Akhirnya pada awal tahun 2016, Rancangan Perda nagari dikembalikan DPRD kepada Pemerintah Provinsi untuk dikaji ulang. Sejalan dengan itu, Gubernur menerbitkan  surat edaran tertanggal 22 Maret 2016 kepada bupati dan walikota untuk melaksanakan penataan nagari dengan landasan kriteria-kriteria desa administratif. Keinginan untuk menata nagari secara administratif oleh Pemerintah daerah kabupaten/kota didukung sebagian pemerintah kabupaten. Misalnya, Pemerintah daerah Pasaman menolak pengaturan baru nagari oleh provinsi karena bertentangan dengan kebijakan pemerintah pasaman yang berbasis model desa orde baru yang telah ada sejak tahun 2011. Arah kebijakan provinsi sumatera barat ini memperlihatkan kecenderungan mengalihkan reorganisasi nagari ke pemerintah kabupaten dan kota. Artinya, kecenderungan proses reorganisasi nagari paska UU Desa 2014 tidak lagi menggunakan provinsi sebagai aktor utama, seperti halnya pada masa awal "Baliak Ka Nagari" tahun 1998.
Paralel dengan itu, masyarakat sipil, intelektual kampus dan perantau Sumatera Barat mendorong implementasi model desa adat untuk nagari sebagai peluang memperkuat nagari. Debat tentang model nagari adat ideal kembali lagi seperti masa-masa awal "Baliak Ka Nagari." Bagi kelompok ini, identitas nagari sebagai penanda etnisitas minangkabau dan argumen klasik tentang ikatan nagari dengan wilayah adat kembali muncul. wacana tersebut diekspresikan dalam berbagai media, artikel, berita daerah, dan diskusi-diskusi. Pengalihan penataan nagari ke Pemerintah daerah kabupaten/kota sangat disayangkan oleh kelompok ini.
Masyarakat nagari malalo menanggapi UU Desa 2014 secara beragam. Model desa adat memang dianggap ideal, namun rumit dilaksanakan. Hambatan terbesar model desa adat adalah konsensus ulang dua nagari yang telah terbelah dan perubahan batas wilayah adat yang melintasi batas administrasi kabupaten. Kecenderungan hybridasi nampaknya muncul kuat dengan inisiatif mendorong pengakuan wilayah adat dalam skema hutan adat (lihat tabel 1). Dalam skema ini, batas administrasi tidak perlu menyatu dengan wilayah adat, yang penting adalah pengakuan nagari malalo sebagai masyarakat adat oleh kabupaten atau provinsi (karena melintasi batas administrasi kabupaten) sebagai prasyarat untuk mengembalikan wilayah adat dari hutan negara.
Inisiatif masyarakat nagari untuk mengklaim kembali asset nagari telah digagas sejak 2005 bersama NGO Qbar yang didukung oleh HuMa (Firmansyah, 2011). Ditingkat nagari guguk malalo bahkan telah menghasilkan peraturan nagari (peraturan desa) untuk menyatukan konsensus pengelolaan asset nagari antara KAN dengan Pemerintah Nagari dan telah berhasil bernegosiasi dengan Perusahaan Listrik Negara untuk membayar kerugiaan atas pemanfaatan air untuk kepentingan Pembangkit Listrik Tenaga Air (Firmansyah, 2013). Putusan MK 35 menjadi momentum penting bagi nagari untuk mengklaim kembali wilayah adat secara utuh, baik itu tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya. Dua nagari yang terpisah bersatu dalam inisiatif tersebut untuk meminta otoritas daerah dan pusat mengembalikan wilayah adat melalui skema hutan adat.
Di sisi lain, jalur pengakuan masyarakat adat nagari malalo masih belum jelas tentang lembaga pengelola wilayah adat apakah berbentuk model pengelolaan bersama dua nagari atau menghidupkan kembali struktur lama jurai. Diskusi-diskusi tentang kelembagaan nagari masih berlangsung, begitu juga kemungkinan-kemungkinan model desa adat di tingkat diskusi-diskusi kampung.
Implementasi UU Desa 2014 tidak terlepas dari agenda pengakuan masyarakat adat yang telah bergulir sejak arus desentralisasi paska pemerintah otoriter orde baru. Antara agenda pengakuan masyarakat adat dan desentralisasi tarik menarik pada dua kepentingan pokok di Sumatera Barat, yaitu; kepentingan untuk mengklaim kembali wilayah adat sebagai atribut utama nagari dan kepentingan alokasi anggaran desa dari pemerintah pusat ke daerah.
Proses hybridasi nagari telah ada sejak pemerintah kolonial belanda sampai dengan sekarang. Karakter hybridasi nagari muncul akibat dinamika adat-negara yang saling bersaing dan mengakomodasi. Perubahan terbesar dari dinamika ini adalah perubahan struktur nagari dan batas-batas wilayah adat. UU Desa 2014 mengenal dua model desa, yaitu desa adat dan desa administrasi yang berkonsekuensi pada status otonomi desa dan penguasaan wilayah adat.
Desa adat adalah model ideal untuk nagari, namun rumit diimplementasikan. Setidaknya, dua atribut utama desa adat yaitu struktur asli dan wilayah adat belum sepenuhnya jelas dalam konteks nagari. Karakter hybridasi nagari menciptakan batas politik dan sosial baru akibat pembelahan institusi adat dengan negara dan pembelahan nagari-nagari baru, sehingga menemukan struktur asli untuk prasyarat desa adat yang paling memungkinkan adalah "hybridasi berakar padat", yaitu Hybridasi dalam struktur nagari yang berada pada batas wilayah adat dengan administrasi nagari yang sama. Di sisi lain, wilayah adat sebagai batas kewenangan asli nagari (adat) cukup kuat yang sekarang berhadapan dengan batas-batas administratif dan kawasan hutan. Kuatnya wilayah adat karena berfungsi sebagai penopang utama penanda adat dan kepatuhan warga terhadap adat dalam urusan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
Kontestasi politik daerah menjadi penentu nasib nagari kedepan. Kecenderungan arus balik "Baliak Ka Nagari" yang kembali ke sistem desa orde baru terlihat, setidaknya pada dua indikator, yaitu; Pertama, provinsi tidak lagi menjadi aktor utama mendorong nagari berakar adat namun sebaliknya menjadi aktor utama nagari model desa administratif (desa orde baru), Kedua, pembelahan nagari sedang berlangsung untuk memperkuat "hybridasi nagari berakar negara" yang ditopang oleh kebijakan nagari di level Pemerintah Kabupaten/Kota sejak tahun 2005. Sejalan dengan itu, semangat nagari berakar adat terus disuarakan kelompok masyarakat sipil, intelektual kampus dan perantau, namun mereka cenderung terjebak pada nostalgia "nagari ideal," kelompok ini belum mampu membangun sebuah formula yang kontekstual untuk nagari dengan perubahan-perubahan yang telah terjadi dan mencari titik temu paling realistis untuk memperkuat nagari berakar adat.
Kontestasi tersebut sedang berjalan dan mencari titik temu atas kontradiksi-kontradiksi. Berbagai level masyarakat sumatera barat membahas, berdialog dan mencari formula untuk nagari kedepan. Di level nagari sendiri, inisiatif mengklaim kembali asset nagari menjadi agenda utama dan terus berlangsung, seiring dengan diskusi-diskusi untuk menacari formula paling tepat untuk tidak melepas peran adat dalam struktur negara. Â