“Apa? Kau menggantung jawabanmu pada si Rudi? Apa maksudmu Vin? Kau sungguh keterlaluan!”
Omelan Lita tidak kugubris. Aku terus menyeduh teh hijau kesukaanku. Lita kembali meneruskan omelannya…
“Jangan bilang kalau kau masih mengharapkan cinta yang mustahil dari si Leo.”
Lanjutan kata-kata Lita itu membuatku tersentak. Kutaruh kembali cangkir kecilku di meja. Ia masih saja menggempurku dengan ocehan bijaknya.
“Vin, sadar dong. Kau terpenjara dalam masa lalu. Bagaimana kau mau melangkah ke depan kalau satu kakimu masih terbenam dalam nostalgia pelik yang kini mustahil kau penuhi?”
Aku masih terdiam. Harus kuakui, sahabat karibku ini telah berjuang lebih dahsyat dari siapapun juga untuk meyakinkanku meninggalkan masa laluku yang miris itu.
“Aku tahu Lit, tapi aku tak bisa apa-apa. Aku tak pernah merasakan cinta dalam setiap kata-kata dan sentuhan lelaki manapun sejak Leo pergi. Lit, hatiku telah ditakdirkan untuk jatuh cinta hanya sekali. Aku tak ingin mengecewakan siapapun dengan menjalani relasi bohong yang tak didasari ketulusan cinta.”
“Tapi Vin, setiap hati juga diciptakan untuk tetap terbuka pada kebaruan. Para peristiwa-peristiwa baru, relasi-relasi baru dan pada pribadi-pribadi yang baru. Apa salahnya kalau kau mencoba dulu. Siapa tahu suatu saat nanti kau temukan cintamu yang sebenarnya di masa depan sana. Ingat, setiap cinta pada seseorang selalu bermula dari relasi dengan orang yang awalnya disebut orang asing, bahkan pada orang yang awalnya tidak kau sukai sama sekali.”
Untuk kesekian kalinya aku menarik nafas panjang. Kucicipi kembali teh yang telah kuseduh itu dengan nikmat, sekedar menenangkan pikiranku.
“Vin, terimalah cinta Rudi!”
“Meski aku tak mencintainya?”