< ?xml:namespace prefix = o ns = "urn:schemas-microsoft-com:office:office" />
PERTEMUAN
Oleh
Pasya Firmansyah
*Persembahan dari hati untuk dia yang jauh di
mata*
< ?xml:namespace prefix = v ns = "urn:schemas-microsoft-com:vml" />
Tidak
terasa waktu begitu cepatnya berlalu. Seharusnya sejak dulu aku sudah habiskan
waktu bersamanya. Sebelum perasaan takut akan masa depan bersarang di benaknya.
Rasa takut yang mungkin saja di miliki segenap kaum Hawa. Biarpun demikian
ternyata malam ini aku sangat beruntung dapat bertemu kembali dengannya.
H
-2
Tidak
banyak hal yang dapat di kerjakan sebagai seorang tenaga kerja outsourcing. Kesehariannya hanya menunggu
perintah dari atasan atau membicarakan orang lain. Karyawan outsourcing di tempat ini hanya sebagai
alas kaki bagi pekerja tetap lainnya, “Kalau suka silahkan ikuti aturan dan
terus bekerja. Kalau tidak suka silahkan cari tempat yang lebih baik”. Outsourcing hampir sama dengan mayat
hidup. Sebagian dari padanya memiliki prinsip yang sama “Dari pada tidak kerja,
dari pada anak dan istri terlantar?!”. Di perusahaan ini Outsourcing terdiri dari beberapa golongan jabatan. Administrasi,
pengantar surat, security, tehknisi
komputer, cleaning service, pengantar
minum serta semua pekerjaan berat lainnya. Tidak ada jenjang karir, tidak ada
tunjangan hari tua, tidak ada pesangon dan juga tidak ada upskilling. Uang bulanan yang di dapatkan, cuma sekedar untuk gali
lubang-tutup lubang. Mencari pinjaman dan membayar pinjaman. Sesekali waktu aku
ber-fantasi tentang sebab-musabab keberadaan outsourcing. Keberadaan outsourcing
di tempat ini tidak lain hanyalah sebagai alat balas dendam kesumat dari pada
kaum intelektual. Dapatlah di
bayangkan, jika semasa sekolah dulu ada satu orang juara kelas yang setiap
waktunya di isi dengan belajar. Seorang kutu buku yang menarik diri dari
lingkungan sosialisasi-nya dan merubah dirinya sebagai seorangpublic
enemy. Hingga akhirnya setelah berada dalam posisi kemapanan, seorang
jawara kelas tersebut melampiaskan masa lalu-nya dengan cara mengelompokkan
manusia pada kasta kepandaian dan kekayaan. Dan dampak lainnya adalah berbagai
kasus korupsi yang semakin marak terjadi, selalu berasal dari kalangan kaum intelektual.
Di
usia yang hampir memasuki kepala tiga, aku putuskan untuk tidak seperti
kebanyakan tenaga kerja outsourcing
lainnya. Kalau tidak banyak pekerjaan yang dapat di lakukan, biasanya aku
selalu pergunakan waktu senggang untuk sekedar bertegur sapa dengan teman-teman
lama di dunia maya (Chating). Di dalam content
email address tepat dimana sering kali
kugunakan untuk chating, sengaja aku hias foto profile dengan pose narsis4
yang dapat memikat perhatian untuk balas bertegur sapa. Dalam memulai
pembicaraan, sapaan yang sering kali kupakai, “Hi”. Beberapa dari mereka
membalas, “Hi juga”.Beberapa lainnya
sama sekali tidak menyahut. Tapi kali ini aku tidak perdulikan mereka menjawab
atau tidak. Sebab yang hanya ingin aku dengar adalah perkataan darinya. Seorang
gadis manis yang berasal dari kalangan Aristokrat.
Aku biasa memanggilnya dengan sebutan Ani.
“Hi, pa kabar An?”.
Beberapa puluh
menit berselang dia membalas.
“Mmh” .
Kesempatan
ini hanya datang satu kali dan tidak akan pernah aku sia-siakan. Beberapa menit
lamanya, Aku renungkan sejenak kosa kata yang nantinya dapat jawaban panjang
darinya.
“Katanya loe itu
udah nikah, ya?!”.
“Kata siapa?”.
“Dari gosip
anak-anak”.
“Belum”.
“Btw (By the way). Gimana kabar Melan dan
teman-teman lainnya?”.
“Wah. Gue udah
ngga pernah kumpul sama anak-anak lagi”.
“Gimana kalau
kita reunian kecil-kecilan? Nanti gue kabarin Melan dan anak-anak lainnya,
supaya pada dateng juga”.
“Mmh, Boleh. Tapi,
nanti jemput gue aja!”.
Seperti umumnya gadis Aristokrat. Selalu mendambakan laki-laki
yang kelak kendaraan mewah dan pangeran yang selalu senantiasa membukakan pintu
untuknya. Ani pun tidak-lah jauh berbeda harapannya.
“Kapan waktunya?
Kalau besok bisa? Nanti kita ketemuan rame-rame sama anak-anak yang lainnya”.
“Bisa. Besok kebetulan
gue ketemuan sama saudara gue.. Anak-nya baru lahiran. Tapi nanti gue kasih
kabar lagi tempatnya dimana.. Berapa nomor loe?”.
“0856********.
Di tunggu kabarnya, nanti malam!”.
“Ok”.
“Bisa, ngga bisa
kasih kabar?!”.
Percakapan itu
telah membuat hati ini begitu bergelora lagi penuh gairah.
Detik
berlalu menit pun segera berganti. Semalaman ini, aku nantikan kabar berita
darinya. Gelisah serta harap-harap cemas berselimut dalam pikiran. Aku
bayangkan segala rentetan peristiwa yang nantinya akan terjadi sewaktu
pertemuan. Setiap perkataan serta tindak-tanduk yang harus aku lakukan dan
tidak boleh aku lakukan. Ke-tajaman imajinasi ini aku peroleh berkat kebiasaanku
menuliskan setiap kejadian penting yang pernah aku alami, pada sebuah buku catatan
kecil. Semakin banyak aku menulis, semakin peka panca indra ini merespon segala
kejadian yang terjadi di sekitarku.
Hampir
pukul sepuluh malam, kabar berita tidak kunjung datang darinya. Berkali-kali
aku sisir kolom inbox massages di
telepon cellular. Tidak ada satu pesan singkat pun di dalamnya. Sampai pada akhirnya,
suatu getaran dari telepon cellularku. Sabaris pesan singkat darinya.
“Maaf, besok
kita ngga jadi ketemuan. Hari Sabtu aja, gimana?”.
Aku balas
tersebut dengan setengah kesalnya.
“Ya sudah. Mau
gimana lagi.Sampai ketemu besok, Sabtu ya An!”.
H
-1
Sinar
surya belum lagi menampakkan ke agungannya. Suara kicau burung-burung gereja
bernyanyi sudah turut serta mengundang keceriaan di suasana pagi. Sebelum
bertemu matahari, aku sudah siap bergegas ke tempat kerja. Seribu meter,
ratusan kilo menjadi saksi bisu untuk sampai ke tempat kantor.
Telah
menjadi tradisi, biasanya setiap pagi selalu ada briffing di perusahaan ini. Briffing
yang menjelaskan rencana kerja dan apa yang akan di kerjakan hari ini. Tanpa
pernah kuperdulikan apa saja yang harus kulakukan hari ini. Sebab pikiranku terlalu
asyik memikirkannya. Lagi pula tugas utama-ku di kantor ini hanya menunggui
surat keluar dan mengantarkannya ke fungsi lain.
Persiapan serta seluruh rencana harus tetap
berjalan baik. Aku ambil secarik kertas serta kususun beberapa runutan kejadian
yang mungkin nanti dapat terjadi. Setelah selesai dengan semua persiapan,
saatnya membuat kepastian pertemuan. Aku hidupkan komputer guna mencari jawaban
darinya. Begitu mengejutkan, tidak biasanya kotak inbox ini di penuhi dengan pesan yang belum di buka. Diantara beberapa
pesan-pesan yang tidak penting, aku dapati pesan dari salah seorang sahabat
semasa kuliahku dulu. Ah, ternyata undangan pernikahan yang bertepatan dengan
pertemuan besok. Biasanya aku paling malas untuk datang ke acara pernikahan.
Namun kali ini, undangan ini telah membuatku mengatur ulang jadwal yang
bertepatan dengan pertemuan. Berkali-kali pesan singkat yang aku kirimkan melalui
email tidak di jawab. Tidak hilang
akal, aku hubungi lewat telepon cellular.
“Hallo.. Besok
gimana, An? Jadikan kita ketemuan!”.
“Ya.. Besok jadi.
Kita ketemu di Pondok Indah Mall”.
“Jam berapa, An?!”.
“Jam tujuh
malam”.
“Sorry.. Loe
jemput gue di ragunan aja, gimana?!”.
“Ya..Nanti gue
jemput loe disana?!”
Siang
hari itu merupakan siang terindah dalam hidupku. Tidak pernah aku bayangkan
sebelumnya, dia mau untuk menemuiku. Meski aku sadari pertemuan itu hanya akan
satu kali dan tidak akan pernah berlanjut ke pertemuan berikutnya.
H
Kemacetan
sudah terlihat di mana-mana. Padahal hari ini adalah hari libur Nasional.
Klakson milik para pengumudi terdengar di setiap ruas jalanan. Tidak ada lagi
tempat bagi pejalan kaki. Para penguasa jalanan merenggut paksa lahan para
pejalan kaki. Setiap waktu adalah uang. Tanpa pernah tergesa-gesa, aku kendarai
laju sepeda motor pada kecepatan biasa.
Rasanya
pertemuan ini teramat berat di lakukan. Pikiran seakan melayang-layang membelah
dinding keramaian. Berkilo-kilo meter sudah jalan yang aku susuri. Aku
sepertinya tersesat di tengah kemacetan. Jarum jam tepat menunjukkan pukul lima
sore. Semua jalanan tampak bagaikan sebuah labirin yang berputar melingkar.
Begitu sulitnya untuk dapat sampai ke tempat resepsi pernikahan temanku.
Berkali-kali aku tanyakan alamat pada setiap orang. Beberapa kali telepon cellularku
sempat berdering. Sengaja tidak kujawab panggilan darinya. Karena aku ingin
mencari sebuah tempat yang tidak bising oleh lalu-lalang kendaraan bermotor.
Dengan
jerih payah bertanya ke setiap orang, akhirnya aku temui tempat acara resepsi
pernikahan temanku. Secepatnya jaket serta berbagai aksesori yang melekat
hangat di tubuh aku lepas serta ku taruh pada sebuah box yang tertanam di badan motor. Sekali lagi handphone berbunyi. Aku putuskan agar menjawab panggilan darinya.
“Ada apa, An?”
“Lagi ada dimana
sekarang?”
“Oh. Gue lagi di
acara resepsi teman gue dulu nih! Memangnya kenapa?”.
“Ternyata kita
ketemu-nya, jam enam! Bisa,kan?”
“Ya”.
Suaranya amat teduh terasa
menyejukkan kegalauan hati. Selesai pembicaraan, segera aku langkahkan kaki
memasuki pendopo pelaminan. Resepsi pernikahan berjalan lancar dan khidmat.
Melihat kebahagiaan pasangan pengantin membuat iri di dalam hati. Begitu iri rasanya
melihat keberuntungan di pihaknya. Menikah dengan tersedianya dana orang tua. Tanpa
perlu aku pusingkan beruntung atau tidaknya.
Matahari tengah siap ke peraduan, saatnya
melaju kembali dengan sepeda motor. Perubahan jam pertemuan memang berakibat
hilangnya daya ingat serta konsentrasi dalam mengendarai sepeda motor.Sekali lagi aku di hadapkan pada sebuah
putaran labirin. Biasanya untuk sampai ke Mall Pondok Indah hanya di butuhkan
waktu satu jam, Namun saat ini jarak tempuh bertambah menjadi dua jam. Di balik
saku kantong celana blue jeans, getaran handphone
tidak berhenti memangil-manggil. Sembari memegang stang kemudi, aku bicara dalam nada keterdesakan.
“Sorry, kita
ngga jadi ketemuan di Mall Pondok Indah. Sekarang gue lagi ada di rumah sakit
di sekitar sana, ketemuannya disini aja”.
“Ya, udah nanti
gue kesana?!”.
“Emang, loe
kemari naik apa?”
Sesuai rencana
yang telah aku susun sebelumnya. Aku alihkan perhatiannya dari pertanyaan
kendaraan.
“Ya. Sampai
ketemu disana, ya!”
Beberapa menit berlalu berganti
detik. Sampai juga akhirnya di tempat yang di tentukan. Dari arah luar rumah
sakit, aku parkirkan sepeda motor di bawah pepohonan rindang. Suara handphone kembali berdering memangil.
“Sudah ada
dimana sekarang?”.
“Ini udah ada di
parkiran”.
“Parkiran mana?
Ko, ngga kelihatan sih?!”
“Biar gue
samperin loe aja”.
Sambil terlibat
percakapan. Bergegas aku hampiri keberadaanya. Sengaja ku tutupi kedatangan
dengan berkendara sepeda motor.
“Sekarang gue
udah di lobi rumah sakit. Loe ada dimana, An?”.
“Coba deh loe
terus lurus aja. Parkiran-nya ada di pintu keluar Utara”.
“Ngga ada.
Dimana-nya?”
“Coba lihat ke depan
ada Mercy warna Silver”.
“Ya.. Gue udah
lihat?! Loe, dimana-nya?!”
“Sebentar gue
putar balik dulu! Loe tunggu di situ aja. Biar nanti gue turun samperin loe”.
“Ya. Ini juga
ngga ke mana-mana!”
Dari lawan arah,
tiba-tiba tangan-nya menepuk lembut di bahu. Kemudian memperkenalkan saudara
sepupunya.
“Hai. Apa
kabar?! Ini kenalin Teh Ia dan suaminya”
“Hey.. Baik.
(Berjabat tangan)”.
Kedatangannya
menghilangkan seluruh gundah serta galau di hati ini. Berdua bersamanya, aku
susuri parkiran yang telah bermandikan keremangan cahaya malam.
“Mobil loe
parkir dimana?”
“(Diam). Gue
bawa motor?!”.
“Ha.. Jadi loe
bawa motor!”.
“Ini, Jaketnya.
Dan ini Helmnya. Mau di pake atau nanti basah kehujunan? Udah gerimis”.
“Mau gimana
lagi. Coba? Terus loe nanti pake apa?”.
“Jangan takut
gue biasa ngga pake jaket ko!”.
Rintik hujan memayungi perjalanan
kita, menuju ke suatu pusat perbelanjaan mewah. Dalam perjalanan, tidak
henti-henti dia mendumal tentang sebab
berkendara bermotor.
“Surprise. Kalau dari awal gue bilang
bawa motor, gue yakin loe pasti ngga akan mau pergi kan?!”
“Ya. Iya-lah.
Ngomong-ngomong ko itu suara klakson motornya kayak gitu, sih!”.
“Salah, ya. Ini
itu sengaja di pasang, supaya lebih kedengaran!”.
“Emang
kedengaran, ya. Suaranya kayak tukang roti di depan rumah gue?!”.
“Udah, deh
jangan berisik. Nanti kalau mogok gimana?”.
“Kalau mogok,
gue turun dan loe gue tinggalin di tengah jalan”.
Jam
pun berlalu begitu cepatnya. Aku dan dia telah sampai di sebuah pusat
perbelanjaan mewah. Bersamanya aku melangkah pasti memasuki pelataran sebuah
Mall mewah. Sinar cahaya milik kaca-kaca bersih mengkilap mengenai wajah kita
berdua, hingga nampak seperti sebuah kaca rias. Wajah kita berdua sudah mirip dengan pemain
lenong, yang di penuhi make-up tebal
dari kotoran jalanan. Satu-satunya cara yang paling ampuh untuk menghilangkan
segala kotoran ini adalah dengan mencari cara pergi ke toilet.
“Sorry, kita
tunggu dulu sebentar ya disini?”
Di
sebuah kedai kopibersamanya aku
duduk. Segelas susu coklat terlihat sangat menggiurkan. Dan dia hanya memesan
segelas jus melon dengan taburan susu. Topik pembicaraan pembuka adalah
berkisar tentang pekerjaan. Ku ceritakan semua hal yang kukerjakan. Hingga
sampai pembicaraan pun terputus oleh panggilan dari saudaranya yang tengah
menanti di lain tempat.
Rumah
makan khas Malaysia, di tempat ini sudah duduk
dua orang wanita baya dan seorang laki-laki bertubuh gemuk, berkulit
hitam legam, yang berada tepat di tengah-tengah. Dalam hati aku terus bergumam,
“Wah. Udah kayak
terdakwa, aja nih?!”
Sosok seorang
laki-laki bertubuh gemuk terus saja melancarkan beberapa serangkaian pertanyaan
yang menyudutkan.Sebuah pertanyaan yang
mengukur seberapa besar materi yang dimiliki untuk masa depan kelak
“Outsourcing?”
“(Hening). Sudah
malam kita pulang, yuk?!”
Begitulah akhir pertemuan dengannya.
Kami berdua memutuskan untuk menutup pembicaraan dan kembali ke dunia
masing-masing. Dunia dimana aku hanya dapat bermimpi memilikinya. Dunia dimana
aku tidak tahu kapan waktu untuk bertemu kembali dengannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H