Pendahuluan
Dalam era globalisasi, perusahaan multinasional memiliki kemampuan untuk mengatur operasi mereka di berbagai negara, sehingga memunculkan fenomena Controlled Foreign Corporation (CFC). Fenomena ini menggambarkan situasi di mana perusahaan induk yang berlokasi di suatu negara memiliki kontrol atas anak perusahaan di luar negeri. Seiring dengan semakin kompleksnya jaringan bisnis internasional, banyak perusahaan multinasional yang memanfaatkan celah-celah perpajakan lintas negara untuk mengurangi kewajiban pajak mereka. Hal ini mendorong negara-negara, termasuk Indonesia, untuk menerapkan kebijakan perpajakan yang lebih ketat guna mengatasi praktik penghindaran pajak yang merugikan penerimaan negara.
Perpajakan Controlled Foreign Corporation (CFC) di Indonesia merupakan salah satu kebijakan yang penting dalam upaya pemerintah untuk mencegah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan bahwa pendapatan yang diperoleh oleh anak perusahaan di luar negeri dikenakan pajak yang adil dan sesuai dengan peraturan perpajakan Indonesia. Dengan demikian, perpajakan CFC berfungsi sebagai alat untuk menjaga integritas sistem perpajakan nasional dan melindungi basis pajak domestik dari erosi yang disebabkan oleh praktik-praktik penghindaran pajak yang agresif.
Di Indonesia, perpajakan CFC merupakan isu penting yang menghadirkan peluang dan tantangan tersendiri. Implementasi kebijakan ini tidak hanya memerlukan kerangka hukum yang kuat, tetapi juga pemahaman yang mendalam tentang dinamika ekonomi dan sosial yang mempengaruhinya. Untuk memahami dinamika ini, pendekatan teori Pierre Bourdieu tentang prasis, yang melibatkan konsep habitus, kapital, dan arena, dapat memberikan kerangka analisis yang mendalam. Habitus, sebagai sekumpulan disposisi yang mempengaruhi tindakan individu dan kelompok, dapat membantu kita memahami bagaimana perusahaan multinasional menyesuaikan diri dengan aturan perpajakan CFC. Kapital, yang meliputi berbagai bentuk modal seperti ekonomi, sosial, dan simbolik, memungkinkan kita untuk melihat sumber daya yang dimobilisasi oleh perusahaan dalam menghadapi kebijakan ini. Arena, sebagai ruang di mana aktor-aktor sosial bersaing dan berinteraksi, menggambarkan konteks di mana kebijakan CFC dibentuk, diterima, dan diimplementasikan.
Teori Pierre Bourdieu: Praksis, Habitus, Kapital, dan Arena
Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Prancis, mengembangkan konsep-konsep teoritis yang kuat untuk menganalisis dinamika sosial dalam Masyarakat. Pierre Bourdieu mengembangkan konsep praksis sebagai hasil dari interaksi antara habitus, kapital, dan arena. Habitus mencakup nilai-nilai, model, cara pandang, dan pola perilaku yang tertanam dalam individu. Kapital, baik ekonomi, sosial, budaya, maupun simbolik, mempengaruhi posisi dan daya tawar individu dalam arena tertentu. Arena adalah ruang sosial di mana agen berkompetisi menggunakan modal yang dimiliki untuk memperoleh posisi dominan.
Habitus merujuk pada sistem disposisi yang mempengaruhi tindakan, persepsi, dan pemikiran individu dan kelompok dalam masyarakat. Dalam konteks perpajakan CFC, habitus ini mencakup norma dan nilai yang dipegang oleh pembuat kebijakan, otoritas pajak, dan perusahaan. Habitus ini dipengaruhi oleh sejarah perpajakan di Indonesia, praktik penghindaran pajak yang telah berlangsung, serta upaya pemerintah dalam menegakkan kepatuhan pajak.
Pembuat kebijakan mungkin memiliki habitus yang mencerminkan nilai-nilai keadilan fiskal dan integritas sistem perpajakan, sementara otoritas pajak mungkin memiliki habitus yang berfokus pada penegakan hukum dan kepatuhan. Di sisi lain, perusahaan multinasional mungkin memiliki habitus yang didasarkan pada optimalisasi keuntungan dan pengelolaan risiko perpajakan. Habitus ini dipengaruhi oleh sejarah perpajakan di Indonesia, praktik penghindaran pajak yang telah berlangsung, serta upaya pemerintah dalam menegakkan kepatuhan pajak. Misalnya, pengalaman masa lalu dengan penghindaran pajak dapat membentuk habitus otoritas pajak untuk lebih waspada dan proaktif dalam mengawasi praktik perpajakan perusahaan multinasional.
Kapital menurut Bourdieu, tidak hanya merujuk pada modal ekonomi, tetapi juga mencakup modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Modal ekonomi mencakup aset dan sumber daya finansial yang dimiliki oleh perusahaan dan individu. Modal sosial merujuk pada jaringan dan hubungan yang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan. Modal budaya mencakup pengetahuan, keterampilan, dan pendidikan yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Modal simbolik merujuk pada prestise, status, dan legitimasi yang diakui oleh masyarakat. Kapital terdiri dari berbagai bentuk kekayaan dan sumber daya yang dimiliki oleh individu atau kelompok.
Dalam kebijakan CFC, kapital dapat berupa pengetahuan tentang hukum pajak internasional, sumber daya finansial untuk mengelola dan mematuhi kebijakan, serta modal sosial yang memungkinkan perusahaan untuk bernegosiasi atau melobi pembuat kebijakan. Kapital ini berperan penting dalam menentukan bagaimana perusahaan merespons kebijakan CFC dan bagaimana pemerintah dapat menerapkan kebijakan tersebut secara efektif. Perusahaan multinasional mungkin menggunakan kapital ekonomi mereka untuk menyusun strategi penghindaran pajak yang canggih. Mereka juga dapat memanfaatkan kapital sosial mereka dengan menjalin hubungan baik dengan pemangku kepentingan di pemerintahan untuk mempengaruhi kebijakan perpajakan. Sebaliknya, otoritas pajak dapat menggunakan kapital budaya mereka, seperti pengetahuan tentang hukum perpajakan internasional, untuk mendeteksi dan mencegah praktik penghindaran pajak.