***
Kubentangkan tubuhku diatas kasur nan empuk. Rasa lelah menguasai ragaku. Lelah karena memikirkan gadis bisu itu. Dalam pikiranku masih menyimpan tanda tanya besar tentang maksud puisi itu. Andai aku sastrawan pasti aku mahir mencerna diksi-diksi itu. Otakku benar-benar buntu. Aku berpikir dan terus berpikir. Segala khalayan menyeruak dalam imajinasiku. Aku merasa seperti pecandu ganja yang kehabisan stok. Mungkin pening ini sudah mencapai stadium empat.
Kucoba menenangkan pikiranku. Kuhela nafas panjang-panjang. Kupenjamkan mataku beberapa menit. Kubiarkan arus darahku mengalir dengan tenang agar dapat menyampaikan oksigen dengan maksimal ke otakku yang pening. Setelah merasa lebih baik, kubuka kembali kelopak mataku. Dan setelah mencari jalan pencerahan, aku menemukan sedikit petunnjuk. Dari kata 'hujan' dan 'rindu' mungki seseorang yang dia maksud dalam puisi itu adalah Ibunya. Aku yakin itu.
Siang ini Lara pergi bersama Ibuku. Inilah kesempatan emas untuk membaca puisi lain di origaminya. Dengan rasa bersalah yang menggunung aku menyelinap masuk ke dalam kamarnya. Beruntung pintu kamarnya tak terkunci. Aku membuka tutup toples dan lipatan origami. Maafkan aku Lara, telah membaca puisi ini tanpa seizinmu.
Dan hujan yang menyapuh duka
Alunan dentingnya pelan menyeringai
Itu katamu bukan?
Namun adakah kau rasa? Itu tak benar bagiku.
Alunan nada denting hujan tak berirama
Ucapmu tak pernah menyeringai dalam telingaku
Namun menyeringai dalam hatiku