Bourdieu juga menekankan bahwa kebenaran adalah relasional, bukan subjektif atau objektif murni. Kebenaran dalam konteks kebijakan CFC adalah hasil dari proses internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam habitus, kapital, dan arena.
Proses ini mencerminkan bagaimana berbagai aktor dalam arena perpajakan berinteraksi dan saling mempengaruhi. Kebijakan CFC yang efektif harus mempertimbangkan relasi kekuasaan dan sumber daya yang ada di antara aktor-aktor ini. Pemerintah perlu memahami bagaimana habitus perusahaan dalam merespons kebijakan, memanfaatkan kapital yang dimiliki untuk menegakkan aturan, dan beroperasi dalam arena yang penuh dengan dinamika sosial dan politik.
Peluang dalam Perpajakan CFC di Indonesia
Dengan memahami habitus, kapital, dan arena, dapat diidentifikasi beberapa peluang dalam perpajakan CFC di Indonesia:
- Peningkatan Kapasitas dan Pengetahuan: Melalui pelatihan dan pengembangan, otoritas pajak dapat meningkatkan habitus mereka dalam menangani CFC, yang akan memperkuat kemampuan penegakan regulasi.
- Kerjasama Internasional: Meningkatkan partisipasi dalam inisiatif internasional, seperti OECD's Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), untuk memperkuat kerangka kerja global dalam mengatasi penghindaran pajak.
- Reformasi Kebijakan: Meninjau dan memperbarui regulasi CFC untuk mencerminkan praktik terbaik internasional dan realitas ekonomi saat ini.
Tantangan dalam Perpajakan CFC di Indonesia
Beberapa tantangan yang perlu diatasi meliputi:
- Kompleksitas Hukum dan Regulasi: Regulasi yang kompleks dan sering berubah dapat menyulitkan wajib pajak dan otoritas pajak dalam memahami dan menerapkannya secara konsisten.
- Kapabilitas Otoritas Pajak: Keterbatasan sumber daya dan kapasitas otoritas pajak dapat menghambat efektivitas penegakan regulasi CFC.