Mohon tunggu...
Paris Ohoiwirin
Paris Ohoiwirin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menyelesaikan pendidikan terakhir di sekolah tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara. Gemar membaca dan menulis tema-tema sastra, sejarah dan filosofis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Menanti"

19 Januari 2023   18:46 Diperbarui: 3 Februari 2023   22:21 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                       (Sumber: Nikita Igonkin/Pexels.com)

“Apa yang ingin kau katakan? Katakanlah!” Nada suaraku meninggi. Sementara Leo hanya berdiri terpaku sambil menunduk.

“Apakah kau masih marah padaku?” tanya Leo padaku.

Kata-kata Leo barusan membuatku makin tak sabar. Aku tahu bukan itu yang ingin ditanyakannya kepadaku. Aku mendesak lagi.

“Katakanlah apa yang ingin kau katakan. Aku tidak punya banyak waktu!” Aku menunggu sebuah kalimat yang sebenarnya sudah kunanti dalam dua tahun ini. Tapi…

“Aku hanya ingin menanyakan itu kok. Kamu tak apa-apa kan, Vina?” Kata-kata Leo barusan membuat kemarahanku memuncak. Aku mengundurkan diri dari hadapannya dan mengunci diri di dalam kamar. Butiran lelehan jernih menuruni lereng pipiku sore itu. Kutulis sebuah pesan singkat padanya: “Jangan pernah lagi menemuiku! Kehadiranmu membuatku muak!”

Aku sendiri tak percaya bisa mengungkapkan kata-kata setajam itu kepada orang yang paling kuharapkan, pada orang yang menjadi duniaku dalam dua tahun ini.

Cinta yang kuharapkan tak pernah diungkapkannya. Seluruh hari yang telah kulalui penuh harapan kini hancur dan sirna. Kerinduan dan kekaguman yang pernah terpatri indah di sukmaku, kini berubah menjadi goresan kekecewaaan yang sepertinya tak akan pernah sembuh.

Ia pergi dari hidupku sejak saat itu. Tak ada satu pun kabar yang kudengar lagi tentang dirinya. Anehnya, setelah bertahun-tahun aku mulai menyadari bahwa semua kebencianku saat ini telah menutupi kebenaran bahwa aku masih begitu mencintai dan mengharapkan dia. Dia pergi setelah menggores sebuah luka yang dalam, sebuah luka yang tak dapat disembuhkan oleh lelaki manapun, kecuali dia.

Kepada awan dan bintang-bintang kuhembuskan kerinduanku padanya;  Pada lelaki jenaka yang suka memuji dan membelaku di hadapan semua wanita pesaingku di sekolah dan di desaku.

 ***

“Vina! Vinaaaa!!!”

Teriakan perempuan berambut ikal itu membuyarkan semua memori dan nostalgia yang sementara kurajut kembali.

“Oh, Lita, ada apa sih?”

“Itu, dipanggil Rudi jalan ke taman. Kamu mau nggak?”

“Iya. Terimakasih sudah mengingatkan!” kataku santai.

“Wah, kamu beruntung sekali mendapatkan lelaki yang perhatian seperti dia. Jujur, aku cemburu. Apakah kalian sudah resmi jadi sepasang kekasih?”

Pertanyaan Lita membuatku tertegun sambil menunduk. Lita terus mendesak jawabanku

“Tidak,” jawabku datar. Dahi Lita berkerut.

“Vin, jangan bilang lagi padaku kalau kau menolak cinta lelaki yang satu ini. Ingat vin, sudah 12 cowok yang kamu tolak, dan sampai sekarang kamu belum berpacaran sama sekali. Ingat, umurmu sudah 27 tahun, sudah waktunya! Jangan sia-siakan kesempatan yang ada.”

Kata-kata emas Lita kubalas dengan cibiran. Selalu saja kalimat yang sama itu diucapkannya. Aku hanya meneruskan aksi diamku dan tidak menggubris ocehannya. Bagaimanapun aku akhirnya menyerah untuk pergi bersama Rudi. Segera kusiapkan diriku walaupun dengan enggan.

“Baiklah Lit, aku pergi dulu,” kataku santai pada Lita segera setelah aku siap.

“Hati-hati. Semoga sukses…”

Lita menaikkan dua jempolnya untukku. Aku berusaha membalasnya dengan senyuman yang sejujurnya sedikit kupaksakan.

***

“Aku ingin jujur tentang satu hal padamu,” kata Rudi sambil menunduk dan memperlihatkan wajahnya yang tegang. Nafasnya memburu. Aku menarik nafas panjang, telah menebak kalimat selanjutnya yang akan terlontar dari mulutnya.

Ia meraih jemariku dan menggenggam erat, seperti yang telah dilakukan 12 pria yang sebelumnya berlalu dari kehidupanku. Aku tak merasakan apa-apa. Hampa.

“Aku mencintaimu Vin, kamu mau kan menemani hari-hariku sebagai kekasihku?”

Tatapan Rudi yang tulus dan sungguh-sungguh itu memaksa menerobos pertahanan hatiku yang dingin dan kaku. Namun tetap saja tembok itu berdiri kokoh dan beku. Memang sebelum dia mengucapkan semuanya, aku telah menyiapkan jawabannya, jawaban yang sudah kusiapkan bahkan ketika mataku pertama kali menyorot sosok setiap lelaki. Tidak, itulah jawabannya, tetapi aku tak ingin menyinggung perasaan lelaki yang telah banyak berkorban bagiku ini. Bagaimanapun aku masih punya hati…

“Beri aku kesempatan,” jawabku datar. Rudi nampak gelisah. Jawaban ini memang sungguh tak diharapkannya.

“Baiklah aku akan menghormati dan menerima semua keputusanmu. Asal kau tahu Vin, aku rela memberikan apa saja, bahkan lebih dari yang kau harapkan. Mungkin saja sampai saat ini kau masih menyimpan bayangan seorang pria yang kau cintai di masa lalu. Tapi ingat, ketika kau jauh melangkah dan tak kau temui seorang pun yang menerimamu di depan sana, tengoklah saja ke belakang. Aku ada, setia menunggumu.”

Dengan perkataan yang cukup menyentuh itu, Rudi pergi dengan gontai. Sorot matanya yang redup dengan jelas menunjukkan kekecewaan yang teramat sangat. Andai dia tahu mengapa aku tak pernah bisa mencintai orang lain selain dia yang telah menjadi “yang pertama” di hatiku.

***

“Apa? Kau menggantung jawabanmu pada si Rudi? Apa maksudmu Vin? Kau sungguh keterlaluan!”

Omelan Lita tidak kugubris. Aku terus menyeduh teh hijau kesukaanku. Lita kembali meneruskan omelannya…

“Jangan bilang kalau kau masih mengharapkan cinta yang mustahil dari si Leo.”

Lanjutan kata-kata Lita itu membuatku tersentak. Kutaruh kembali cangkir kecilku di meja. Ia masih saja menggempurku dengan ocehan bijaknya.

“Vin, sadar dong. Kau terpenjara dalam masa lalu. Bagaimana kau mau melangkah ke depan kalau satu kakimu masih terbenam dalam nostalgia pelik yang kini mustahil kau penuhi?”

Aku masih terdiam. Harus kuakui, sahabat karibku ini telah berjuang lebih dahsyat dari siapapun juga untuk meyakinkanku meninggalkan masa laluku yang miris itu.

“Aku tahu Lit, tapi aku tak bisa apa-apa. Aku tak pernah merasakan cinta dalam setiap kata-kata dan sentuhan lelaki manapun sejak Leo pergi. Lit, hatiku telah ditakdirkan untuk jatuh cinta hanya sekali. Aku tak ingin mengecewakan siapapun dengan menjalani relasi bohong yang tak didasari ketulusan cinta.”

“Tapi Vin, setiap hati juga diciptakan untuk tetap terbuka pada kebaruan. Para peristiwa-peristiwa baru, relasi-relasi baru dan pada pribadi-pribadi yang baru. Apa salahnya kalau kau mencoba dulu. Siapa tahu suatu saat nanti kau temukan cintamu yang sebenarnya di masa depan sana. Ingat, setiap cinta pada seseorang selalu bermula dari relasi dengan orang yang awalnya disebut orang asing, bahkan pada orang yang awalnya tidak kau sukai sama sekali.”

Untuk kesekian kalinya aku menarik nafas panjang. Kucicipi kembali teh yang telah kuseduh itu dengan nikmat, sekedar menenangkan pikiranku.

“Vin, terimalah cinta Rudi!”

“Meski aku tak mencintainya?”

“Cinta butuh proses, tapi tak ada salahnya jika komitmen mendahului cinta.”

“Lit, kau yakin aku akan mencintai Rudi setelah komitmenku dibangun bersama dia?”

“Sangat yakin Vin! Ingat, kau sudah dewasa, jangan membuang masa yang berharga ini demi setitik noda di masa lalu.”Perkataan Lita membuat dadaku kembali berdesir. Aku sontak berdiri…

“Tidak Lit! Justru kedewasaankulah yang memampukanku untuk hidup mandiri, untuk setia dengan suara hati dan komitmenku. Aku tak bisa mengkhianati hatiku Lit, tidak bisa!”

“Kau akan tetap menunggu Leo yang tak akan pernah kembali? Bersikaplah relalistis. Kehidupan nyata ini bukanlah dongeng indah yang dibacakan pada anak-anak sebelum tidur.”

Pernyataan itu membuatku tercenung. Seluruh rongga mataku memerah basah. Air mata berderai-derai mengalir menuruni lereng pipiku.

“Andai kau sungguh mengerti Lit, aku tak pernah memilih untuk mencintainya. Dengan sekuat tenaga aku telah berjuang untuk melupakannya. Dan sesungguhnya aku telah menyesal, mengapa pernah menemui seorang Leo dalam hidupku. Ia memang telah pergi dari hidupku, tetapi setelah mencuri sekeping bagian dari hatiku tanpa permisi. Kau tahu Lita, aku benci dia!!!” aku berteriak dalam kesesakan.

Aku makin meluap dalam tangisan di depan Lita siang itu. Namun tiba-tiba dering telepon genggamku mengalihkan perhatian kami. Lita memberi tanda dengan lirikan matanya untuk menanggapi panggilan telepon itu. Kuusap wajahku dengan tergesa-gesa.Anehnya itu nomor baru. Kuterima saja telepon itu tanpa rasa curiga. Kutegarkan suaraku.

“Ha…hallo…dengan Vina di sini. Ini siapa?”

“Maaf mengganggu. Ini Ridwan, temannya Leo. Kamu masih mengenal Leo kan?”

Pertanyaan dari seberang itu membuatku terpaku seperti sedang disetrum. Aku melirik pada Lita yang menunjukkan wajah penuh tanda tanya.

“I..iya. Memangnya ada apa ya?”

“Bisakah anda datang ke RSUD kota Cimahi dalam waktu dekat ini? Leo memerlukan kedatangan anda secepatnya. Ia sedang mengalami pengobatan serius dan sangat membutuhkan kedatangan seorang sahabat yang namanya Vina.”

Aku tak mendengar kalimat selanjutnya. Kututup telepon itu begitu saja. Lita ternganga dengan ekspresi bingung.

“Ada apa Vin?” tanya Lita lirih. Air mataku kembali menyeruak tanpa kuasa kubendung. Melihat itu, dahi Lita makin berkerut.

“Vina. Aku mau membantumu saat ini. Tapi bagaimana mungkin aku bisa melakukannya kalau kau tak mau bicara? Jujurlah padaku!”

“Ada kabar terbaru dari orang yang paling kubenci selama ini!” kataku geram sambil menahan lajunya airmata yang terus membanjiri pipiku.

“Leo?” tanya Lita pelan. Aku hanya mengangguk.

“Bagaimana kabarnya sekarang?”

Aku tak menjawab pertanyaan Lita. Aku makin bergetar dalam tangisan yang ditahan. Rasa sakit dan benci yang masih bersarang di hatiku telah mengeras.

“Sekali-kali aku tidak akan mau menemuinya. Tidak akan. Biarlah ia menderita dan terus menderita. Ia pantas menerima semua itu!” aku berpekik keras sambil berlari masuk ke dalam kamarku, meinggalkan Lita sendirian dalam kebingungannya.

***

“Maaf, apakah anda yang bernama Vina?”

Seorang pemuda berdiri di depan pintu rumahku sambil menyerahkan sebuah amplop putih untukku.

“Apa ini?” tanyaku sambil menyelidik amplop polos yang tak bertulis apa-apa pada sebelah luarnya itu.

“Ini dari Leo…”

Aku tak menunggu sampai kata-kata itu diselesaikan oleh pemuda tersebut. Aku mulai merobek amplop itu menjadi dua bagian begitu saja. Sebelum penggalan kertas itu berubah menjadi empat bagian, pemuda itu mencegahku, memegang tanganku dengan erat.

“Tolong, kuasailah diri anda! Tolong hargai almarhum sahabat kami!”

Bagai disambar petir, aku terpaku seketika.

“Apa? Almarhum? Apa maksudmu?” tanyaku sambil menguncang-guncang bahu pemuda itu.

“Leo baru saja pergi untuk selamanya. Sebelum kepergiannya dia sempat mendesak kami untuk mengirimkan amplop itu padamu!”

Tubuhku mendadak terduduk lemas dan bergetar. Dengan secepat kilat kusatukan kembali lembaran-lembaran kertas yang kusobek tadi. Dan tampaklah tulisan ini…

“Vina…

Aku sadar telah melukai hati kecilmu. Tapi ketahuilah semua itu bukanlah keinginanku.

Aku sadar bahwa aku bersalah, tak mengungkapkan rasa yang sebenarnya berhak untuk kau miliki.

Tapi ketahuilah, sejak saat itu sampai kini, kau tetap menjadi sosok yang terindah, makhluk yang paling gemilang di kolong langit ini, wanita yang paling pantas kucintai. 

Itulah kebenaran yang tak pernah terhapus.

Ketakutankulah dan bukan ketidakcintaan, yang membuatku mengatupkan mulutku untuk mengungkap rasa.

Kau terlalu sempurna bagiku. Aku terlalu takut untuk mengetahui kemungkinan penolakan darimu. Aku terlalu takut untuk tidak diterima oleh gadis yang selama ini menjadi impian dan harapanku. Aku tak berani melangkah….

Tapi sejak saat itu, tindakan diamku telah menghukumku dengan rasa penyesalan yang begitu besar, yang menyiksaku dari hari ke hari.

Ribuan cinta yang melintas di hadapanku tak bisa kupeluk, karena lenganku telah terikat oleh cinta yang begitu kuat berakar dalam hatimu.

Aku pun sadar, cinta sejati dalam hidupku hanya datang sekali, tetapi telah kusia-siakan.

Ini memang bukan waktu yang tepat. Tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali…

Sekali lagi kukatakan: Aku mencintaimu!!! Aku menyayangimu lebih daripada yang kau duga. 

Jika Tuhan berkenan, cinta ini akan tetap hidup esok hari. Tetapi sesungguhnya masa depan berada di dalam tangan-Nya.

Dalam keadaan antara hidup dan mati sekarang ini, aku hanya berharap, semoga kau bisa mengetahui apa yang kurasakan selama ini. Aku berharap dapat  mengucapkan sendiri perasaanku ini padamu, dan sekaligus meminta keikhlasanmu untuk memaafkanku.

                                                                                    Orang yang mencintaimu sampai kini 

                                                                                                            Leo Setyaningrum

 

Bulir-bulir air mataku jatuh menimpa kertas yang telah tersobek itu, menggoyahkan keteguhan torehan huruf di atasnya, merembesi serat-serat kertas itu. Aku menangis seperti orang gila; meraung-raung seperti singa yang ditembusi panah sang pemburu.

Hari itu juga, aku memutuskan pergi mengunjungi pusaranya. Aku berlari sekuat tenaga dan bersimpuh di depan sebuah gundukan tanah yang ditandai sebuah batu nisan putih. Aku menatap nanar ke sekeliling, kulihat puluhan karangan bunga berjejer melingkari pusaranya. Air mataku terus jatuh bersama hujan yang mengguyur bumi saat itu. Penantianku berakhir sudah, tetapi harapanku dan cinta terdalamku yang dulu pernah bersembunyi di balik tubir hatiku itu kini telah melayang ke atas sana. Melayang dan tak pernah kembali.

(Timika, Oktober 2016).

 

 Catatan: Cerita ini adalah rekaan/fiktif semata. Kesamaan tokoh, tempat dan suasana hanya kebetulan belaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun