Habitus proaktif dalam otoritas pajak berarti mereka tidak hanya menunggu pelaporan dari wajib pajak tetapi juga secara aktif mengawasi dan mengevaluasi kepatuhan perusahaan terhadap regulasi CFC. Mereka mungkin menggunakan teknologi canggih, analisis data, dan kerjasama internasional untuk mendeteksi penghindaran pajak dan memastikan bahwa aturan CFC diterapkan secara konsisten dan adil.
- Keterampilan dan Kompetensi
Habitus ini juga mencerminkan keterampilan dan kompetensi petugas pajak dalam menangani kasus-kasus CFC. Otoritas pajak yang memiliki sumber daya manusia yang terlatih dan berpengalaman akan lebih efektif dalam mengelola regulasi CFC dan menegakkan hukum.
- Budaya Organisasi
Budaya organisasi dalam otoritas pajak, yang mencakup nilai-nilai integritas, transparansi, dan akuntabilitas, juga merupakan bagian dari habitus. Budaya yang kuat akan mendorong petugas pajak untuk bekerja secara profesional dan tidak terpengaruh oleh tekanan atau korupsi dalam menegakkan regulasi CFC.
Interaksi Habitus Wajib Pajak dan Otoritas Pajak
Interaksi antara habitus wajib pajak dan otoritas pajak menciptakan dinamika yang kompleks dalam implementasi kebijakan CFC. Habitus, sebagai sistem disposisi yang terbentuk melalui pengalaman dan sosialisasi, berperan penting dalam menentukan sikap dan perilaku kedua belah pihak terhadap regulasi CFC. Ketika kedua belah pihak memiliki habitus yang sejalan dengan tujuan regulasi, yaitu meningkatkan kepatuhan dan mencegah penghindaran pajak, kebijakan CFC cenderung lebih berhasil. Wajib pajak yang memahami dan menghormati peraturan pajak akan cenderung mengikuti kebijakan dengan lebih baik, sementara otoritas pajak yang proaktif dan kompeten akan mampu menegakkan aturan secara efektif, menciptakan lingkungan kepatuhan yang lebih kuat.
Namun, jika terdapat ketidakseimbangan atau konflik dalam habitus, misalnya jika wajib pajak cenderung menghindari pajak sementara otoritas pajak kurang proaktif, maka tantangan dalam penegakan regulasi CFC akan lebih besar. Wajib pajak yang memiliki habitus untuk selalu mencari celah dalam undang-undang pajak mungkin akan menggunakan berbagai strategi untuk mengurangi kewajiban pajak mereka, seperti menggunakan struktur perusahaan yang kompleks atau memanfaatkan yurisdiksi dengan tarif pajak yang lebih rendah. Di sisi lain, jika otoritas pajak memiliki habitus yang pasif, kurang berpengetahuan, atau tidak memiliki sumber daya yang cukup, mereka akan kesulitan untuk mendeteksi dan menindak praktik penghindaran pajak tersebut.
Interaksi yang dinamis antara habitus wajib pajak dan otoritas pajak juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti perubahan regulasi, tekanan internasional, dan perkembangan teknologi. Misalnya, perbaikan dalam teknologi audit dan analisis data dapat memperkuat habitus otoritas pajak untuk menjadi lebih proaktif dalam mendeteksi penghindaran pajak. Sebaliknya, peningkatan globalisasi dan kemudahan transfer modal dapat memperkuat habitus wajib pajak untuk mengeksplorasi strategi penghindaran pajak yang lebih canggih.
Selain itu, interaksi ini tidak terjadi dalam vakum, tetapi dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas. Misalnya, dalam situasi di mana ada tekanan publik untuk memperbaiki kepatuhan pajak dan transparansi, otoritas pajak mungkin merasa terdorong untuk mengadopsi habitus yang lebih tegas dan transparan. Sementara itu, perusahaan mungkin merasa tertekan untuk mematuhi aturan agar menjaga reputasi mereka di mata publik dan pemangku kepentingan.
Dengan demikian, memahami interaksi antara habitus wajib pajak dan otoritas pajak adalah kunci untuk merancang dan mengimplementasikan kebijakan perpajakan CFC yang efektif. Ini memerlukan pendekatan yang holistik, yang tidak hanya berfokus pada penguatan regulasi, tetapi juga pada pengembangan kapasitas dan habitus positif di kedua belah pihak. Dengan demikian, kebijakan CFC dapat lebih efektif dalam mencapai tujuan utamanya, yaitu memastikan keadilan pajak dan meningkatkan penerimaan negara.