Mohon tunggu...
Pann D. Ryuki
Pann D. Ryuki Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Mahasiswa Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mereka yang Kau Sebut Hantu

3 September 2019   11:35 Diperbarui: 3 September 2019   11:38 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Anton, umurku 19 tahun. Dan aku punya seorang teman yang mengaku kalau dirinya itu indigo. Terlepas dari itu, aku adalah tipekal orang yang gak percaya sama yang begituan, entah  hantu ataupun hal mistis lainnya.

Namanya Reina,Reina Anggraeni lebih tepatnya. Teman sekelasku semasa SMA. Hingga saat ini kami masih berteman,namun sudah jarang sekali bertemu dikarenakan kami sudah menjalani kehidupan masing-masing.

Rumah kami pun sangat jauh,bahkan berbeda pulau. Dia di pulau Kalimantan, sedangkan aku berada di pulau jawa.

Kami masih bersama hingga menempuh dunia perkuliahan. Dan aku, masih tidak percaya akan apa yang Reina selalu katakan padaku, jika dia bisa melihat "hantu".

Sering kali aku melihat Reina bertingkah aneh, melirik kesana kesini,bahkan sampai pernah aku melihat Reina sedang berbicara sendiri, tanpa ada seorangpun di dekatnya.

Tetapi hal itu tidak membuatku langsung percaya, sebelum aku melihatnya langsung. Dan aku hanya menganggap jika Reina itu anak yang aneh, terobsesi pada hal-hal mistis.

Liburan semester tiba, Reina mengajakku untuk ikut dengannya ke kampung halamannya di salah satu kota di Kalimantan.  Tentu saja ajakannya itu ku tolak, karena belum tentu aku di izinkan oleh orang tuaku.

Meskipun aku sangat ingin pergi kesana, karena aku penasaran pada cerita yang pernah Reina ceritakan padaku tentang suatu hal di kampungnya.

Setelah meminta izin dari Ibuku, aku diperbolehkan untuk pergi dengan syarat bisa menjaga kesehatan disana. Aku mengiyakan, mengingat umurku yang bisa dibilang sudah dewasa jika dalam hal menjaga diri.

Malam itu aku bersiap-siap, semua barang yang mungkin aku butuhkan disana sudah aku kemas dalam koper yang baru aku beli kemarin. Dari sini sampai bandara cukup memakan waktu jika menggunakan mobil.

Travel yang kami pesan terasa berjalan lebih lambat, mungkin drivernya sedang tidak ingin mengebut.

Singkat cerita, aku dan Reina telah sampai di sebuah kampung,dengan jalan setapak yang sudah sedikit rusak. Suasananya dingin, masih banyak pepohonan di pinggir jalan.

Jarak antara rumah yang satu dengan yang lainnya sedikit memiliki jarak.
Sembari aku melihat-lihat, Reina tampak sedang menelpon, tidak tahu siapa yang dia hubungi, mungkin orangtua ataupun temannya.
Selesai menelpon,Reina menatapku dan tersenyum sembari berkata,

"ada yang sedang melihatmu."

Mendengar hal itu aku hanya terdiam, mengerutkan dahi seolah ingin mengatakan bahwa aku tidak tahu apa maksud dari perkataannya.

"Sudahlah,lupakan. Yuk kita masuk," kata Reina.

Kemudian Reina menepi di salah satu tiang gerbang,dan terlihat mengambil sesuatu disitu. Reina menghampiriku dan meletakkan sedikit "lumut hijau" yang dia ambil dari salah sati tiang gerbang nama kampung tersebut.

"Untuk apa ini Rei?"

"Menurut kepercayaan di kampungku ini, jika kamu pergi ataupun berada disuatu tempat yang belun pernah kamu datangi, carilah lumut,dan letakkan di kepalamu. Biarkan disana sampai jatuh atau menghilang dengan sendirinya."

Ku turuti perkataan Reina, entah untuk apa, aku tidak tahu.
Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Reina, yang katanya tidak jauh dari persimpangan jalan besar.

Di tengah perjalanan menuju rumah Reina, ada satu pohon yang terasa aneh ketika kulihat. Daunnya lebat serta batang pohonnya yang begitu besar, berbeda dari pohon-pohon di sekelilingnya.

Merinding,namun aku tetap berfikir positif. Saat ketika aku melewati pohon itu seakan-akan ada yang mengintip dati balik pohon. Aku memutarkan leherku 90, dan tak ada sesuatu disitu. Ingin aku menanyakan tentang pohon itu pada Reina, tetapi aku mengurungkan niatku.

Sesampainya dirumah aku dikenal dengan orang tuanya Reina, dan  lelaki tua yang ku tebak itu adalah kakeknya Reina. Tatapan tajam mengarah padaku, dan kakek tua itu berkata,

" tadi kamu lihat apa nak di pohon sana."

Dug, otakku seakan langsung terfokuskan pada pohon yang aku lihat di tepi jalan tadi.

"Tidak ada kek," jawabku.

Kakek menghampiri dan menepuk pundakku dan setengah berbisik berkata,

"Tadi ada yang mengikutimu," kata kakek dan melongos pergi.

Selesai berkenalan dengan orang tuanya Reina, aku di ajak ke kamar depan, dulunya itu adalah kamar milik kakak Reina yang telah meninggal 3 tahun yang lalu. Sedikit berdebu namun masih bisa aku tempati untuk merebahkan tubuhku sejenak.

Karena kelelahan,tak sadar aku ketiduran dan ketika bangun kulihat hari sudah malam. Ada yang tidak beres dalam tidurku, seakan ada yang aneh dalam mimpiku tadi.

Ada seorang perempuan cantik yang melambaikan tangannya kepadaku, aku tidak mengenalnya, tetapi perasaanku mengatakan jika aku pernah bertemu di suatu tempat entah dimana. Aku duduk terdiam sejenak memikirkan dan berusaha mengingat mimpiku barusan.

Aku keluar kamar untuk pergi ke toilet. Ku temui Reina sedang duduk santai di teras dengan gitar yang sesekali di petiknya, menyanyikan sebuah lagu yang tak ku mengerti artinya.

Kulanjutkan langkahku menuju toilet.
Setelah itu aku menemui Reina di teras. Reina menoleh, menyadari kedatanganku.

"Eh, udah bangun."

"Iya nih,barusan."

Aku pun duduk di samping Reina,ikut menghabiskan malamku di teras mendengarkan lantunan lagu yang di nyanyikan Reina.

Ke esokan harinya,ada tetangga yang datang ke rumah dan mengatakan jika ada yang meninggal dini hari tadi. Dan siang ini aku di ajak Reina beserta kedua orang tuanya pergi kerumah duka untuk berbela sungkawa.

Reina menarik sedikit kain yang menutupi wajah mayat,  dan aku yang masih berdiri terkejut saat kain itu di buka. Mayat itu memiliki wajah yang sama dengan perempuan cantik yang ada di mimpiku kemarin, terbesit tanya di pikiranku, ada pertanda apa ini?.

Aku hanya bisa berdiam diri disana sampai Reina menutup kembali kain itu dan mangajakku pulang ke rumah.
Besok siang adalah hari dimana mayat itu di makamkan, setelah sanak saudara yang ditinggalkan sudah datang ke rumah duka.

Jam menunjukan pukul 1 siang, warga yang hadir hari itu turut bersama-sama pergi mengantarkan mayat ke pemakaman yang ku dengar cukup jauh masuk kedalam hutan.

Hanya sebagian warga yang ikut, karena anak-anak tidak di perbolehkan. Anak-anak sudah di ajarkan untuk masuk ke dalam rumah serta menutup pintu rapat-rapat. Dan tidak diperbolehkan untuk melihat keranda mayat jika rombongan melewati rumah mereka.

Terik matahari begitu menyengat namun tertutupi dengan hawa dingin di dalam hutan, suara dedaunan saling bergesekan, diterpa angin semilir yang berhembus dari arah belakang.

Sesampainya disana upacara pemakaman di mulai, semuanya berbaris mengelilingi liang lahat dengan keranda diletakkan di sampingnya. Upacara itu di pandu oleh seorang Pendeta, doa-doa di panjatkan dan hal lain, berharap arwah yang meninggal bisa di terima disisi Tuhan.

Proses pemakaman di laksanakan, mayat di letakkan dalam peti yang sudah di siapkan. Lubang itu ditutupi kembali dengan tanah sampai menyerupai gundukan seperti kuburan pada umumnya.

Setelah itu, warga bergantian satu persatu meninggalkan pemakaman, namun tidak dengan Reina. Reina memintaku menemaninya untuk melihat makam kakak laki-lakinya yang sudah meninggal, tepat di ujung makam kami berhenti.

Reina mengeluarkan sebatang rokok dan sebuah korek api, entah punya siapa. Dan menyulutkan api pada ujung rokok. Reina kemudian meletakkan rokok itu tepat di atas batu nisan alm. Kakaknya.

Ada yang aneh, rokok itu sedikit demi sedikit memendek, seakan sedang di hisap. Tak sampai satu menit rokok itu habis. Jika di logikakan habis karena angin, mungkin akan memakan waktu yang lebih lama. Tapi sudahlah,aku tidak ingin memikirkan yang tidak-tidak.

Sudah tradisi disana, jika ada yang meninggal pemakaman itu harus di jaga sampai 3 hari ke depan. Ketika ku tanya, hal itu bertujuan agar tidak terjadi apa-apa dengan kuburan yang baru saja di buat. Karena pernah kejadian dimana salah satu makan terbongkar tanpa menyisakan sesuatu disana, bahkan sehelai benangpun tidak ada,yang menandakan mayat juga menghilang bersama terbongkarnya makam.

Malam itu aku sedikit takut untuk ikut ronda malam di pemakaman, namun aku memberanikan diri. Reina yang sedikit tomboy adalah salah satunya perempuan pada malam itu, dengan 3 temannya yang baru ku kenal namanya yaitu Dimas, Bayu dan Gilang.

Kami berlima berjaga di sebuah gubuk lumayan besar untuk 5 orang. Gubuk itu sedikit jauh dari pemakaman, namun setiap kuburan nampak jelas dari sana.

Waktu menunjukan pukul 23.00. Aku Reina,Dimas dan gilang masih tersadar, memainkan permainan kartu ditemani secangkir kopi pahit.

"Wahh, kamu jago banget Lang mainnya," kata Reina.

"Iya!!."

Sontak semuanya terdiam, suara itu bukan suara Gilang. Terdengar jelas bahwa itu adalah suara perempuan. Reina adalah satu-satunya perempuan disitu, lantas siapakah yang menjawab perkataan Reina barusan. Gilang yang hendak menjawab itupun ikut kaget, suara siapakah itu.

Mata kami saling bertatap-tatapan seolah mempertanyakan darimana asal suara itu. Sesaat kemudian Reina tampak terkejut, matanya tertuju pada serumpun bambu yang lumayan besar. Kami ikut menoleh, mencari objek yang di lihat oleh Reina. Tidak ada sesuatu disana.

"Rei, ada apa?" tanya Dimas.

"Kalian gak lihat?"

"Apa?"

"Ituuu, ada yang mengintip dari balik bambu."

"Siapa?" tanyaku penasaran.

"Kuntilanak..mukanya hancur sebelah,matanya keluar," jelas Reina.

Kami yang mendengar hal itu terkejut, penasaran bercampur takut. Kemudian Reina mencoba membangunkan Bayu yang masih tertidur pulas, namun tidak semudah itu. Bayu tidur layaknya orang yang sedang pingsan.

"Eh apa tuh?" tanya Dimas yang juga ikut kaget ketika mendengar sesuatu mendarat tepat di atas gubuk yang kami singgahi.

Gilang mencoba keluar untuk melihat. Tubuhnya terlihat membeku sejenak saat melihat sesuatu disana. Jari telunjuknya mengarah ke atas gubuk dengan mulut terbata-bata ingin mengucapkan sesuatu.

"Apa lang?" tanyaku.

"Hann...hann..hantuu..larii!!!!" teriak Gilang dan langsung pergi meninggalkan kami.

Reina masih saja menggoyangkan badan Bayu, namun Bayu tak kunjung bangun dari tidurnya. Karena ketakutan, kami pun meninggalkan Bayu sendirian di gubuk dan berlari menyusul Gilang.

Aku sekilas melihat ke atas gubuk. Sesosok perempuan berbaju putih yang dihiasi bercak darah di sekujur tubuhnya terlihat bergelantungan tanpa menyentuh apapun.

Baru kali ini aku percaya akan perkataan Reina yang mengatakan bahwa hantu itu ada.

Aku syok, memikirkan apa yang barusan terjadi.
Reina yang berada di depan tiba-tiba berhenti. Dimas yang sedang berlari dengan kencang menabrakku dari belakang.

"Ada apa Rei?" tanyaku.

"Entah ini peraaanku saja atau bagaimana, kalau tugu itu tadi sudah kita lewati sebelumnya," kata Reina sambil menunjuk ke arah sebuah tugu yang tak jauh dari tepi jalan.

"Iya yah," sambung Dimas.

Kami terdiam sejenak, dan tiba-tiba terdengar suara cekikikan, sebuah tawa khas dari kuntilanak, suaranya melengking, meskipun terdengar jauh,namun jelas sekali di telinga.

"Aaaaaargh," teriak Reina.

Sontak semuanya melihat ke arah yang di tunjuk oleh Reina. Sesosok kuntilanak begelantungan dengan posisi terbalik layaknya seekor kelelawar. Darahnya menetes ke bawah, seketika itu pula kepalanya terlepas dan mengejar kami.

Sekuat tenaga kami berlari, Reina berusaha menyamai langkah kami,namun dia tersandung akar pohon. Dia terjatuh dengan kepalanya membentur bebatuan, kepalanya mengeluarkan darah yang banyak sekali sampai menutupi wajahnya yang cantik.

Aku berhenti untuk menolong Reina,tapi naas nyawa Reina tak terselamatkan. Reina meninggal di pangkuanku sendiri, sedih bercampur takut. Aku meninggalkan Reina begitu saja dan berlari menyusul Gilang dan Dimas.

Kaki ku terasa perih, banyak goresan luka yang kudapati saat berlari di tengah ilalang, aku berlari tanpa tahu arah sama sekali, yang ku tahu hanyalah bahwa aku sedang berada di dalam hutan yang gelap. Jalan setapak yang sangat kecil itu sudah tak terlihat lagi.

Aku tersesat, terus ku berlari sambil memanggil nama kedua teman Reina. Tidak ada satupun dari mereka yang menjawab.

Suara cekikikan terus menghantuiku. Kulihat kiri dan kanan bergantian. Hanya pepohonan besar dan sesekali ku dapati sesosok bayangan dengan mata merah menyala mengintip dari balik sana.

Ku percepat langkahku hingga aku tersandung. Yang tadinya ku kira batang pohon tenyata bukan, kulihat kebelakang sambil memegang lututku yang sakit terkena benturan tanah.

Mulutku bungkam, inginku teriak namun tak bisa. Dimas yang baru ku kenal tergeletak disana, terbaring kaku dengan leher terputus. Matanya terbuka, serta darah yang terus mengalir dari kakinya.

Aku dengan cepat berdiri dan langsung berlari. Mencari jalan keluar yang aku sendiri tak tahu kemana arah yang aku tuju.

Lelah aku berlari, suara cekikikan itu sudah tak terdengar lagi. Aku berhenti dan duduk di bawah pohon tua, dengan daun yang lebat, kulihat juga akar pohon itu besar sekali sampai menembus keluar dari dalam tanah.

Ku pejamkan mata sejenak, mengistirahatkan mata serta badanku yang lelah berlari.

Ku lihat jam tanganku menunjukan pukul 3 pagi. Aku berencana untuk melanjutkan perjalanan saat subuh tiba. Ku lirik sekeliling, berharap hantu itu tidak lagi mengejarku.

Cahaya terang terlihat dari ujung sana,aku berpikir menemukan jalan keluar. Saat hendak berdiri kakiku terasa sakit, banyak luka, bahkan aku tak sadar jika lututku berdarah.

Kutahan rasa sakit itu, jalan keluar sudah dekat. Aku berjalan setengah pincang, menyusuri semak-semak menuju cahaya yang ada di depan sana.

Cahaya itu semakin dekat, perlahan sinarnya menyilaukan mataku. Langkah demi langkah aku berjalan, tak henti aku berdoa, berharap menemukan jalan keluar dari hutan yang gelap dan mencekam ini.

Sedikit lagi apa yang di ujung sana akan terlihat, aku mengintip, melihat dari balik semak. Rasa sakit yang kurasakan seakan menghilang saat aku melihat apa yang ada di depan mataku. 

Sebuah pemandangan yang indah, pepohonan hijau serta bunga-bunga menghiasi tempat itu. Suasanyanya sejuk, angin berhembus halus menembus sela-sela bajuku. 

Terasa di awan, bersama burung-burung yang terbang bebas kemanapun. 

Aku berjalan menyusuri jalan kecil yang di pinggirnya di tanami bunga mawar. Aku ingin tahu kemana arah jalan ini berakhir.

Mataku tak henti melihat sekitar, sampai aku tidak sadar darah terus mengalir dari lututku. Di ujung sana samar-samar aku melihat sebuah rumah tua bercatkan putih lengkap dengan patung menyeramkan di kedua sisi depan rumah.

Ku dekati rumah itu, berdiri di depan jendela dan menempelkan mukaku disana untuk melihat apa yang ada di balik jendela itu. Tidak begitu jelas, ku usap jendela itu dengan sikuku, membersihkan debu yang menempel.

Kulihat lagi kedalam sana,bola mataku bergerak ke kiri dan ke kanan hingga terhenti pada sebuah meja yang di atasnya terbaring seseorang. Aku masuk kedalam untuk memastikan apa yang aku lihat. 

Takut, namun ku coba untuk mendekat, dan membalikkan badan orang itu. Sangat familiar pakaian itu di mataku. Dan benar saja, orang itu adalah Gilang, temannya Reina.

Mukanya pucat, ku pastikan bahwa dia telah meninggal, dengan mulut terbuka dan sedikit darah di tangannya. Kulihat ada sebuah tulisan di meja itu. Aku terkejut saat kubaca tulisan itu. "Lari!!"

Kata itu sepertinya di tulis oleh Gilang disaat sebelum Ia menghembuskan nafas terakhirnya dengan darah yang berasal dari tangannya sendiri.

Aku bergegas keluar dari rumah itu, dan seketika itu, pemandangan indah yang tadi kulihat berubah menjadi hutan yang gelap, di penuhi suara gagak yang saling bersahut-sahutan.

Aku berlari sekencang-kencangnya. Tak peduli rasa sakit yang aku rasakan. Aku tak ingin terbunuh seperti teman-temanku. Aku harus keluar dari tempat ini.

"Anton!!"

Sekilas aku mendengar ada yang memanggilku. Ku tajamkan penglihatanku di hutan yang gelap ini, menyusuri darimana suara itu berasal.

Ada seseorang dari balik pohon. Matanya tertuju padaku, terbesit tanya di benakku siapakah sosok yang berdiri mematung itu.

"Bayu? Kapan kamu disitu?" Tanyaku dengan nada setengah kaget.

"Iya, ini aku Bayu."

"Syukurlah kamu selamat, aku takut. Reina Gilang dan Dimas sudah meninggal Bay."

"Aku sudah tahu, aku melihat mereka terbaring di sana ketika aku pergi kesini. Dan Gilang, aku juga tahu dia ada di rumah sana."

"Maaf kami meninggalkanmu di gubuk," kataku menjelaskan.

"Iyaa, yang terpenting aku sudah disini."

"Iya."

Kami pun berjalan, selangkah demi selangkah. Mencari jalan keluar dari hutan ini. Namun aku masih tidak percaya akan keberadaan Bayu disini, bagaimana dia bisa selamat.

Di sepanjang jalan, aku terus memikirkan hal itu. Bayu mengatakan bahwa Ia sudah melihat teman-temannya mati.

"Gilang!! Bagaimana dengan Gilang ?" kalimat itu terlintas di otakku.

Aku tahu jika Reina dan Dimas tergeletak di jalan sana. Tetapi Gilang...
Bagaimana bisa Bayu tau Gilang ada disana? Sedangkn aku baru saja lari dari rumah tua itu.

Aku mencuri pandangan pada Bayu. Mukanya pucat, bibirnya mengering, dan ada bekal lebam yang melingkar di lehernya, Seperti di cekik.

Aku memberhentikan langkahku, dan segera menjauh dari Bayu ketika aku melihat ada tetes darah yang keluar sela jarinya.

"Siapa kamu? Kamu bukan Bayu!!"

"Hihihihi" cekikikan khas itu membuatku takut.

Bayu menoleh ke belakang, mukanya perlahan berubah menghitam. Matanya memerah, dari kulitnya keluar belatung yang sangat banyak.

Seketika itu juga lehernya memanjang ke atas, lentur seperti ular. Aku berlari sekencang-kencangnya menghindari makhluk yang ku sadar bahwa itu bukan temannku, Bayu.

Bisa kusimpulkan jika Bayu juga pasti sudah mati di tangan hantu itu. Dan berarti hanya aku satu-satunya yang masih bertahan hidup.

"Arrghh!!"

Aku terperosok ke dalam jurang yang sangat dalam. Kurasakan badanku terasa remuk, menggelinding berbenturan dengan bebatuan. Sakit serta perih, sepertinya banyak luka yang tergores di tubuhku.

Dadaku sersentak, saat sampai di ujung jurang. Aku terbaring lemas, tak sanggup untuk berdiri. Rasa sakit itu terus menerus kurasakan.

Pandanganku samar-samar mengecil, perlahan apa yang ku lihat memudar. Seperti orang yang sedang rabun.
Sepertinya aku akan pingsan, dan mungkin mati di tempat ini.

"Gubraakkk"

"Anton, kamu kenapa?" teriak Reina dari balik pintu kamar.

"Ahh, sakiit."

"Kamu gak apa-apa?"

"Aduhh, iya gak apa-apa Rei," jawabku.

Kepalaku pusing, masih teringat saat aku terjatuh dari jurang. Badanku terasa lelah, bahkan untuk bangun pun aku membutuhkan bantuan Reina.

"Ehh? Reina? Kamu masih hidup?"

"Maksudnya?" Reina kebingungan.

"Bukankah kamu...hutan...mati.."

"Kamu ngomongin apa sih Nton? Ngelantur aja," keluh Reina sambil menggelengkan kepalanya.

"Ini dimana Rei?"

"Ya di kamar lah, dimana lagi."

"Kamu itu barusan jatuh dari tempat tidur. Karena berisik ya aku langsung kesini," sambung Reina.

"Hah?"

Aku terkejut mendengar jawaban Reina.

"Kalau ini di kamar berarti..."

"Kamu habis mimpi ya? " Reina memotong perkataanku.

"Sepertinya begitu Rei. Syukurlah kalau itu cuma mimpi."

"Iya, kamu sih pakai acara tidur segala sore-sore. Kata orang, bisa mimpi buruk lho."

"Ya udah aku ke toilet dulu, cuci muka."

"Iya."

Kepalaku masih merasakan pusing tak tak mampu kutahan. Banyak pertanyaan yang terngiang-ngiang di otakku. Seakan pertanyaan itu terbang melingkar di atas kepala.

Benarkah ini semua hanya mimpi?. Atau jangan-jangan ini hanyalah sebuah ilusi?

Ku cubit tanganku. Terasa sakit. Ternyata bukan mimpi. Sungguh mimpi yang buruk.

Masih termenungku di toilet. Berdiri tegap menatap sebuah cermin yang sangat besar. Ku basuh mukaku dengan air dingin dan esekali menatap cermin.

Aku merasakan sesuatu, seolah ada seseorang sedang berdiri di belakangku. Ku lihat cermin, ada wajah yang tak asing muncul disana.
Gilang, Dimas dan Bayu. Wajah mereka terpampang jelas, dengan muka pucat serta darah yang mengalir dari sela rambut mereka.

Sontak aku membalikkan badan, dan tidak mendapati sosok itu disana. Mereka menghilang. Rasa takutku kian bertambah saat aku melihat cermin kembali dan mereka terlihat lebih seram ddi sebelumnya. Mata yang melotot membuat lututku bergetar.

Aku berlari keluar toilet untuk menemui Reina. Ku ceritakan semua yang aku alami padanya.

"Rei..Rei.."

"Ada apa? Kenapa ngosngosan begitu? Terus kenapa kamu lari?" Tanya Reina.

"Kamu kenal Gilang, Dimas sama Bayu?"

Reina terkenut mendengar nama itu, seolah tahu tentang mereka.

"Iya..aku mengenali mereka. Mereka adalah teman-temannya alm. Kakak laki-lakiku."

"Terus mereka dimana?"

"Hmmm... merekaa.." Reina memberhentikan perkataannya.

"Kemana Rei?"

"Hmm mereka sudah meninggal Nton. Mereka meninggal bersama kakakku saat menjalani ronda malam. Mereka menghilang dan baru di temukan tewas seminggu setelah pencarian. Mayat mereka tergeletak di sebuah jurang dengan luka memenuhi badan mereka."

Aku terdiam mendengar hal itu, sedih bercampur takut. Dan tak tahu harus berkata apa lagi.

"Kata kakekku, mereka di sesatkan ke alam ghaib oleh penunggu di dekat makam. Namun pihak keluarga meminta kepolisian untuk tidak membocorkan hal itu, dengan mengatakan bahwa mereka meninggal akibat terperosok ke dalam jurang," Jelas Reina.

"Maaf Rei, aku baru tahu soal itu. Semoga mereka tenang disana. Aku turut berduka cita atas kematian mereka dan kakakmu."

"Iya, terimakasih."

Baru  kumengerti semuanya. Kejadian yang menimpaku hari ini. Serta mimpi yang mungkin mereka tunjukan padaku agar aku mengetahui semuanya.

Apa mungkin mereka masih terjebak di alam lain. Entahlah, aku tak ingin memikirkan hal itu.

Yang terpenting kini aku sadar, bahwa mereka yang di sebut "hantu" itu benar-benar ada.

___
TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun