Mohon tunggu...
Reza Aditya Warman
Reza Aditya Warman Mohon Tunggu... -

Santai membaca, santai menikmati aksara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

#1-Ngopi

25 Juni 2018   00:14 Diperbarui: 25 Juni 2018   00:12 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita ini hanyalah fiksi, adapun kesamaan nama, kejadian, atau apapun itu adalah sebuah kebetulan belaka. 

"Aco, oo Aco"

Suara Puang Puji terdengar dari dalam rumah. Aco yang sibuk memberi makan ayam segera menyelesaikan tugasnya dan menjawab panggilan dari neneknya itu.

Ia langsung masuk ke dalam rumah, di ruang tamu ia berpapasan dengan Puang Puji.

"Dari manako, nak?"

"Tabe' Puang, dari ka kasih makan ayam tadi, kenapaki?"

"Sudah ko shalat?"

"Belumpi Puang"

"Pi ko shalat dulu, baru buatkan ka kopi. Saya tunggu ko di teras"

"Iye Puang"

Puang Puji keluar duduk di teras, sedang Aco menjalankan perintah neneknya sebagaimana biasanya. Seusainya shalat, Aco menyajikan kopi untuk neneknya lalu membawakannya ke teras. Di teras ia menyuguhkan kopi tersebut pada neneknya.

"Kenapa satu ji ko bikin?"

Kedua dahi Aco mengernyit

"Tabe' Puang, Mauki dua kah?"

Puang Puji tersenyum, ia menggelengkan kepalanya.

"Maksudku saya kenapa ko tidak buat juga untuk ko minum. Ada ko bikin kah setelah ini?"

"Tidak adaji, Puang"

"Bikin ko kopi pade baru temanika disini"

"Iye, Puang"

Aco mundur beberapa langkah sebelum akhirnya berbalik meninggalkan Puang Puji. Ia kembali dengan segelas kopi di tangannya, menaruhnya dekat gelas Puang Puji.

"Ambilko itu kursi lipat, baru duduk ko"

Batin Aco masih bertanya-tanya, tidak seperti biasanya Puang Puji seperti ini. Karena etika duduk dengan seorang yang dituakan, Aco semestinya duduk di bawah, tidak sepantaran dengan orang yang di tuakan.

"Duduk mi, masa tidak boleh saya duduk sama dengan cucuku?"

"Bu-bukan begitu, Puang. Takutka tidak sopan dengan kita', Puang"

Ujar Aco sedikit ragu membuka kursi lipat untuk duduk sepantaran dengan neneknya.

Puang Puji cemberut, melihat hal tersebut, ia langsung membuka kursi lipatnya dan duduk disitu. Takut neneknya marah.

"Kan kalo begitu enak, lancarmi juga nanti saya bicara, tidak tunduk-tunduk"

Senyum mengembang di wajah Puang Puji.

"I-iye, Puang"

Mereka berdua menyesap kopi masing-masing, menikmati sore hari itu. Batin Aco masih bertanya-tanya dengan perlakuan neneknya yang tidak biasa ini. Ia terus menatap neneknya penuh tanya.

"Kenapa ko, nak?"

Ketahuan terlalu menatap neneknya, Aco salah tingkah.

"Tidak ada rokokmu, kah? Pi ko beli, ini uang pake"

"Tidak ji, Puang. Adaji rokokku"

Segera Aco mengambil rokok di sakunya lalu menaruhnya di meja.

"Oh, adaji rokokmu, mintaka pade nah"

Puang Puji cengengesan sembari mengambil sebatang rokok dari bungkusan rokok Aco.

"Coba ko bilang tidak ada, bertambahmi rokokmu satu bungkus"

Ujar Puang Puji sembari membakar tembakau di sela jarinya.

Aco hanya menahan tawa, takut menyinggung neneknya. Ia mengambil sebatang rokok juga untuk di nikmati. Sudah lama ia tidak duduk bersama neneknya itu dengan suasana santai seperti ini. Neneknya sulit untuk di temui. Puang Puji biasa mengurung diri, sibuk beribadah ketimbang keluar kamar seperti hari ini.

"Aco, kau kan cucuku"

Puang Puji angkat bicara. Mengoyak keheningan di antara mereka.

"Iye, Puang"

"Selama ini, terutama baru-baru tadi, apa alasanmu bikinkan ka kopi tiap kali kusuruh?"

Mendengar pertanyaan yang tidak biasa dari neneknya ia kebingungan, bukankah lumrah jika seorang cucu menuruti permintaan neneknya?

"Iye, karena kita yang minta, Puang"

Jelas Aco.

"Saya tauji, tapi alasanmu ikuti apa yang saya minta itu, apa? Takut? Atau harapko imbalan? Atau atas dasar pengabdian? Atau bagaimana?"

Aco masih kebingungan, benaknya dipenuhi tanda tanya, ada apa sebenarnya?

"Tidak bisaka bohong, Puang. Tentu takutka durhaka kalau tidak saya turuti mauta, disisi lain saya berharap imbalan juga walaupun itu sekedar di sayangka sama kita, Puang. Tidak lupa juga pasti karena nenekku ki, jadi haruska mengabdi sama kita. Apa lagi kita yang uruska dari kecil, Puang"

Puang Puji mengangguk mendengarkan jawaban lugas Aco yang menurutnya cukup jujur dari seorang cucu.

"Terus kenapa baru tadi ko buatkan kopi dirimu? Na selama ini selaluka ko buatkan kopi tapi tidak pernahko buatkan dirimu kopi. Padahal tidak adaji biasa ko bikin setelahmu buatkan ka kopi setiap mintaka sore-sore dibuatkan?"

Skakmat. Aco kehabisan akal memikirkan pertanyaan Puang Puji yang benar-benar diluar perkiraan. Bukan hal yang berat untuk dicerna, tapi terlalu tidak biasa untuk dipikirkan.

"A-anu, Puang... ee..."

Gelagap Aco membuat Puang Puji cengengesan.

"Itumi susahmu semua anak-anak jaman sekarang"

Puang Puji mengisap tembakau di sela jarinya dan menghembuskan asapnya.

"Selaluko lakukan sesuatu karena wajib, karena ketakutan, karena berharap imbalan, karena pengabdian sebagai tanda terima kasih"

Lanjut Puang Puji.

"Tapi ko sepelekan kebaikan-kebaikan di luar kewajibanmu"

Aco tercengang mendengarkan ucapan neneknya itu.

"Sederhanamo saja, nak. Itu kopimu, ko nikmati ji tidak?"

"Iye, Puang"

"Tapi pernahko kah mau buatkan dirimu sendiri itu kopi setiap ko bikinkan ka kopi? Tidak toh? Jangan mi ko bohong, Aco'. Pasti tidak pernah ko mau buatkan dirimu kecuali mauko minumki"

"I-iye, Puang"

"Kenapa? Karena bukan perintahku, selaluko sibuk dengan apa yang kusuruhkan, tapi pas senggang seperti ini, tidak mauko temanika biar ngopi atau ngobrol sebentar. Padahal tidak adaji kau bikin"

Batin Aco tersentuh, ia tidak pernah memikirkan sejauh itu.

"Begitumi juga dengan ibadah, Aco"

Saat Puang Puji menyangkutpautkan pembicaraan tadi dengan ibadah, Aco mulai paham. Ia mengangguk-angguk malu.

"Kita selalu sibuk menyelesaikan yang wajib, tapi pas yang tidak wajib, lebih sibukki dengan dunia. Itu lagi kita lakukan yang wajib karena takut masuk neraka, tidak taumi kalo tidak takutki neraka, masih adaji kah yang mau menyembah"

Puang Puji mengadah, melihat langit-langit teras rumah.

"Terlalu pelitki luangkan waktu untuk ngopi sama Puang Ta'ala. Padahal ndadaji ruginya"

Aco tertunduk malu, kebenaran ucapan Puang Puji menampar batin Aco.

"Tidak adaji artinya itu julukan Puang di mata-Nya, nak. Makanya bahas beginian buat saya tidak lebih baikja dari cucuku"

Aco tidak tahan dengan dirinya, terlalu malu di hadapan neneknya itu. Ia langsung bersimpuh menyalami neneknya.

"Maluka, Puang. Maluka. Selama ini selaluka lupa, tidak pantaska kurasa duduk di kursi, Puang"

"Sudahmi, nak. Sudah, sama-sama mi kita perbaiki diri, saya juga malu bicara seperti itu sama kau, tidak lebih baik ka dari kau, nak"

Ujar Puang Puji sembari mengusap kepala Aco. Petang semakin larut, mereka berdua sibuk dalam perenungan masing-masing.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun