim (QS Al-Taubah [9]: 19). 17

Kedua, Sabda Rasulullah Saw.:

: : :

" Iman memiliki tujuh puluh cabang: yang tertinggi adalah: Tiada Tuhan selain Allah, dan yang terendah: menghilangkan hal-hal yang berbahaya dari jalan"

Kedua dalil di atas menunjukkan bahwa amal itu berbeda beda keutamaan dan tingkat prioritasnya, oleh karena itu Rasulullah menganjurkan untuk melaksanakan amal-amal yang lebih utama dan prioritas.

Di antara kaidah-kaidah fiqh muwazanah adalah:

"Mendahulukan mashlahat jangka panjang yang kuat atas mashlahat saat ini tapi lemah".

"Mendahulukan mashlahat yang substantif atas mashlahat yang bersifat formalitas"

"Mendahulukan mashlahat abadi daripada mashlahat sementara".

"Mendahulukan mashlahat masyarakat banyak atas mashlahat individu".

"Dharar (bahaya) tidak bisa dihilangkan dengan dharar sejenis atau dharar yang lebih besar".

"Dharar (bahaya) yang lebih ringan itu yang harus dipilih".

"Dhahar yang sifatnya terbatas itu yang dilakukan untuk mencegah dharar yang lebih luas."

4. Fikih Dakwah/Taghyir

Fikih dakwah/taghyir yakni bagaimana fatwa dan hasil ijtihad itu bisa diterima dan diaplikasikan oleh masyarakat.

 Ada tiga hal penting yang menjadi dhowabit fiqh taghyir,yaitu:

1. Riayatu dharurat, maksudnya pembenahan yang dilakukan harus memerhatikan aspek dharurat karena kondisi dharura memiliki hukum dan ketentuan khusus yang berbeda dengan kondisi normal.

2. Qa'idatu akhaffi dhararain, yakni memilih pendapat yang paling sedikit mafsadahnya. Berdasarkan (istisyhad) kaidah ini, para ulama membolehkan taat kepada pemimpin yang fasiq.

3. Sunnatu at-tadarruj, maksudnya pembenahan yang dilakukan harus memerhatikan aspek tadarruj (kebertahapan). Tadarruj ini juga yang menjadi simat (karakteristik) syariat Islam ini, seperti yang terjadi pada keharaman riq (perbudakan), khamr, riba dan lain sebagainya.

D. Batasan-batasan Mashlahat

Mashlahat dalam syariat Islam memiliki dhowabith (batasan) yang harus dipenuhi untuk menentukan substansi mashlahat yang bersifat umum (kulli) dan mengaitkannya dengan dalil hukum (tafshili), sehingga ada keterkaitan antara aspek kulli dan aspek tafshilinya. 

Di samping itu, juga agar mashlahat itu mempunyai kekuatan hukum. Batasan ini juga sangat penting agar mashlahat yang dimak sud adalah mashlahat yang dikehendaki oleh Allah Swt. selaku pembuat dan sumber hukum agar mashlahat ini tidak ditafsirkan secara liar dan tanpa batas, misalnya sesuatu yang sebenarnya madharat dinamakan mashlahat. Dhowabith mashlahat yang dimaksud tersebut adalah:

Batasan Pertama: Mashlahat Itu Termasuk Bagian dari Maqashid Syariah

Mashlahat yang dimaksud harus salah satu bagian dari 5 (lima) unsur dalam maqashid syariah atau tujuan yang Allah Swt. inginkan pada makhluknya yaitu sebagai berikut:

a. Memenuhi hajat agamanya.

b. Memenuhi hajat jiwanya,

C Memenuhi hajat akalnya,

d. Memenuhi hajat keturunannya,

e Memenuhi hajat hartanya.

Kelima hajat tersebut didasarkan pada Istiqra' (telaah) terhadap hukum-hukum furu (juz'iyyat) bahwa seluruh hukum hukum furu' tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu melindungi kelima hajat manusia tersebut.

 Sebagaimana telah dijelaskan bahwa setiap perilaku yang bertujuan untuk memenuhi kelima hajat itu adalah mashlahat dan sebaliknya setiap perilaku yang menghilangkan kelima hajat tersebut itu adalah mafsadat, sebagaimana penjelasan asy-Syatibi:

" "

"Mashlahat adalah memenuhi tujuan Allah Swt. yang ingin dicapai pada setiap makhluknya. Tujuan tersebut ada 5 (lima) yaitu menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan hartanya. Standarnya, setiap usaha yang bertujuan melindungi lima maqashid ini, maka itu termasuk mashlahat. 

Dan sebaliknya, setiap usaha yang bertujuan menghilangkan lima magashid ini, maka termasuk madharat". Suatu hal bisa dikategorikan mashlahat jika bagian dari kulliatu al-khamsah tersebut di atas, jika bukan bagian dari Kulllatu al-Khamsah, maka tidak bisa dikategorikan mashlahat.

Batasan Kedua: Tidak Bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah

1. Tidak Bertentangan dengan Al-Qur'an

Setiap mashlahat harus menjadi bagian dari 5 (lima) maqashid syariah itu tidak cukup, tetapi harus dipastikan tidak bertentangan dengan nash Al-Qur'an, Jika suatu mashlahat bertentangan dengan Al-Qur'an, maka tidak bisa dikategorikan mashlahat. Al-Buthi menjelaskan bahwa setiap mashlahat yang berten tangan dengan Al-Qur'an terbagi kepada dua bagian:

a. Mashlahat yang didasarkan pada asumsi dan tidak didasarkan pada qlyas, nash yang goth'i dilalah (tidak multi tafsir), maka kekuatan hukum mashlahat tersebut menjadi batal. Misalnya firman Allah Swt:

Padahal Allah Swt. telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Ayat ini menjelaskan perbedaan hukum jual beli dan hukum riba, jual beli itu hukumnya boleh, sedangkan riba itu diharamkan. Maka jika ada hasil analisis ekonomi yang menyimpulkan bahwa bunga atas pinjaman itu bermanfaat dan menguntungkan sehingga dibolehkan, maka kesimpulan ini tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan ayat tersebut di atas.

b. Mashlahat yang didasarkan pada qiyas yang benar. Mashlahat sebagai far yang diqiyaskan kepada ashl karena memiliki illa yang sama.

Jika mashlahat seperti ini bertentangan dengan Al-Qur'an sedangkan perbedaan antara keduanya adalah perbedaan juz'i, seperti perbedaan antara 'am dan khas, maka hakikatnya perbedaan ini adalah perbedaan antara dua dalil yang memiliki kekuatan hukum yang sama. Maka, memaknai kedua dalil yang bertentangan ini menjadi kewenangan ahli ushu figh.

2. Tidak Bertentangan dengan As-Sunnah

Seluruh ulama baik ulama masa sahabat, tabi'in dan imam mazhab telah konsensus (ijma) bahwa mashlahat yang tidak memiliki sandaran qiyas, jika bertentangan dengan As-Sunnah yang bersifat qot i ataupun zhanni, maka mashlahat tersebut tidak berkekuatan hukum.

Jika mashlahat didasarkan pada qiyas, maka ada dua kategori hukum:

a. Jika mashahat didasarkan pada qiyas tetapi bertentangan dengan nash qath'i dan sharih, maka qiyas tersebut adalah qiyas fasid (qiyas yang salah) dan tidak bisa dijadikan sandaran hukum.

b. Jika mashlahat didasarkan pada qiyas tetapi bertentangan dengan nash zhanni seperti khabar ahad, dan pertentangan ini bisa diselesaikan dengan cara takhsis (mengkhususkan) - misalnya maka hukumnya dikembalikan kepada ijtihad para mujtahid untuk menggabungkan antara nash dan bukan memilih mashlahat dan meninggalkan nash.

Menurut ar Risuni, qiyas tidak perlu dimasukkan dalam with gou karena mashlahat itu jika berkesesuaian dengan maqashad syariah, maka syarat tersebut (tidak bertentangan dengan qas) tidak perlu lagi. Karena mashlahat seperti ini adalah ashl dan menjadi maqshud, mashlahat yang berstatus ashl dan tujuan ini tidak bisa diqiyaskan.

Kesimpulannya, karena Al-Qur'an dan As-Sunnah itu adalah sumber hukum (al-ashl), dan mashlahat adalah salah satu muatan hukumnya (al-faru), maka tidak mungkin muatan hukum bertentangan dengan sumber hukum. Oleh karena itu, mashlahat yang bertentangan dengan sumber hukum itu bukan mashlahat.

Batasan Ketiga, Tidak Bertentangan dengan Mashlahat yang Lebih Besar

Mashlahat menjadi berkekuatan hukum, jika tidak bertentangan dengan mashlahat yang lebih besar. Jika terdapat mashlahat yang lebih besar, maka mashlahat lebih kecil itu menjadi batal.

Setiap hukum fikih tidak akan melahirkan mashlahat atau tidak mengandung mashlahat kecuali jika mashlahat tersebut sesuai dengan hukum tersebut. Dan mashlahat bisa sesuai dengan hukum tersebut jika tidak bertentangan dengan mashlahat yang lebih besar atau yang setara.

BAB III

KESIMPULAN

Maqshad syariah yang berarti tujuan atau target segala hal. Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa al-fiqh al-wasathi (fikih moderat) adalah fiqh yang merefresentasikan fikih waqi' yakni memahami ketentuan agama didasarkan pada kondisi dan realita yang benar, fikih muwazanah yakni memahami ketentuan Allah dengan menakar madharat yang lebih ringan,fikih aulawiyat, 

yakni fikih prioritas dengan memilih opsi yang prioritas dilaksanakan sesuai standar syar'i, fikih taisir yakni berijtihad atas dasar prinsip taisir, fikih maqashid yakni berfatwa sesuai dengan maqashid (tujuan) dari setiap hukum, fikih dakwah yakni bagaimana ketentuan-ketentuan Allah di antaranya fatwa dan ijtihad-itu diterima dan diaplikasikan oleh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Dr. Omi Sahroni, M.A

Ir. Adiwarman A. Karim, S.E.,M.B.A.,M.A.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun