Mohon tunggu...
Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah Mohon Tunggu... Advokat dan Peneliti Socio-Legal -

https://nurulfirmansyah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Desa Adat atau Desa Administratif, Kontestasi Politik Revisi Perda Nagari

20 November 2018   15:29 Diperbarui: 21 November 2018   07:34 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

*Makalah ini adalah versi Bahasa Indonesia dengan Judul asli : Customary Village model or Administrative Village model : Political contestation in The Process of Revision of The West Sumatera Province Regulation Regarding Nagari yang disampaikan dalam workshop 'New Law, New Villages? Changing Rural Indonesia' 19 - 20 Mai 2016, yang diselenggarakan oleh KITLV bekerjasama dengan the Asian Modernities and Traditions (AMT) Research Program, the Van Vollenhoven Institute of Leiden University, dan the Norwegian Centre for Human Rights at the University of Oslo (NCHR) di Leiden, Belanda

ABSTRACT

The fall of the New Order changed the character of Indonesian Governance from centralized to decentralized. Many local government use this oppurtunity to return the village government based on adat (customary), such as Nagari in West Sumatra and Customary Village in Bali through local government law regime. In fact, Changes village system has not fully intact customary based, cause it only distributes the central government authority to the local governments with frills customary village. In this context, the village just the government unit who implements the local government authority  in the village level. Village autonomy based on adat (customary) is not fully exist. Therefore, the institutional dualism between the customary village institution with the village administration institution are existing. As the result, the village customary rights is not fully recognized, especially control over natural resources. So that conflicts over natural resources still prevail between the villages with the Central Government and Local Government.

The 2014 village law give preference to local governments and villages to choose two village models, the customary village or administrative village. The customary village model consequences to recognize the village customary rights, especially control over natural resources, while the administrative village model consequences to performing administrative functions only. The rule of the village model choices in the 2014 village law continued the logic of separation between customary village and village government. 

In the west Sumatra context, the choice between customary village model and administrative village model emerge debating between two interest groups on the revision process of West Sumatera Province regulation regarding nagari. The first group is civil society organizations, Indigenous Peoples and academia that encourage customary village models with the argument basis on the customary village rights recognition, while the second group is local bureaucracy and local politicians that encourage administrative village model with the argument basis related to the large number of government budget allocation to villages.

This paper proposes to explain the political and law process on the revision of West Sumatera Province regulations regarding nagari and the stakeholders participation within in the process. The writing use a qualitative method with the descriptive-analytic approach.

Keywords: Nagari (Customary village), Local Governance, Natural Resource Rights, Village-State Interaction.

1. Pendahuluan

Arus desentralisasi paska runtuhnya orde baru membuka babak baru pengakuan masyarakat adat. Desentralisasi banyak menggeser kekuasaan pusat ke daerah. Arus ini melahirkan implikasi positif dan negatif terhadap agenda pengakuan masyarakat adat. Sisi positifnya membuka peluang pengakuan masyarakat adat melalui reorganisasi desa. Sedangakan, sisi negatifnya adalah cengkraman kekuasaan elit daerah dengan menggunakan identitas adat (etnisitas) terhadap sumber daya. Akibatnya, desa menjadi lokus kontestasi kepentingan-kepentingan tersebut, terutama terkait akses dan kontrol terhadap sumber daya.

Arus desentralisasi dengan hukum pemda baru menjadi alat yang digunakan para aktor untuk perebutan sumber daya tersebut. Elit daerah mempunyai kepentingan langsung untuk mengelola sumber daya desa, baik sumber daya alam maupun anggaran. Elit daerah membatasi masyarakat adat untuk mengontrol sumber daya dengan memanipulasi adat sebatas formalitas.[1] Mereka menguasai institusi-institusi formal Pemerintah Daerah dan menggunakan adat untuk melegitimasi kepentingan elit atas sumber daya (Nordholt and Klinken, 2014). Nagari di Sumatera Barat adalah contoh bagaimana kembali ke nagari dari sistem desa orde baru tidak sepenuhnya dapat memulihkan kembali otonomi dan sumber daya masyarakat adat. Persoalan utama gagalnya nagari sebagai desa berakar adat yang kuat adalah hambatan struktural untuk mendapatkan kembali sumber daya nagari dan belum tuntasnya integrasi pemerintahan dengan adat.

Di sisi lain, masyarakat adat menggunakan adat untuk memulihkan kembali kapasitas desa adat. Revitalisasi desa adat ini berlandaskan pada dua kepentingan, yaitu; mengembalikan tradisi adat sebagai basis pemerintahan dan mengklaim asset desa (khususnya tanah ulayat). Nagari malalo di kabupaten tanah datar, Sumatera Barat adalah contoh kasus yang diulas dalam makalah ini untuk melihat kebangkitan nagari dari arus bawah. Desentralisasi membuka jalan nagari malalo untuk mengklaim kembali asset nagari dan otonominya. Proses tersebut tidak sepenuhnya berjalan mulus akibat persoalan belum jelasnya batas territorial adat dan dualisme makna nagari sebagai adat dan pemerintahan.

Secara umum, arus desentralisasi paska orde baru memposisikan Pemerintah Daerah sebagai otoritas penentu pengakuan hukum masyarakat adat (desa adat).[2] Implikasinya, kualitas proses politik daerah dalam reorganisasi desa menjadi penting untuk menciptakan posisi seimbang antara elit dengan warga dalam agenda pengakuan desa adat dan perebutan sumber daya masyarakat adat di desa. Isu krusial dalam reorganisasi desa adalah soal status legal desa yang menentukan bentuk kewenangan desa, apakah mengembalikan kewenangan adat (asal usul) yang terintegrasi dengan desa, atau kewenangan unit pemerintahan desa saja (administratif) sebagai bagian dari struktur negara yang lebih tinggi. UU Desa baru (Kemudian disebut UU Desa 2014) menjadi penentu rute panjang pengakuan desa adat tersebut, yang sebenarnya usaha untuk mengembalikan desa adat telah dimulai sejak arus desentralisasi terjadi di Indonesia.

Makalah ini fokus pada wacana reorganisasi nagari (desa adat) kedepan sejak diberlakukan UU Desa 2014 di Sumatera Barat. Selain melihat dalam level provinsi, makalah ini juga fokus pada unit yang lebih kecil di Nagari Guguk Malalo kabupaten Tanah Datar untuk melihat kecenderungan arah perubahan nagari kedepan paska UU Desa 2014 lahir dan perubahan Perda Nagari untuk implementasi UU Desa 2014 tersebut di Sumatera Barat.

2. Desa dan Masyarakat Adat

Konsep masyarakat adat di Indonesia telah muncul sejak zaman kolonial. Paling tidak, terdapat dua pendapat besar tentang konsep masyarakat adat, yaitu; pertama, masyarakat adat adalah bagian dari konsep pribumi, dan pendapat kedua masyarakat adat adalah komunitas yang khas (distinctiveness) dari kelompok masyarakat yang dominan (Safitri, 2015).  Pendapat pertama terkait dengan keberlanjutan konsep masyarakat adat dari kategori ras pada masa kolonial belanda, yaitu ; pribumi, eropa dan timur asing (foreign oriental). Dalam pengertian ini, Masyarakat adat atau disebut juga dengan masyarakat hukum  adat  (rechtsgemeenschappen) adalah pendalaman konsep pribumi dari pendekatan hukum  adat (Safitri and Uliyah, 2014). Cornelis Van Vallenhoven menjelaskan bahwa pemberlakukan hukum adat ditopang oleh unit sosial masyarakat adat seperti nagari, negeri, huta dan lain-lain, yang mempunyai dua unsur utama, yaitu ; representasi otoritas lokal yang khusus (kepemimpinan adat), dan harta kekayaan komunal, terutama tanah dan wilayah adat (Safitri and Uliyah, 2014).

Pendapat kedua terkait dengan translasi masyarakat adat dari pengertian internasional. Pengertian ini merupakan respon dari kolonialisasi-imprealisme dan dampak kapaitalisme global terhadap komunitas masyarakat adat. Kelompok NGO gerakan lingkungan dan hak asasi manusia adalah pengusung utama konsep ini  (Andiko and Firmansyah, 2014). Masyarakat adat dalam pengertian ini adalah masyarakat dengan ikatan asal-usul leluhur dalam wilayah geografis tertentu dengan kekhasan sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik dan budaya. Masyarakat adat dalam pengertian tersebut merupakan kelompok 'non-dominance' yang cenderung menjaga wilayah adat, institusi sosial-budaya, bahasa ibu dan kepercayaan lokal secara terus menerus (Safitri, 2015).

Menurut penulis, pengertian pertama dan pengertian kedua saling berhubungan namun memiliki titik fokus yang berbeda. Pengertian pertama fokus pada bekerjanya adat dalam unit-unit masyarakat adat, sedangkan pengertian kedua fokus pada identitas masyarakat adat sebagai kelompok minoritas/marjinal. Oleh sebab itu, pengertian pertama cenderung pada pengakuan legal terhadap unit-unit sosial masyarakat adat dalam sistem Negara, terutama terkait dengan otonomi dalam pemerintahan dan hak sumber daya alam sebagai atribut utamanya. Dalam pengertian ini, masyarakat adat adalah bagian dari fungsi Negara (Andiko and Firmansyah, 2014). sedangkan pada pengertian kedua, pengakuan legal masyarakat adat dalam dimensi yang lebih luas sebagai komunitas etnis dengan identitas yang khas pada berbagai bidang, baik itu pengakuan hak sumber daya alam, hak agama lokal, hak budaya dan lain-lain.

Konstitusi Indonesia mengakui pengakuan masyarakat adat dalam dua dimensi ini, yaitu sebagai unit sosial dalam fungsi negara (pemerintahan) dan masyarakat adat sebagai identitas etnis. Masyarakat adat sebagai unit sosial dalam fungsi negara terdapat dalam pasal 18 B ayat 2, sedangkan masyarakat adat sebagai identitas etnis dalam pasal 28 i. Pengakuan masyarakat adat dalam sistem negara pada pasal 18 ayat (2) merupakan integrasi unit sosial masyarakat adat dalam sistem pemerintahan, yang disebut dengan desa atau nama lain. Sedangkan pasal 28 i adalah pengakuan masyarakat adat secara lebih luas, terkait identitas masyarakat adat, yang tidak mesti terintegrasi dengan sistem pemerintahan.

Persoalan pokok pengakuan masyarakat adat adalah untuk memastikan pelaksanaan hak dan kewajiban konstitusi masyarakat adat dalam berbagai dimensi tersebut, terutama hak atas sumber daya alam dan pemerintahan. Hukum Indonesia memberlakukan pengakuan bersyarat atas status legal masyarakat adat, yang harus melalui penetapan masyarakat adat sebagai subjek hukum terlebih dahulu berdasarkan kriteria-kriteria legal yang ada (Firmansyah, 2016).

Selain bersyarat, pengaturan hak-hak masyarakat adat terpisah-pisah dan tumpang-tindih. Kondisi ini berimplikasi pada penafsiran beragam pelaksanaan hak masyarakat adat pada level operasional. Tabel 1 dibawah ini menjelaskan bagaimana peta pengaturan pengakuan masyarakat adat dan ruang lingkup pengaturan hak masyarakat hukum adat (Firmansyah, 2016) : 

 

Tabel 1. Pengakuan dan Aspek Perlindungan Masyarakat Adat

 

No

Aspek perlindungan

Bentuk / Kategori Masyarakat Hukum Adat

Penetapan Masyarakat Hukum Adat

Kategori Hak Masyarakat Hukum Adat

Prosedur Penetapan Hak 

1
Penguasaan tanah dan Sumber Daya Alam
Masyarakat Hukum Adat
Peraturan Daerah dan atau Surat Keputusan Kepala Daerah
Hak Ulayat: hak penguasaan tanah atau wilayah masyarakat hukum adat
Penerbitan hak komunal masyarakat hukum adat
Hak atas hutan Adat yang merupakan bagian dari hak ulayat yang berada di kawasan hutan
Surat keputusan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Hak Komunal yang merupakan bagian dari hak ulayat pada tingkat klan atau sub-klan
Penetapan melalui surat Keputusan Kepala daerah yang kemudian didaftarkan ke BPN untuk sertifikasi hak komunal
2
Pemerintahan
Desa Adat
Peraturan Daerah
Hak pemerintahan yang dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat dalam bentuk desa adat, yang terdiri dari :

  • Hak asal usul (termasuk hak ulayat)
  • Hak tradisional

Penetapan Desa Adat melalui Peraturan Daerah Kabupaten/kota secara otomatis penetapan hak asal usul
  

Tabel 1 memperlihatkan bahwa desa adat adalah salah satu jalur pengakuan masyarakat adat dalam sistem pemerintahan desa dengan menintegrasikan masyarakat adat dengan desa.  Istilah Desa adat muncul sejak pemberlakukan UU Desa 2014, namun jauh sebelumnya, Desa adat adalat desa-desa yang berakar pada adat seperti nagari, marga dan lain-lain. UU Desa 2014 mengoreksi UU Desa lama (UU No 5/1979) yang menghancurkan desa-desa adat. UU Desa lama menyeragamkan desa dengan model desa jawa dan memposisikan desa sebatas pelaksana urusan Pemerintah Pusat di tingkat desa (asas residualitas) , sehingga desa menjadi subjek pemerintahan yang lemah (Yasin,dkk, 2015).

 

Gelombang desentraliasi paska orde baru menggeser kekuasaan pusat ke daerah. Pergeseran tersebut tidak otomotis memperkuat kapasitas legal desa (khususnya desa adat) secara utuh. Pemulihan Desa-desa adat pada masa desentralisasi tidak sepenuhnya terjadi. Pergeseran kekuasaan ke daerah memposisikan desa, yang awalnya perpanjangan tangan pemerintah pusat menjadi perpanjangan tangan pemerintah daerah. Walaupun sebagian daerah menggunakan momentum desentraliasi untuk mencoba memulihkan desa-desa adat, seperti di Sumatera Barat dan Aceh, namun hanya sebatas perubahan nama desa menjadi nama-nama lokal, seperti nagari, mukim dan lain-lain. Perubahan ini tidak menyelesaiakn persoalan mendasar desa adat, yaitu otonomi pengelolaan asset desa (termasuk SDA desa) dan pemerintahan desa berakar adat.

Pada garis yang lain, pengakuan masyarakat adat sebagai komunitas masyarakat adat juga lahir seiring dengan desentralisasi. Pengakuan ini adalah model pengakuan masyarakat adat sebagai komunitas masyarakat adat, yang komunitasnya tidak mesti terintegrasi dengan desa. Misalnya, Pengakuan komunitas Badui di kabupaten Lebak. Pemda Lebak melahirkan aturan daerah yang mengatur khusus masyarakat adat badui sebagai komunitas masyarakat hukum (Andiko and Firmansyah, 2014)  

Secara umum, model pengakuan hukum masyarakat adat yang beragam melahirkan ketidakpastian hukum. Masyarakat adat menghadapi pilihan-pilihan model pengakuan dan tumpang tindih mekanisme perlindungan hak. Perlindungan hak masyarakat adat menjadi sektoral dibawah otoritas-otoritas pemerintah yang berbeda-beda. Baik itu pengakuan masyarakat adat kedalam desa maupun pengakuan komunitas masyarakat adat dilaksanakan melalui otoritas Pemerintah Daerah yang seiring dengan arus desentralisasi.[3]  Dalam konteks ini, dinamika politik daerah menjadi penting dalam agenda pengakuan masyarakat adat dan perlindungan hak.

UU Desa 2014 mempunyai arti penting dalam agenda pengakuan masyarakat adat kedalam desa, karena : Pertama, populasi masyarakat adat dan sumber dayanya pada umumnya berada di wilayah pedesaan. Perubahan kebijakan negara terhadap desa dan wilayah pedesaan berimplikasi pada pengurangan kapasitas otonomi masyarakat adat, baik terhadap sumber daya maupun pemerintahan. Kedua, UU Desa 2014 memberikan saluran pengakuan masyarakat adat melalui konsep desa adat, yang berbasis asas pengakuan yang menggantikan asas residualitas yang sentralistik.

Selanjutnya, dengan segala peluang itu, persoalan normatif muncul dalam pengaturan UU Desa 2014 terkait dengan aturan pilihan status desa. Masyarakat desa dibuka peluang untuk mengajukan status desanya melalui melaknisme inisiatif desa, namun tetap, secara formil, Pemerintah Daerah adalah otoritas penentu penetapan status desa tersebut melalui aturan daerah. Oleh sebab itu, politik daerah dan dinamikanya menjadi faktor penting implementasi UU Desa 2014 dalam menentukan nasib desa dan masyarakat adat kedepan.

3. Nagari dan Pilihan Model-Model Desa

UU Desa 2014 mengatur dua model desa, yaitu model desa adat dan model desa biasa (desa administratif). Desa adat merupakan status desa khusus yang membedakaannya dengan desa administratif karena pelaksanaan hak asal usul. Hak asal usul desa adat meliputi  pertama, pelaksanaan kehidupan masyarakat desa berdasarkan adat, kedua, pengelolaan wilayah adat (asset desa) dan dan ketiga, Pelaksanaan desa adat berdasarkan struktur asli.

Pembedaan status desa adat dengan desa administratif ini menentukan kualitas otonomi desa. Pada model desa adat, otonomi desa memungkinkan untuk mengurus warga dan wilayah yang berakar pada hak adat (hak ulayat), sekaligus otonomi sebagai unit pemerintahan dalam struktur negara. Sedangkan, pada model desa administratif, otonomi desa sebatas pada urusan pemerintahan dan otonomi warga desa untuk mengurus diri sendiri dalam skala lokal desa. Artinya, pembeda dari dua model desa tersebut adalah kewenangan mengurus wilayah (hak ulayat).

Pada model desa administratif, penentuan batas wilayah desa ditentukan berdasarkan kapasitas desa untuk mengurus warganya berdasarkan kepentingan demografis, sehingga penentuan batas desa berdasarkan tingkat populasi dan kapasitas untuk melaksanakan pemerintahan desa. Sedangkan, penentuan batas wilayah desa adat berdasarkan hak untuk mengurus dan mengelola wilayah adat sebagai bentuk pengakuan hak-hak masyarakat adat, termasuk mengakui hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam (hak ulayat). Dalam konteks desa adat, maka agenda pengakuan masyarakat adat dan otonomi desa adat mesti menjawab dua persoalan pokok tentang status desa adat yang bersifat khusus itu, yaitu; pertama, Penyatuan wilayah adat dengan wilayah desa dan kedua, Pelaksanaan desa adat berdasarkan struktur asli.

Pertama, penyatuan wilayah adat dengan wilayah desa. Penyatuan wilayah adat dengan wilayah desa adalah konsekuensi integrasi desa dengan masyarakat adat. Integrasi ini menentukan batas pelaksanaan kewenangan desa adat dan pelaksanaan hukum adat dalam unit adminsitrasi. Artinya, kepastian batas wilayah adat menjadi dasar penentuan wilayah desa adat dan kewenangan-kewenangan asli yang melekat didalamnya.

Sampai saat ini, wilayah adat dengan wilayah administrasi desa dan bahkan dengan adminsitrasi kabupaten masih tumpang tindih. Setidaknya, tiga bentuk tumpang tindih wilayah adat dengan wilayah adminsitrasi yang ditemukan, yaitu; pertama, wilayah adat lebih besar dibandingkan wilayah administratif desa, sehingga dalam satu wilayah adat terdapat desa administratif didalamnya. Kedua, wilayah adat lebih kecil dibandingkan wilayah desa, sehingga di dalam satu wilayah desa terdapat wilayah-wilayah adat, dan ketiga, wilayah adat melampaui batas wilayah administrasi kabupaten.[4] Pada konteks tumpang tindih wilayah adat dengan admnistrasi desa, cara yang mesti dilakukan adalah penggabungan atau pemecahan desa mengikuti wilayah adat dalam proses awal penetepan status desa adat melalui aturan daerah. Sedangkan pada situasi ketiga, persoalan menjadi lebih kompleks akibat penetapan administrasi kabupaten ditetapkan melalui undang-undang.

Inisiatif integrasi ini sebenarnya telah di coba oleh Sumatera Barat jauh sebelum UU Desa 2014 lahir melalui aksi kolektif "Baliak ka Nagari" (Benda-Beckmann, 2014).  Desa-desa yang dulu dipecah pada masa Orde Baru disatukan kembali ke dalam wilayah nagari. Penggabungan desa-desa ke dalam wilayah nagari tidak sepenuhnya berjalan lancar. Kasus nagari guguk malalo kabupaten tanah datar adalah contoh kasus. Kasus ini mengungkap hambatan penggabungan wilayah adat dengan wilayah desa tersebut. Berdasarkan sejarah,[5] Nagari guguk malalo adalah hasil pembelahan dari nagari malalo di masa kolonial belanda. Pemerintahan kolonial belanda membagi nagari malalo menjadi tiga jurai, yaitu jurai guguk, jurai padang laweh dan jurai tanjung sawah. Alasan pembelahan nagari pada masa itu adalah untuk efektivitas pelaksanaan pemerintahan adat di wilayah nagari malalo yang luas. 

Pembelahan pemerintahan adat ini tidak diikuti dengan pembelahan wilayah adat nagari (ulayat nagari), akibatnya wilayah nagari tidak merujuk pada jurai, namun pada wilayah lama malalo. Setelah kemerdekaan Indonesia, tiga jurai dilebur menjadi dua nagari pemerintahan, yaitu nagari guguk malalo yang berasal dari jurai guguk dan nagari padang laweh malalo yang berasal dari jurai padang laweh dan tanjung sawah. Penggabungan ini tetap bertahan sampai pemberlakukan UU orde baru yang membagi-bagi dua nagari ini menjadi desa-desa kecil. Di masa reformasi, dua nagari ini dikembalikan kembali ke bentuk nagari awal sebelum pemberlakukan UU desa orde baru.

Masalah Kedua adalah wilayah adat nagari malalo melintasi batas administrasi kabupaten dan kawasan hutan. Wilayah adat nagari malalo dibelah oleh batas administrasi kabupaten Tanah datar dan Kabupaten Padang Pariaman dan juga kawasan hutan lindung. Secara historis, kampung asam pulau, yaitu pemukiman masyarakat malalo di kabupaten padang pariaman berasal dari perluasan wilayah pemukiman dan pertanian nagari asal. Perluasan tersebut melintasi gugus perbukitan bukit barisan di sisi barat nagari. Sejak penetapan kawasan hutan lindung pasa masa colonial belanda, akses menuju wilayah pemukiman baru tersebut  dibatasi, namun interaksi sosial tetap terjaga dan kampung asam pulau masih tunduk dalam adat nagari malalo.

Kedua, Pelaksanaan desa adat berdasarkan struktur asli. UU Desa 2014 menyebutkan bahwa pelaksanaan desa adat sebangun dengan struktur asli (adat) yang dikenal pada desa adat masing-masing. Struktur asli adalah organisasi asli masyarakat adat yang akan diadopsi menjadi model organisasi desa adat. Perdebatan struktur asli telah terjadi seiring "Baliak Ka Nagari" pada awal 1998 di Sumatera Barat. Pada masa itu, perdebatan struktur asli nagari berkutat pada model nagari ideal, apakah pada model nagari pra-kolonial, colonial, orde lama, atau orde baru. Dengan Perda 9/2000 tentang Nagari, Perdebatan model nagari ini akhirnya diputuskan untuk kembali pada model nagari dengan batas teritori sebelum UU Desa orde baru.

Model nagari ini masih bersifat ambivalen karena mengatur KAN[6] sebagai reperesentasi adat namun tidak masuk dalam struktur pemerintah nagari. Posisi KAN sebagai representasi adat adalah semacam lembaga "semi-formal" dengan fungsi penyelesaian sengketa adat, namun fungsi lain sebagai otoritas adat dalam mengelola asset nagari, termasuk tanah ulayat nagari diserahkan kepada Pemerintah Nagari yang baru. Pemerintah Nagari kesulitan mengklaim ulayat nagari karena berhadapan dengan KAN sebagai lembaga yang dianggap sebagai otoritas adat. Persaingan antara Pemerintah Nagari dengan KAN dalam mengelola ulayat nagari terjadi, begitu juga kompromi diantara keduanya (Benda Beckmann, 2014).Model Pemerintah Nagari mengadopsi format desa modern dengan membelah kekuasaan eksekutif di tangan pemerintahan nagari dan legislatif di tangan Badan Musyawarah Nagari. Badan musyawarah nagari memuat tiga unsur klasik kepemimpinan minangkabau, yaitu adat, agama dan cendikiawan yang ditambah dengan kelompok fungsional baru ORLA dan ORBA, yaitu wanita-wanita adat dan kaum muda (Benda Beckmann, 2014).  

Merujuk pada situasi lapangan di nagari malalo, model organisasional nagari selalu berinteraksi terus menerus dengan negara.  Menemukan kembali struktur asli adat menjadi sulit, apakah nagari sebelum belanda ?, apakah berdasarkan jurai ? atau nagari sekarang yang terbagi atas dua nagari ? Situasi ini menunjukan bahwa struktur nagari "asli" berinteraksi dengan negara dan membentuk model baru yang hybrid. Artinya, memilah nagari (desa) antara adat dengan administratif secara biner tidak memungkinkan lagi.

Dalam konteks wilayah adat, ingatan kolektif nagari malalo sebagai kesatuan masyarakat adat diikat dalam batas wilayah adat malalo. Wilayah adat ini masih utuh akibat kuatnya adat mengatur tanah di level suku (sub-clan). Kepala-kepala suku menjadi penjaga adat dalam pengurusan tanah dan wilayah. Namun pada tingkat ulayat nagari sebagai asset nagari, situasi ketidakpastian muncul akibat kaburnya batas wilayah adat dengan batas administrasi serta kawasan hutan, dan lembaga pengelola yang belum jelas. Secara internal, ketidakjelasan lembaga pengelola ulayat nagari memicu ketegangan antara pemerintah nagari dengan KAN, dan juga antara dua nagari dalam wilayah adat malalo. Secara eksternal, klaim hutan negara memicu konflik antara nagari malalo dengan otoritas yang lebih tinggi, yaitu Pemerintah daerah dan pusat.

4. Kontestasi Politik Daerah

Pada sebuah diskusi terfokus yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 4 april 2016, Gubernur Sumatera Barat menyatakan bahwa pembelahan nagari berguna untuk menambah dana desa untuk sumatera barat.  Gubernur membandingkan Sumatera barat dengan Aceh dalam hal perolehan dana desa, dimana Aceh mendapatkan dana desa yang lebih besar dibanding Sumatera Barat akibat banyaknya jumlah desa. Pernyataan ini memperlihatkan kecenderungan arus balik nagari untuk kembali lagi pada model desa orde baru. Beberapa kecenderungan politik ini dapat dalam dua hal :

Pertama, Maraknya pembelahan nagari untuk memperoleh anggaran pemerintah pusat sebenarnya telah terjadi sejak sistem pembiayaan pemerintah pada 2005. Dengan sistem ini, agenda "Baliak Ka Nagari" menjadi tidak menarik lagi (Vel and Bedner, 2016). Kecenderungan pembelahan nagari beriringan dengan karakter hibridasi nagari yang memungkinkan pembelahan nagari tanpa harus membelah KAN sebagai "lembaga adat" dan pembelahan wilayah adat untuk mengikuti batas nagari yang baru. Model ini memungkinkan dalam UU Desa 2014 dengan membentuk "lembaga adat" sebagai penanda peran adat dalam pemerintahan desa, sehingga nagari tidak harus berstatus desa adat penuh (Vel and Bedner, 2016).

Kedua, rancangan perda nagari baru provinsi Sumatera Barat untuk meresepon UU Desa 2014 mengalami kebuntuan. Rancangan perda nagari baru ini cenderung ke model desa adat dengan melebur KAN kedalam struktur Nagari. Rancangan Perda ini merubah format KAN sebagai "lembaga adat" semi-formal menjadi legislatif nagari yang diisi tidak hanya pemangku adat, namun juga unsur kepemimpinan klasik minangkabau lainnya dan kelompok fungsional nagari. Rancangan Perda Nagari ini juga menyebutkan bahwa nagari adalah pemerintahan desa yang merujuk pada wilayah adat. Perdebatan muncul sejak rancangan perda ini diajukan pemerintah provinsi. Uniknya, kelompok adat di LKAAM menolak perubahan format KAN tersebut karena perubahan format KAN menghilangkan sifat eksklusif pemangku adat dalam struktur hybrid nagari. Perubahan format KAN berarti menghilangkan otoritas lembaga adat terhadap aset nagari, khususnya ulayat nagari. Paralel dengan itu, kelompok birokrat dan politisi berpengaruh menginginkan dualisme kelembagaan tetap berjalan. Model baru nagari dalam Rancangan Perda ini menghilangkan kemungkinan pembelahan nagari tanpa membelah wilayah adat dan struktur nagari.

Akhirnya pada awal tahun 2016, Rancangan Perda nagari dikembalikan DPRD kepada Pemerintah Provinsi untuk dikaji ulang. Sejalan dengan itu, Gubernur menerbitkan  surat edaran tertanggal 22 Maret 2016 kepada bupati dan walikota untuk melaksanakan penataan nagari dengan landasan kriteria-kriteria desa administratif. Keinginan untuk menata nagari secara administratif oleh Pemerintah daerah kabupaten/kota didukung sebagian pemerintah kabupaten. Misalnya, Pemerintah daerah Pasaman menolak pengaturan baru nagari oleh provinsi karena bertentangan dengan kebijakan pemerintah pasaman yang berbasis model desa orde baru yang telah ada sejak tahun 2011. Arah kebijakan provinsi sumatera barat ini memperlihatkan kecenderungan mengalihkan reorganisasi nagari ke pemerintah kabupaten dan kota. Artinya, kecenderungan proses reorganisasi nagari paska UU Desa 2014 tidak lagi menggunakan provinsi sebagai aktor utama, seperti halnya pada masa awal "Baliak Ka Nagari" tahun 1998.

Paralel dengan itu, masyarakat sipil, intelektual kampus dan perantau Sumatera Barat mendorong implementasi model desa adat untuk nagari sebagai peluang memperkuat nagari. Debat tentang model nagari adat ideal kembali lagi seperti masa-masa awal "Baliak Ka Nagari." Bagi kelompok ini, identitas nagari sebagai penanda etnisitas minangkabau dan argumen klasik tentang ikatan nagari dengan wilayah adat kembali muncul. wacana tersebut diekspresikan dalam berbagai media, artikel, berita daerah, dan diskusi-diskusi. Pengalihan penataan nagari ke Pemerintah daerah kabupaten/kota sangat disayangkan oleh kelompok ini.

Masyarakat nagari malalo menanggapi UU Desa 2014 secara beragam. Model desa adat memang dianggap ideal, namun rumit dilaksanakan. Hambatan terbesar model desa adat adalah konsensus ulang dua nagari yang telah terbelah dan perubahan batas wilayah adat yang melintasi batas administrasi kabupaten. Kecenderungan hybridasi nampaknya muncul kuat dengan inisiatif mendorong pengakuan wilayah adat dalam skema hutan adat (lihat tabel 1). Dalam skema ini, batas administrasi tidak perlu menyatu dengan wilayah adat, yang penting adalah pengakuan nagari malalo sebagai masyarakat adat oleh kabupaten atau provinsi (karena melintasi batas administrasi kabupaten) sebagai prasyarat untuk mengembalikan wilayah adat dari hutan negara.

Inisiatif masyarakat nagari untuk mengklaim kembali asset nagari telah digagas sejak 2005 bersama NGO Qbar yang didukung oleh HuMa (Firmansyah, 2011). Ditingkat nagari guguk malalo bahkan telah menghasilkan peraturan nagari (peraturan desa) untuk menyatukan konsensus pengelolaan asset nagari antara KAN dengan Pemerintah Nagari dan telah berhasil bernegosiasi dengan Perusahaan Listrik Negara untuk membayar kerugiaan atas pemanfaatan air untuk kepentingan Pembangkit Listrik Tenaga Air (Firmansyah, 2013). Putusan MK 35 menjadi momentum penting bagi nagari untuk mengklaim kembali wilayah adat secara utuh, baik itu tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya. Dua nagari yang terpisah bersatu dalam inisiatif tersebut untuk meminta otoritas daerah dan pusat mengembalikan wilayah adat melalui skema hutan adat.

Di sisi lain, jalur pengakuan masyarakat adat nagari malalo masih belum jelas tentang lembaga pengelola wilayah adat apakah berbentuk model pengelolaan bersama dua nagari atau menghidupkan kembali struktur lama jurai. Diskusi-diskusi tentang kelembagaan nagari masih berlangsung, begitu juga kemungkinan-kemungkinan model desa adat di tingkat diskusi-diskusi kampung.

5. Penutup

Implementasi UU Desa 2014 tidak terlepas dari agenda pengakuan masyarakat adat yang telah bergulir sejak arus desentralisasi paska pemerintah otoriter orde baru. Antara agenda pengakuan masyarakat adat dan desentralisasi tarik menarik pada dua kepentingan pokok di Sumatera Barat, yaitu; kepentingan untuk mengklaim kembali wilayah adat sebagai atribut utama nagari dan kepentingan alokasi anggaran desa dari pemerintah pusat ke daerah.

Proses hybridasi nagari telah ada sejak pemerintah kolonial belanda sampai dengan sekarang. Karakter hybridasi nagari muncul akibat dinamika adat-negara yang saling bersaing dan mengakomodasi. Perubahan terbesar dari dinamika ini adalah perubahan struktur nagari dan batas-batas wilayah adat. UU Desa 2014 mengenal dua model desa, yaitu desa adat dan desa administrasi yang berkonsekuensi pada status otonomi desa dan penguasaan wilayah adat.

Desa adat adalah model ideal untuk nagari, namun rumit diimplementasikan. Setidaknya, dua atribut utama desa adat yaitu struktur asli dan wilayah adat belum sepenuhnya jelas dalam konteks nagari. Karakter hybridasi nagari menciptakan batas politik dan sosial baru akibat pembelahan institusi adat dengan negara dan pembelahan nagari-nagari baru, sehingga menemukan struktur asli untuk prasyarat desa adat yang paling memungkinkan adalah "hybridasi berakar padat", yaitu Hybridasi dalam struktur nagari yang berada pada batas wilayah adat dengan administrasi nagari yang sama. Di sisi lain, wilayah adat sebagai batas kewenangan asli nagari (adat) cukup kuat yang sekarang berhadapan dengan batas-batas administratif dan kawasan hutan. Kuatnya wilayah adat karena berfungsi sebagai penopang utama penanda adat dan kepatuhan warga terhadap adat dalam urusan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

Kontestasi politik daerah menjadi penentu nasib nagari kedepan. Kecenderungan arus balik "Baliak Ka Nagari" yang kembali ke sistem desa orde baru terlihat, setidaknya pada dua indikator, yaitu; Pertama, provinsi tidak lagi menjadi aktor utama mendorong nagari berakar adat namun sebaliknya menjadi aktor utama nagari model desa administratif (desa orde baru), Kedua, pembelahan nagari sedang berlangsung untuk memperkuat "hybridasi nagari berakar negara" yang ditopang oleh kebijakan nagari di level Pemerintah Kabupaten/Kota sejak tahun 2005. Sejalan dengan itu, semangat nagari berakar adat terus disuarakan kelompok masyarakat sipil, intelektual kampus dan perantau, namun mereka cenderung terjebak pada nostalgia "nagari ideal," kelompok ini belum mampu membangun sebuah formula yang kontekstual untuk nagari dengan perubahan-perubahan yang telah terjadi dan mencari titik temu paling realistis untuk memperkuat nagari berakar adat.

Kontestasi tersebut sedang berjalan dan mencari titik temu atas kontradiksi-kontradiksi. Berbagai level masyarakat sumatera barat membahas, berdialog dan mencari formula untuk nagari kedepan. Di level nagari sendiri, inisiatif mengklaim kembali asset nagari menjadi agenda utama dan terus berlangsung, seiring dengan diskusi-diskusi untuk menacari formula paling tepat untuk tidak melepas peran adat dalam struktur negara.  

Kepustakaan

Andiko dan Nurul Firmansyah (2014), Mengenal Pilihan-Pilihan Hukum Daerah Untuk Pengakuan Masyarakat Adat : Kiat-Kiat Praktis Bagi Pendamping Hukum Rakyat (PHR), Masyarakat Sipil (Pelaku Advokasi) dan Pemimpin Masyarakat Adat, HuMa, Jakarta.

Firmansyah, Nurul dkk (2016), Mengakui Minoritas ! Kajian Tentang Kelompok Minoritas Dan Kewajiban Negara untuk Menjamin Hak-Haknya, Pelapor Khusus Hak-Hak Minoritas, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta.

Firmansyah, Nurul dan Wing Prabowo (2013), Berhukum Dari Desa : Memotret Proses Lahirnya Aturan Berbasis Masyarakat Desa, HuMa, Jakarta.

Firmansyah, Nurul dkk (2011), Aturan Daerah Dan Tenure Masyarakat Adat (Studi Kasus Di Palopo, Donggala, Tanah Datar Dan Pesisir Selatan, HuMa, Jakarta.

Nordholt, Henk Schulte dan Gerry Van Klinken (2014), Politik Lokal di Indonesia, KITLV, Jakarta.

Safitri, Myrna dan Luluk Uliyah (2014), Adat di Tangan Pemerintah Daerah : Panduan Penyusunan Produk Hukum Daerah Untuk Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Epsitema Institute, Jakarta.

Safitri, Myrna (2015), Indigenous Peoples in ASEAN : Indonesia, AIPP, Chiang May.  

Vel, Jacqueline dan Adriaan W. Bedner (2016), Desentralisasi Dan Pemerintahan Desa Di Indonesia : Kasus Baliak Ka Nagari dan Kaitannya Dengan UU Desa : Wacana Transformasi Sosial Nomor 35, Tahun XVIII, 2016, INSIST.

Yasin, Muhammad dkk (2015), Anotasi Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa, PATTIRO, Jakarta.

Zakaria, Yando (2016), Baliak Ka Nagari Dan Desa Adat : Geliat Lokal Di Aras Nasional :  Wacana Transformasi Sosial Nomor 35, Tahun XVIII, 2016, INSIST.

 [1] Penggunaan istilah Nagari dalam sistem desa di sumatera barat tidak diringi dengan re-organisasi nagari sebagai  unit pemerintahan sekaligus unit sosial masyarakat adat secara tuntas. Dualisme nagari sebagai unit pemerintahan dengan unit sosial masyarakat adat tetap terjadi dengan tiga indikator, yaitu : pertama, dualisme kelembagaan adat dengan pemerintah nagari tetap berlangsung, terutama dalam hal pengurusan sumber daya alam (hak ulayat), kedua, penggabungan desa kedalam unit nagari paska pemberlakukan Perda Nagari tahun 2000 tidak diiringi dengan penggabungan wilayah adat. Batas nagari tetap menjadi problem yang belum tuntas diselesaikan yang berakibat pada konflik batas nagari antar nagari dan konflik nagari dengan negara dan atau pemilik konsesi sumber daya alam. dan Ketiga, terjadinya pemekaran nagari-nagari pemerintahan yang disponsori oleh Pemerintah Kabupaten yang tidak diiringi dengan pemekaran nagari secara adat. Akibatnya, nagari tetap berwatak desa seperti yang terjadi pada masa rezim orde baru.

[2] Hukum Indonesia mengenal dua jalur pengakuan masyarakat adat, yaitu melalui pengakuan desa adat dan pengakuan langsung atas komunitas-komunitas adat. Dalam pembahasan lebih lanjut dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan jalur-jalur hukum pengakuan hukum tersebut dan relasinya dengan masyarakat adat

[3] Peraturan Menteri Agraria No.9/1999 tentang Pedoman pengakuan hak ulayat masyarakat adat sebagai aturan pertama penyerahan kewenangan pengakuan masyarakat adat ke pemerintah daerah yang diikuti oleh perundang-undangan lain yang bersifat sektoral termasuk UU Desa dan Mahkamah Konstitusi memperkuat kewenangan pemerintah daerah tersebut melalui Putusan MK No.35/2012 tentang hutan adat.

[4] Situasi tumpang tindih batas wilayah adat dengan wilayah desa disampikan oleh Muhammad Arman dari AMAN dalam workshop tantangan masyarakat adat dalam implementasi putusan MK 35 dan UU Desa yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation pada tanggal 3-4 Februari 2015. Selain itu, tumpang tindih pada point ketiga, yaitu antara wilayah adat dengan wilayah administrasi kabupaten juga ditemukan penulis nagari guguk malalo kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam makalah ini.

[5] Sejarah nagari tidah sepenuhnya dapat dilacak secara dokumen. Sejarah nagari tersebut lebih banyak ditemukan melalui pengetahuan oral masyarakat.

[6] KAN adalah forum ketua adat dari suku-suku nagari yang dimasa orde baru menjadi lembaga representasi masyarakat adat untuk menghindari kehancuran nagari akibat pembelahan nagari menjadi desa-desa administratif

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun